"Selamat pagi, Tuan Max," sapa Pak Umar, sopir pribadi yang membukakan pintu mobil untuk tuannya.
"Pagi," jawab Max singkat, sambil masuk ke dalam mobil Rolls-Royce silver miliknya, yang akan membawanya beraktivitas pagi ini.
"Selamat pagi, Tuan Max," sapa Martin, sekretaris pribadi dari Maximilian Alexander, salah satu pewaris kerajaan parfum dunia, The Alexander's Perfume. Martin duduk di sebelah Max, di kursi jok belakang mobil.
"Pagi, Martin."
"Jadwal anda hari ini."
"Bacakan."
"Baik. Jam sembilan ada meeting via teleconference dengan direktur cabang Paris, Inggris, dan Italia. Jam sebelas meeting via teleconference lagi dengan pemegang saham di New York. Jam satu, ibu anda menginginkan makan siang bersama di restoran Italia kesukaannya. Saya sudah pesan tempat.."
"Tunggu, bukannya kemarin mama sudah merecokiku, kenapa siang ini kamu memasukkan lagi jadwal makan siang dengannya?" protes Max yang memandang tajam pada Martin.
"Ibu anda mengancam akan memindahkan saya ke cabang Vancouver, Kanada. Anda tahu sendiri, saya alergi cuaca dingin. Jadi terpaksa saya memasukkan jadwal itu. Maafkan saya, tuan."
"Kalau begitu, aku akan mendepakmu ke gurun Sahara," balas Max kesal sambil tetap meneruskan membaca laporan penjualan global minggu ini.
Martin hanya bisa meringis dan mengusap tengkuknya. "Ibu anda juga mengatakan, jika hari ini anda pasti akan mencarinya. Maka untuk memudahkan, beliau sengaja membuat jadwal makan siang dengan anda."
"Mama mengatakan apa padamu?"
"Kurasa anda belum melihat ini," kata Martin sambil menyodorkan sebuah tablet yang memuat informasi online dengan tajuk utama yaitu Milyader Maximilian Alexander mengadakan pemilihan gadis untuk dijadikan pendamping.
"Apa ini?! Pemilihan gadis?! Sejak kapan semua berita ini beredar?" amuk Max ketika membaca tajuk utama mengenai dirinya, yang memenuhi hampir semua berita online.
"Tengah malam tadi," sahut Martin cepat. "Informasi itu beredar mulai tengah malam di semua berita online. Bahkan pamflet dalam jumlah besar telah disebarkan ke seluruh penjuru kota dan negara."
"Astaga! Mama benar-benar kelewatan."
"Ibu anda hanya merasa khawatir, karena tenggang waktu yang diucapkan peramal itu hampir tiba, makanya beliau berinisiatif untuk mengadakan pemilihan ini untuk mencari gadis terakhir. Anda selalu sibuk dengan pekerjaan, jarang bisa melewatkan waktu untuk berkencan," papar Martin dengan suara datar.
Max memberikan tatapan tajam pada sekretaris pribadinya yang menyebalkan ini. Jika Martin bukan orang yang cekatan dan bisa menyesuaikan diri dengannya, sudah ditendangnya sekretaris itu ke planet Jupiter.
Maximilian Alexander, berusia tiga puluh lima tahun, yang dipercaya sebagai tangan kanan dari pemilik kerajaan bisnis parfum di seluruh dunia. Maximilian mendapatkan sebuah ramalan pada dua tahun yang lalu, dari seorang peramal yang terkenal akan kebenarannya. Ramalan itu mengatakan bahwa dirinya harus mendapatkan tujuh gadis dengan identitas nama bunga yang melambangkan kekayaan.
Peramal itu juga mengatakan bahwa ketujuh istrinya itu yang akan mendukungnya tetap berada di posisinya sekarang, bahkan bisa menjadi pemimpin tertinggi dari The Alexander's Perfume. Dan semenjak mama Maximilian mengetahui ramalan itu, banyak gadis perawan cantik telah disodorkan padanya. Kini tenggat waktu dari ramalan itu hampir berakhir yaitu pada akhir tahun, yang tinggal sebulan lagi. Jika gadis terakhir tidak segera masuk ke dalam pelukan Maximilian, maka bencana kebangkrutan akan melanda The Alexander's Perfume.
"Aku tidak peduli dengan ramalan itu!" sergah Maximilian kesal. "Hanya orang bodoh yang mempercayai omong kosong itu!"
"Tetapi ibu anda peduli," sela Martin yang menatap dengan tatapan peduli pada atasannya sekaligus sahabatnya. Max dan Martin adalah teman di sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi terkenal di Inggris.
"Ck, merepotkan."
"Aku tahu ini merepotkan, Max. Aku tahu kamu juga tidak menyukai hal ini. Tetapi ini demi keluargamu. Kamu juga tidak menginginkan Archie mendapatkan posisi tertinggi kan?" papar Martin yang mencoba bersikap sebagai teman, untuk melunakkan sikap Max yang keras kepala. Max bukan hanya atasannya, tetapi dia juga adalah sahabat baiknya semenjak duduk di bangku sekolah hingga kuliah.
"Pria playboy mesum itu.. Mana bisa dia memegang posisi? Kerjaannya hanya bermain dan bersenang-senang," gerutu Max sambil menyerahkan berkas pada Martin.
Max memijat pangkal hidungnya. Rasa mual mendadak menyerang dadanya, jika mengingat sepupunya yang bernama Archie Alexander itu dipercaya untuk memegang posisi puncak. Kerajaan bisnis keluarga Alexander yang dibangun leluhur keluarga Alexander, bisa hancur di tangan Archie.
"Baiklah, terserah kalian saja."
"Anda hanya datang pada saat pemilihan terakhir, yaitu dua minggu kemudian," jelas Martin yang kembali bersikap resmi pada Max. "Tenang saja, acara ini pasti sukses dan kamu akan mendapatkan gadis yang terbaik."
"Baiklah," sahut Maximilian acuh tak acuh, sambil keluar dari mobil yang telah dibukakan pintunya oleh sopir pribadinya. "Terima kasih, Pak Umar."
"Selamat beraktifitas, Tuan Max."
Maximilian masuk ke dalam lobi kantor pusat, berlantai enam yang mewah. Didampingi Martin, Max melangkah tegas berjalan melewati meja resepsionis dan langsung menuju lift khusus direktur.
Sepanjang melangkah ke koridor lobi, Max dan Martin menjadi pusat perhatian para karyawan wanita, baik yang tua maupun muda. Keduanya, Max dan Martin, selain mempunyai paras yang rupawan, juga memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis, sehingga membuat pakaian apa pun yang dikenakan mereka, selalu nampak sempurna bak model internasional.
Siapa yang tidak tergila-gila dengan Maximilian Alexander, seorang milyuner yang terkenal tampan namun dingin terhadap wanita itu? Maximilian adalah idola para wanita. Ditambah lagi dengan harta keluarga yang melimpah hingga tujuh turunan serta kepiawaian nya berbisnis, membuat sosok Max semakin ditakuti dan dihormati para pesohor dunia.
"Ruang meeting tujuh, Tuan Max," kata sekretaris wanita yang tiba-tiba muncul di samping Max, sambil mengarahkan bosnya ke ruangan yang digunakan untuk meeting rutin bersama para petinggi perusahaan.
"Baik." Max mengangguk dan melangkah bersama sekretaris wanita itu masuk ke ruang meeting tujuh.
Sementara itu..
Di meja resepsionis lobi kantor The Alexander's Perfume, berkumpul beberapa karyawan wanita yang sedang asyik menggosip disana.
"Apa kamu sudah dengar, kalau bos tampan kita akan mengadakan pemilihan gadis untuk menjadi pendampingnya?"
"Ya-ya, aku sudah membacanya di berita online dini hari tadi. Tapi sayang, namaku tidak mengandung arti nama bunga," keluh muram wanita yang berpakaian seragam marketing.
"Gunakan kartu identitas lain saja, lalu menyusup ke dalam acara pemilihan itu," usul wanita penjaga meja resepsionis sambil bercermin dan mengoreksi dandanannya.
"Dasar bego! Kamu pikir mereka akan membuat acara dengan sembarangan?!" sembur wanita dari divisi legal. "Pria se-kaya Tuan Max pasti akan menggunakan jasa profesional. Dan pasti ada barisan pengacara yang menjaga acara itu agar tidak ada yang berani mencurangi."
"Lalu bagaimana?" rengek wanita marketing itu sambil memonyongkan bibir seksinya. "Aku ingin sekali didekap tubuh atletis itu. Aku juga ingin dibuat menjerit puas olehnya. Dia pasti hebat di ranjang," lanjutnya seraya melamun.
"Aku juga. Oh, Tuan Max.. dia selalu menjadi bahan fantasiku saat bercinta," sela wanita penjaga resepsionis sambil memeluk tubuh montoknya sendiri dan mendesah. "Namun sayang, aku sudah tidak perawan lagi, jadi aku tidak bisa ikut pemilihan itu. Hiks, sedih deh."
"Huuu... lebay."
Bersambung...