webnovel

16. Bertemu Andreas

Langit bersih tanpa gumpalan awan masih menyambangi kota sampai sore tiba. Kondisi kampus belum kehilangan eksistensi penghuninya sebab kelas malam mulai berlaku semester ini. Beberapa mahasiswa membentuk gerombolan di koridor maupun taman-taman kecil. Mereka tampak riang mengobrol atau mendiskusikan sesuatu, beberapa gerombolan bahkan tak sangsi tertawa keras yang mengundang perhatian.

Senyum dengan gigi-gigi menyeringai terlukis di wajah mereka. Tampaknya pertemanan mereka sudah sekental tinta hitam, berbeda denganku. Kuakui rasa iri menguasai hati, sebab aku sama sekali tak memiliki teman dekat. Tidak, aku pernah punya. Namun, aku menjauh. Ya, aku selalu membangun dinding untuk orang lain. Duniaku adalah duniaku yang jelas berbeda dengan orang lain.

Seperti rencanaku tadi, aku akan menemui Andreas untuk menanyakan keberadaan Flo. Fakultas ekonomi sudah tak jauh dari pandangan mata, tapi sepertinya bangunan disana sudah hampir kosong. Oh tidak apakah aku terlambat? Tentu langkah kakiku harus dipercepat. Ada perempuan berbaju oranye yang berkutat dengan ponsel sambil bersandar di salah satu tiang koridor.

"Permisi, apa kau dari fakultas ekonomi,"

"Hmm," perempuan itu mendongakkan wajahnya sekilas lalu mengangguk.

"Apa kau kenal Andreas? sudahkah ia meninggalkan tempat ini?"

"Kau ini banyak tanya sekali, aku tidak tahu," cueknya memasang raut kesal sebelum melangkah pergi.

Oh gadis macam apa itu? Bukankah aku baru mengajukan tiga pertanyaan? Sudahlah tidak ada gunanya - gumamku sembari melangkah maju. Aku tak akan menyerah untuk menemui Andreas.

Beruntung ada gerombolan laki-laki di lantai dua dan mereka menunjukkan padaku dimana Andreas sedang berada. Ia sedang di kelasnya. Entah apa yang ia lakukan, aku masuk tanpa mengucap sepatah salam pun, ia sedang duduk berhadapan dengan lelaki lain.

"Kau? kau temannya Flo, bukan?"

Aku mendekat ke arah pacar Flo yang berambut pirang itu.

"Ya,"

"Mau apa kau menemuiku?" tanyanya dengan satu alis terangkat.

"Apa kau bersama dengan Flo belakangan ini?"

Ia menggeleng dengan binar mata kebingungan,

"Tidak,"

"Tetapi apa kau tau dimana Flo berada sekarang?"

"Memangnya kenapa? apa dia meminjam uang darimu, katakan berapa jumlahnya! aku yang akan membayar," tangan Andreas bersiap mengambil dompet di saku belakang.

Lelaki ini sungguh sangat cepat mengambil kesimpulan.

"Maaf, tapi tebakanmu salah, ia tidak membalas pesanku sejak malam lalu dan tak hadir di kelas tadi, aku sedikit cemas jika ia sakit atau apa,"

Andreas tak langsung menjawab, tatapan nya diambil alih oleh lantai sejenak.

"Kau juga susah menghubunginya bukan? cobalah untuk memeriksa apartemennya," saran teman Andre yang kulitnya sedikit lebih pucat.

"Benarkah? biasanya ia tak bisa tak mengirim pesan sehari atau meneleponmu sebelum tidur," sahutku semakin menekan Andre untuk menjawab.

"Tahu dari mana kau?" tanyanya dengan tatapan sinis.

Mengapa sepertinya orang-orang disini tidak menyukaiku? - heranku pada diri sendiri.

"M-mmh dia yang menceritakannya padaku,"

Andre mulai berdiri diikuti temannya, lalu mendekat ke tempatku sedang berdiri,

"Aku akan pergi ke apartemennya, jangan cemas! kau bukan keluarganya,"

Setelah mengatakan perkataan terakhir, ia berjalan melewatiku. Jika Flo tidak sedang bersama Andreas, lalu dimanakah ia? mungkinkah di rumah? tapi tak mungkin tidak membalas pesanku. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi padanya.

"Tunggu!" cegahku sambil berbalik badan.

Kedua lelaki didepan sana berhenti sebelum menghadapkan tubuhnya padaku.

"Jika sudah tahu keadaannya, tolong hubungi aku," pintaku agak memelas agar Andreas yang terkenal keras kepala itu mengabulkan.

"Hmm," ia hampir saja berbalik badan.

"Apa kau menyimpan nomorku?"

"Tidak," sahutnya singkat.

Hanya dalam waktu pendek kami bertukar nomor. Sungguh jika tidak dalam keadaan mendesak aku sangat benci menebar nomor sembarangan. Tapi, aku benar-benar berharap semoga tidak terjadi sesuatu pada Flo. Dengan sekejap, Andreas dan temannya menghilang ditelan tembok bercat putih. Aku sendirian di kelas. Oh tidak, ini saatnya untuk pulang.

Kondisi sekitar fakultas ekonomi tak jauh berbeda dari saat aku memasukinya tadi, kebetulan sekali pintu gerbang keluar dekat dari sana. Hari belum terlalu sore untuk langit yang masih biru cerah, tampaknya tidak ada tanda-tanda hujan seperti yang sering terjadi belakangan ini. Tempo langkahku sedikit melambat saat melewati turunan, beruntung aku sedang tak memakai sepatu hak tinggi.

Pandanganku hampir tersita sepenuhnya untuk mengawasi kedua kaki dibawah sana. Namun sepintas aku mendapati chevrolet chevvele ss-454 merah keluar melewati gerbang yang tak jauh dari mataku.

"Mrs Bianca," sebutku dalam hati menyadari model kendaraan satu-satunya di kampus.

Rasa curigaku langsung meluap-luap mengingat kejadian di kelas tadi saat aku tak sengaja melihat layar ponselnya yang menyala. Tetapi aku langsung menggeleng-gelengkan kepala, jika yang mengirim pesan pada dosen itu adalah Flo yang sedang hilang, mana mungkin. Sebab aku menghubunginya saja tidak tersambung.

Mobil merah milik perempuan berambut keperakan itu segera menghilang dari pandangan. Aku mengembalikan perhatian pada langkahku agar tidak terpeleset di turunan yang curam. Tiba-tiba seorang yang wajahnya cukup familiar muncul dua meter di depanku. Ia dengan tampang polos tak berkaca mata memegang cornetto strawberry vanila. Kemeja kotak-kotak menjadi style andalannya ke kampus. Kami tak terlalu dekat,

"Aster, kau belum pulang?" tanyanya tak menyadari jika cornetto-nya mulai meleleh.

"Hm,"

"Aku minta maaf soal kejadian terakhir,"

"Never mind," sahutku singkat sambil terus berjalan.

Aku tidak peduli jika lelaki berwajah khas Asia itu terus mengikuti. Ia membuat masalah terakhir kita bertemu, minta maaf pun tak akan cukup.

"Tapi ekspresimu masih terlihat kesal, aku sungguh menyesal, kau bisa memegang janjiku untuk tidak mengulanginya lagi,"

Es krim di tangan Jason semakin mencair, meski matahari tidak terlalu menyengat.

"Lupakan saja!" tegasku berharap ia segera menjauh.

"A-aku sedang mabuk saat itu, a-ku tidak sadar apa yang kulakukan,"

"Bodoh! Orang seperti dirimu, mabuk? apa kupingku baik-baik saja," aku terpaksa berbalik badan untuk meladeni si poni rata. Jason terbungkam, lalu perlahan

mengangguk.

"Benar-benar tidak ada gunanya," gumamku cepat pergi dari hadapan lelaki itu.

Cornetto-nya sudah mulai mengotori tangan yang memegang. Aku mengenalnya sebagai orang baik jauh sebelum kejadian itu.

Beberapa minggu lalu, aku menjadi korban kelas malam. Aku berjalan sendiri di tengah jalanan yang sepi. Sebenarnya rasa malas sedang menggerogotiku waktu itu. Tiba-tiba suara rintihan tak biasa datang dari kejauhan, seperti makhluk yang didera rasa sakit berlebihan. Semakin aku mendekat semakin jelas pula rintihannya, tengkukku bergetar, bukan akibat hawa dingin. Suara itu membuatku seolah merasakan hal yang sedemikian menyakitkan. Jalanku mulai berubah mengendap-endap.

Seorang lelaki berbalik badan dengan baju berdarah-darah. Kedua tangannya sedang memegang seekor anjing kecil yang bulu putihnya telah ternodai warna merah. Dari leher si anjing darah terus mengalir, tubuh kecilnya bergetar menahan nyawa yang hendak melayang. Suara rintihannya kian mengecil, sorot matanya penuh kepedihan.

"Jason," panggilku pada lelaki berwajah datar itu.

Tak jauh dari kakinya tergeletak logam pipih panjang karatan yang penuh darah. Aku menggigit bibir bawah agar tidak berteriak. Pemandangan macam apa ini? Jason baru saja menyembelih seekor anjing kecil tak berdaya.

Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kami terjebak dalam kebekuan cukup lama hingga anjing di tangannya benar-benar kehabisan napas. Tiba-tiba sorot cahaya senter datang dari kejauhan, kami melihat ke arah yang sama. Wajah pembunuh itu berubah panik, ia mendekat dan memindahkan mayat binatang malang berbulu putih ke tanganku. Aku tak bisa berkata apa-apa, tanganku bergetar hebat. Noda darah mulai mengotori tangan dan pakaianku.

Sorot senter tadi mengarah padaku,

"Siapa kamu?!" tanya seorang berseragam petugas keamanan dengan nada tegas.

Raut mukanya berubah drastis saat melihat apa yang ada di tanganku.

"Kau? kau y-ang mem-bunuh a-anjing itu?" tanya si petugas terbata-bata.

Sangat jelas ia terkejut, tapi mau bagaimana lagi.

#bersambung#

Chapitre suivant