Selama masih di pos Polisi Hutan, Miranda mengikuti Mori tanpa sepengetahuan Alysha dan Ustaz Ali. Miranda merasa kalau dekat dengan Alysha hanya akan merepotkan, sementara itu kalau berada di dekat Ustaz Ali, Miranda pasti dicurigai yang aneh-aneh.
"Aku tak akan bicara macam-macam, jadi carilah kegiatan lain." Ucap Mori santai ketika Miranda mengikutinya ke salah satu mobil Polisi yang terparkir di halaman. Mobil yang ia tumpangi ke tempat itu dengan Yandri sebagai pengemudinya.
"Aku tidak punya kegiatan lain, karena orang yang 'tersesat' itu sudah ditemukan."
Mori menoleh sekilas kepada Miranda yang berjalan tepat di sisi kanannya. "Bukankah kamu yang membuat mereka tersesat?"
"Eh. Bukan. Tidakkah kamu perhatikan 'makam tanda' itu sudah lama ada. Mereka saja yang tanpa sengaja melintas di wilayah 'makam tanda' itu!"
Mori berhenti tepat di samping mobil polisi, memperhatikan sepedanya yang ada di atas bak mobil lalu menoleh memperhatikan Miranda. "Aku tidak begitu paham dengan maksud 'makam tanda', tolong jelaskan!"
"Baiklah. Makam tanda itu adalah sebuah makam kosong tanpa jasad di dalamnya. Biasanya dibuat untuk mengenang seseorang yang telah meninggal dan dikuburkan di tempat lain, tapi pihak keluarganya ingin memindahkannya namun tidak bisa. Atau seseorang yang telah meninggal, namun tidak diketahui di mana jasadnya. Maka dibuatkanlah sebuah makam untuk mengenang keberadaan orang tersebut. Terkadang ada yang meletakkan benda yang biasa dikenakan orang yang telah meninggal di dalam makam tanda."
Mori mengangguk mengerti mendengar penjelasan Miranda. "Lalu apa kamu tahu makam tanda milik siapa yang ada di tengah hutan itu?"
"Aku tidak begitu tahu. Tapi kata Tuan Idris, makam itu makam salah satu kerabat kerajaan. Kamu lihat sendirikan, makam besar seperti itu biasanya hanya untuk kalangan keluarga kerajaan karena sesuai statusnya. Orang biasa mana bisa membuat makam yang hanya makam tanda sebegitu besar! Ukiran pada nisannya saja jelas menunjukkan mahalnya biaya pembuatan makam itu!"
"Oh iya, Tuan Idris itu apa sebenarnya?"
"Seperti apa Tuan Idris itu kamu lihat?" Miranda balik bertanya.
"Manusia." Jawab Mori dengan polosnya.
Miranda menghela nafas. "Lalu kenapa kamu bertanya lagi? Aneh"
"Bukan begitu maksudku. Dia memang terlihat seperti manusia biasa. Tapi ada yang aneh ketika dia mengatakan kalau dia sudah lebih dahulu ada dari bangsa kulit putih yang pernah menjajah bangsa kita."
Miranda diam sesaat memperhatikan Mori. "Aku tidak akan menjawabnya. Kamu cobalah tanya langsung pada Tuan Idris."
"Aku sudah bertanya langsung padanya ketika pertama bertemu..."
"AH. ITU DIA!" terdengar suara Alysha berseru.
Mori membalik tubuhnya untuk melihat ke sumber suara Alysha. "Kenapa sih cewek bawel satu ini pagi-pagi sudah teriak-teriak?"
Alysha mendekati Mori dengan sedikit berlari. "Ngapain kamu di sini?"
"Aku sedang..." Mori menoleh ke arah Miranda, tetapi Mori jadi terdiam sendiri karena Miranda tidak lagi ada di dekatnya walau ia melihat ke sekeliling yang mungkin Miranda baru saja pergi. Tapi Miranda seolah menghilang begitu saja.
"Sedang apa? Sibuk dengan sepedamu itu?"
"Bawel ih. Kalau iya, kenapa? Sibuk saja nih cewek." Sahut Mori sambil memanjat bak mobil polisi dan memeriksa sepedanya. Sepeda gunung kesayangannya yang hanya dipakai di hari Sabtu dan Minggu. Kebetulan ia pakai sepeda saat Ustaz Ali datang menjemputnya.
"Kamu yang bawel. Aku ke sini mencarimu karena disuruh Ibu Bunga, waktunya sarapan bersama sebelum kita kembali ke kota."
Mori yang masih asyik dengan sepedanya membalik badannya cepat. "Makan?! Wah, ayo!"
"Soal makan saja cepat."
"Panggilan alam itu jangan ditunda dan malu-malu itu tak membuat kenyang! Ayo. Hehehe..." ucap Mori dengan bersemangat segera melompat turun dari atas mobil. Berjalan mendahului Alysha yang hanya bisa tertawa melihat tingkah sahabatnya itu.
Mori berpaling ke belakang karena Alysha yang lambat jalannya, Mori menarik lengan kiri Alysha lalu mengajak jalan bersama sedikit lebih cepat. "Eh. Jangan ditarik."
"Makanya ayo cepat."
Alysha tertawa kecil dan mempercepat langkahnya menjadi lari-lari kecil bersama Mori yang sudah tidak sabar untuk makan.
***
Setelah sarapan dan menerima ucapan terima kasih dari warga serta polisi, akhirnya rombongan tim pencari sukarelawan yang telah membantu pencarian dua warga tempatan, dua polisi dan seorang penebang liar selama tiga hari, akhirnya berangsur pulang yang sebagian berasal dari kota.
Begitu pula dengan Mori, Alysha dan Ustaz Ali yang kembali diantar oleh Yandri sampai ke rumah masing-masing. Tapi, belum separuh jalan keluar dari wilayah hutan iringan mobil mulai terjebak dalam lumpur.
Mori menghela nafas mengetahui itu. "Itulah kenapa saya sarankan Pak Yandri untuk jalan di depan. Jalannya jadi tidak bertambah hancur kalau mobil kecil jalan duluan."
Yandri diam dan mengangguk sekali. Merasa menyesal tidak mendengarkan Mori.
"Kalau begini entah sampai kapan kita bisa keluar." Keluh Mori melihat tiga mobil di depan yang pasti akan terjebak semuanya. Ditambah lagi mobil yang ia tumpangi.
"Kamu jangan banyak mengeluh bisa, tidak sih Mor?" tanya Alysha yang kesal mendengar ocehan Mori.
"Aku akan terus mengeluh. Ini kebiasaan."
"Kalau begitu cobalah kebiasaan baru. Keluar dan bantu dorong sana!"
"Tidak sudi!" ucap Mori tegas.
"Keras kepala!"
"Biarin." Sahut Mori sambil melihat jam pada ponselnya lalu melihat ke belakang. Ke arah sepedanya. Mori tersenyum sambil mengambil tasnya lalu segera keluar dengan cepat.
"Kamu berubah pikiran?" tanya Alysha.
"Tentu saja."
Ustaz Ali yang sudah keluar lebih awal melihat ke arah Mori. "Kamu tunggu saja di dalam. Biar Ustaz saja yang membantu ke depan."
"Terserah ustaz." Sahut Mori segera memanjat bak mobil lalu menurunkan sepedanya.
Alysha mengeluarkan separuh tubuhnya dari jendela mobil yang terbuka. "Jangan bilang kamu mau pergi pakai sepeda?"
Mori hanya tersenyum dan mulai mengayuh sepedanya. "Sampai jumpa cewek bawel."
Ustaz Ali dan Yandri yang melihat Mori pergi meninggalkan rombongan yang terjebak lumpur dengan sepeda hanya bisa terdiam. Begitu pula dengan anggota tim pencari lainnya.
Mori berjalan pada pinggir jalan yang berumput dengan tanah yang kuat dan tidak berlumpur. Hanya sebentar saja ia sudah terbebas dari jalan berlumpur yang menjebak empat buah mobil.
Setahu Mori ketika mendatangi tempat itu, ada tiga titik yang dapat membuat mobil terjebak. Karena mengetahui itulah Mori memutuskan untuk kembali dengan sepeda walau untuk keluar dari hutan membutuhkan waktu tiga jam jika memakai mobil. Dan akan lebih lama lagi jika terjebak lumpur sebanyak tiga kali di tengah hutan.
Untuk Mori menjelajahi hutan menggunakan sepeda sudah biasa dilakukannya. Terlebih lagi ia juga tergabung dalam komunitas sepeda gunung yang cukup profesional dan sering mengikuti perlombaan.
Selepas terbebas dari jalan tempat mobil yang terjebak, Mori mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto lalu membuat status dalam grupnya. "Saya sedang ada di Hutan Adat Rimbo Panjang, dekat perbatasan kota. Ada yang sedang berada di sekitar lokasi?"
Senyum Mori melebar ketika mendapat balasan setelah beberapa meter mengayuh sepedanya karena ia tidak akan sendirian lagi. Ada empat orang teman dalam komunitasnya yang ada di dekat lokasi.