webnovel

Bayang Kematian

Riko datang nyamperin Dito yang duduk di kursinya.

"Dit, Lu kenapa?"

Dito hanya diam, dia begitu enggan menjawab pertanyaan Riko dan memilih menutupi wajahnya dibalik kedua tangan yang terlipat di atas meja.

"Hei, Lu cem bocah gitu, Dit?" tanya Riko kembali, kali ini sambil menepuk lembut pundak Dito.

Dito masih menahan, ia hanya menggoyangkan pundaknya agar tangan Riko menyingkir.

"Dit, enggak lucu ah. Jelasin, Lu kenapa?" tanya Riko kembali, kali ini ia duduk di kursi kosong yang ada di depan Dito.

"Lu marah gara-gara Gua nyamperin Andin? Karena gitu doang?" tanya Riko dengan entengnya.

Dito yang sedari tadi menahan kemarahannya pun mulai mengangkat tinggi badannya. Berdiri menatap penuh kemarahan ke arah Riko. Dengan berangnya ia berkata, "Lu yang bocah. Enggak perlu Lu buat begitu. Sok hebat, Lu. Sok pahlawan. Enggak Cuma Lu yang hebat di sini!" teriak Dito sambil menunjuk-nunjuk wajah Riko.

"Santai, Bro!" ucap Riko yang kemudian mendaratkan kedua tangannya pada kerah baju Dito.

"Apa, Lu? Mau gelud? Ayo!" teriak Dito dengan lantang.

Riki yang sedari tadi hanya diam pun mulai bangkit.

"Stop, Men! Enggak pria banget begini caranya," ucapnya mencoba melerai.

"Lu, mau bela kembaran Lu? Silakan! Lu berdua lawan Gua, Gua enggak takut!" ucap Dito dengan wajah memerah. Kedua matanya menyala-nyala.

"Pergi Lu! Ini bukan urusan Lu!" sambung Riko dengan gigi merapat ke arah Riki.

"Oke, terserah!" ucap Riki yang kemudian melangkah keluar kelas.

Anak-anak yang berada di dalam ruang kelas memilih untuk keluar. Mereka terlihat takut, terlebih yang akan bertarung dua pemuda terkuat di sekolah. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang berusaha melerai. Tetapi, tak ada pula yan mau memanggil guru untuk menghentikan.

Dari wajah-wajah mereka, sepertinya mereka begitu menantikan pertarungan ini. Jauh sebelum ini terjadi, mereka sudah lebih dulu mengandai-andai. Jika Riko dan Dito bertarung siapa yang akan menang. Malah ada beberapa anak lelaki dengan wajah menjijikkan sibuk mengumpulkan dana untuk taruhan.

Suasana kelas yang tadinya hanya berisi beberapa orang siswa, mendadak menjadi ramai. Bahkan anak kelas lain dan adik kelas juga ikut berkumpul. Mereka berdiri sambil menginjak kursi yang ada di teras, lalu melihat ke arah dalam melalui jendela kaca.

Dito dengan kasar menjauhkan tangan Riko dari seragamnya, hingga menyebabkan seragam Dito sedikit sobek terkena kuku Riko. Keduanya mulai terlihat memasang kuda-kuda dengan kedua tangan mengepal seakan siap menghantam. Namun, keduanya masih menahan pukulan dan saling menatap penuh kebencian, seperti memandang musuh.

"Hajar, Dit!" teriak beberapa siswa dengan semangat.

"Hantam, Ko!" teriak siswa lainnya. Sepertinya mereka memang menunggu hari ini. Hari dimana kedua sahabat bertarung dengan kekuatan fisik mereka.

"Kita lihat, apa jadinya jika kalian bertengkar?" bisik seseorang dengan tatapan penuh kebencian. "Jika aku tak bisa mengalahkanmu, maka aku hanya perlu benteng untuk menghancurkanmu," bisiknya dengan senyum sinis.

Riko yang sedari awal tak terlalu serius, dengan sengaja memanas-manasi Dito.

"Ayo! Keluarkan kemampuan Lu. Bukannya, Lu yang tadi nantangin Gua?" ucap Riko dengan wajah menyelepekan.

Dito yang sudah benar-benar marah mulai melayangkan tinjunya. Kepalan berat itu mendarat empuk tepat di pipi kiri Riko. Membuat Riko dengan seketika terjatuh dengan posisi tubuh terlentang di atas meja.

"Ha, ha, ha," Riko tertawa dengan nada meremehkan. Sepertinya ia dengan sengaja memancing kemarahan Dito dan berharap ia kembali memukulnya.

"Kurang ajar!" teriak Dito yang kembali hendak melayangkan tinju ke arah Riko.

"Dito!" teriak Andin yang baru saja tiba di depan pintu kelas. "Apa-apaan kalian? Emang kalian pikir ini ring tinju?" ucap Andin yang dengan seketika membuat Dito terdiam kaku dengan tangan yang siap meninju.

"Lu, kenapa Lu berantem? Hah!" ucap Andin memandang kesal ke arah wajah Riko yang kini terlihat membiru dan sedikit membengkak. Sepertinya tinju Dito tidak main-main dan Riko dengan sengaja mengalah dan emang tidak berniat membalas. Ia begitu rela dengan sengaja dihajar sahabatnya sendiri agar Dito merasa puas. Baginya, ini cara membayar kesalah pahaman yang ia perbuat.

"Lu, Rik! Bukannya melerai, Lu malah duduk tenang nonton!" ucap Andin, kali ini menunjuk ke arah Riki. Riki hanya membuang pandang ke sisi lain, ia enggan menjawab kemarahan Andin.

"Kalian lagi! Pergi, pergi, pergi! Manusia enggak sih, kalian?" ucap Andin ke arah semua siswa yang berkerumun.

"Hu ...!" teriak anak-anak yang merasa kecewa karena kedatangan Andin.

"Enggak asik, Lu!" teriak seorang anak yang kemudian berlalu pergi.

Andin terlihat tak perduli, baginya keselamatan ketiga pria ini jauh lebih penting dari sekedar ejekan para siswa.

"Puas? Atau masih mau lanjut!" teriak Andin sambil menepuk kuat meja dengan telapak tangannya. Nadanya mulai melembut dan sedikit bergetar. Sepertinya Andin hendak menangis dan ia sedang berusaha menahannya.

Wajah Andin, Riko, Riki saat itu kembali terbayang di ingatan Dito. Ia merasa bersalah telah memukul sahabatnya sendiri, hingga kini ia harus menghadapi semua ini sendiri.

"Andai saja, Gua enggak egois. Mungkin kalian berdua ada di sini dan membantu kami," ucap Dito ditengah hilangnya kesadarannya.

"Dit!" suara itu terdengar tak asing. Seseorang memanggil dirinya, membuat Dito berusaha menguatkan diri.

"Dit!" suara yang lain. Kali ini ia yakin kalau itu suara Riko. Dito dengan bersusah payah membuka kembali matanya. Saat ini ia kembali melihat wajah Riko yang terlihat cemas.

Seseorang menarik tangannya hingga kini berada di permukaan. Dito masih belum tersadar, sayup-sayup ia kembali mendengar namanya dipanggil.

"Dit!" kali ini suaranya begitu nyata, "Plak!" tamparan mendarat di pipinya. Dito tersadar, ia melihat Riko berada di hadapannya.

"Ko?" ucapnya yang masih tak menyangka. Baginya, ini hanyalah halusinasi semata.

"Ya, ini Gua, Riko!" ucap Riko dengan senyuman terkembang.

Tanpa sadar Dito dengan segera memeluk erat tubuh Riko. Ia begitu bahagia akan kedatangan sahabatnya. Meski ia ahli dalam bertarung, namun Riko tetap lebih unggul dalam hal kekuatan dan ketahanan.

"Maafkan aku, Ko!" ucap Dito dengan mimik wajah haru.

"Iya ..."

Dito kembali menjauhkan tubuhnya dari Riko. Perlahan matanya menatap ke arah pipi kiri Riko, bekas pukulannya tiga hari lalu masih membiru dan itu semakin membuatnya menyesal.

"Luka, Lu?" ucapnya dengan tatapan menyesal.

"Bukan waktunya bahas itu. Kita harus menolong anak-anak yang lain. Jangan sampai mereka mati ketelan air," ucap Riko dengan semangat.

Berbeda jauh dengan Dito yang nyaris kehabisan tenaga karena menghantam banyak serangan. Riko dengan gagah mengatakan, "Lu di sini aja. Biar Gua yang menyelesaikannya," ucap Riko yang kemudian kembali menyelam menuju lantai. Gerak tubuh Riko mengarah pada benda hitam yang sempat Beni tunjuk sebelumnya.

Meskipun Riko memiliki tenaga lebih dan kecepatan yang baik dalam bertarung, namun sepertinya itu tidak berlaku jika di dalam air. Ia tidak bisa menggerakkan tenaganya dengan mudah karena keseimbangan di dalam air mengganggunya. Ia menggunakan banyak cara untuk mengangkat benda hitam itu. Namun, benda itu benar-benar berat.

Mengangkat dengan kedua tangan, lalu dibantu dengan dorongan kedua kaki yang sengaja di letakkan pada dinding kelas pun tak berhasil. Napasnya nyaris habis, ia berenang ke arah atas dan kembali mengambil napas, lalu kembali menyelam.

Ini usahanya yang ketiga kali, ia berharap kali ini berhasil.

"Ya, kali ini harus bisa!" ungkapnya dengan semangat membara.

Perlahan benda hitam berat itu mulai bergerak, namun tidak banyak. Mengandalkan kedua otot tangan, Riko berusaha lebih keras lagi. Terlihat otot-ototnya melotot seakan hendak menjerit keluar. Tidak sia-sia, benda hitam itu terangkat, namun tidak terlalu tinggi. Hingga air tidak kunjung surut.

seketika Dito datang, kali ini mereka bekerja sama mengangkat benda hitam itu dan, "Plak!" benda hitam itu terangkat. Air pun bergerak cepat menuju lubang dengan banyak besi panjang sebagai penyaringnya. Kini ruang kelas benar-benar kering dan anak-anak yang tersisa tampak tergeletak lemah di atas lantai.

"Ayo!" seru Riko yang kemudian menghampiri Andin, Jessy dan Beni.

Chapitre suivant