webnovel

Pertarungan Sengit

Dito dengan segera menghampiri Andin. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang mulai membiru. Sedangkan Riko yang berniat membangunkan Beni pun gagal, karena Beni lebih dulu bangun dengan sendirinya. Mau tak mau, Riko harus mendekati Jessy. Sama halnya dengan Andin, tubuhnya menjadi seputih kapas dan bibir yang tak lagi memerah.

"Bagaimana ini?" tanya Dito dengan cemas, sedangkan tubuh Andin masih berada di atas pangkuannya.

"Gua enggak yakin," jawab Riko. Sepertinya Riko berpikir untuk memberikan napas buatan, namun ia merasa geli. Meskipun Riko gagah, maco dan disukai banyak cewek, namun tak ada sedikitpun ia berpikir untuk berkencan ataupun berpacaran. Baginya pertemanan dengan pria jauh lebih menyenangkan. Hingga tidak heran, saat seperti ini ia enggak mau mengambil kesempatan.

"Maksud Lu?" tanya Dito yang mendadak bodoh karena terus berada pada kondisi tertekan.

Beni yang sedari tadi sibuk mencari kacamata kini sudah memakainya. Seketika ia tersadar.

"Eh, dua siswa lagi mana?" ucapnya dengan wajah bingung.

Dito yang mendengar ucapan Beni pun juga ikut melihat kesekitaran. Benar, tak ada orang lain selain mereka yang kini berlima dengan adanya Riko.

"Eh, iya. Kemana mereka? Enggak mungkin mereka hilang dan kesedot air kan?" tanya Dito dengan wajah kebingungan.

"Enggaklah! Lagian ..." Riko berniat mengatakan ada jaring pada lubang besar tadi. Hingga tidak mungkin ada yang tersedot. Namun, saat ia melihat ke arah lubang, justru lubang itu sudah hilang. Yang ada hanya lantai kelas seperti biasa.

Masih dalam kondisi kebingungan, seketika dinding kelas bagian belakang menjadi bolong seakan ada pintu yang terbuka. Lalu asap putih keluar dari lubang itu. Dengan segera Dito memindahkan tubuh Andin ke sudut ruangan. Begitu pula dengan Riko yang terpaksa memindahkan tubuh Jessy di samping tubuh Andin. Sepertinya mereka sadar akan ada lagi rintangan yang harus mereka hadapi.

"Buset, nih cewek badannya kecil berat juga," gerutu Riko yang begitu tak iklas memindahkannnya.

Asap putih itu mengepul tebal hingga menutupi lubang. Namun, perlahan menghilang dan berganti sosok dua siswa yang sedari tadi mereka cari.

"Eh, itu mereka!" teriak Beni dengan semangat. Bergerak dengan niat menyamperin mereka.

"Tunggu, Ben. Gua ragu dengan mereka," ucap Dito sambil menahan tubuh Beni dengan tangannya.

"Kita sekarang berada dalam permainan dan kita harus menyelesaikan permainan ini," jelas Riko.

Beni dan Dito hanya bisa memandang bingung dengan dahi mengernyit. Mereka tidak mengerti apa yang Riko katakan.

"Nanti akan aku jelaskan. Di sini, kita hanya perlu memenangkan pertandingan dan menyelamatkan banyak nyawa lainnya," sambung Riko. Sepertinya ia sadar akan kebingung kedua temannya.

Dito dan Beni mengangguk. Dengan penuh keyakinan Riko berkata, "Ben, Lu jaga tuh cewek. Biar kami yang lawan."

Beni setuju dan ia pun berdiri di dekat para gadis yang masih tertidur dengan lelapnya. Sedangkan Riko dan Dito saling tatap dan mengangguk. Memasang kuda-kuda dengan kedua tangan berada dalam posisi mengepal.

Kedua siswa yang baru muncul memiliki tubuh yang imbang dengan mereka. Tegap dan tinggi, hingga mereka meresa akan mudah ditaklukkan. Namun ternyata mereka salah.

Siswa berkulit hitam dengan segera melayangkan tinju ke arah wajah Riko, namun Riko dengan gesit mengelak. Begitu pula siswa berkulit putih, melayangkan tinju kidal ke arah wajah Dito. Lalu Dito berusaha menangkisnya. Betapa kagetnya Dito begitu tahu kekuatan lawannya. Telapak tangan Dito begitu kesakitan, terasa pedih dan panas. Lengannya sampai bergetar menahan satu pukulan.

Riko yang menyadari itu pun turut kaget. Kini mereka lebih serius dalam menghadapi lawannya.

Tanpa bantuan alat, Riko dan Dito bertarung melawan dua siswa yang ada. Mereka melompat, menendang dan meninju. Semua jurus mereka keluarkan. Bak petarung bebas, mereka melawan musuh dengan garangnya.

Dito yang tak lagi memiliki tenaga maksimal memilih banyak mengelak di awal. Ia berharap lawannya akan melemah karena kelelahan, barulah ia akan menyerang kembali dengan sisi tenaganya. Namun, lagi-lagu Dito salah. Kegesitannya mungkin bisa menghindari pukulan dan tendangan lawan. Namun, sepertinya sang lawan bertenaga super. Ia terus saja memukul dengan kuat dan cepat, hingga membuat Dito kebingungan. Bulir keringat terus bercucuran membasahi tubuhnya. Kelelahannya meningkat dan ia mulai kehabisan cara menghadapi lawannya.

Sedangkan Riko berusaha fokus dan mencari titik kelemahan lawan. Saat pukulan lawan mengarah ke bagian kepala, Riko dengan cepat merundukkan kepala dan menyundul kuat tepat di dadanya. Namun, lawannya masih saja tenang.

Kembali lagi Riko membiarkan lawan menyerangnya lebih dulu. Kini pukulan ditujukan pada perut Riko, dengan cepat ia memundurkan langkah dan menaikkan kakinya hingga menebas tepat di paha lawan. Namun, lagi-lagi sang lawan masih berdiri seimbang.

"Baiklah, jika bukan dada, perut dan kaki. Maka selanjutnya kepala," pikirnya.

Lawan terus menyerang, kali ini lawan sedang menghantam kaki kanan Riko. Namun, Riko lebih dulu mengangkat tinggi kakinya hingga menebas tepat di kepala lawan. Lawan terdiam sesaat dan itu membua Riko tersenyum.

"Yah, kepala. Itu poinnya," ucap Riko dengan semangat.

Saat ini ia tengah mengatur gerakan agar penyerangannya tepat di kepala lawan saja. Benar dugaan Riko, saat pukulan keduanya mendarat di kepala lawan, lawan terdiam lebih lama.

"Kepala, Dit!" teriak Riko yang berharap Dito mengerti.

Dito yang sudah kelelahan, dengan napas terengah-engah mencoba menyerang kepala lawannya. Namun sayang, keadaan berbeda. Ternyata titik kelemahan lawan Dito bukanlah kepala. Saat Dito menyerang kepala lawan, justru lawannya semakin berang dan menyerang dirinya secara membabi buta. Hingga saat penyerangan lawan ketiga kalinya, pukulan itu menghantam kuat dada Dito. Membuat tubuhnya tersungkur dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

Dito terbatuk, kepalanya sempat menghempas meja yang ada. Beni dengan segera mendekati Dito. Menarik tubuh Dito menjauhi arena tarung.

Kini kedua lawan tadi menyerang Riko secara bersamaan. Riko yang berada di posisi dua lawan satu pun menjadi terdesak dan tak fokus. Ia kesulitan karena memiliki lawan yang seimbang dengan dirinya. Terlebih saat ia tahu Dito terkapar setelah terkena hantaman.

"Sebisa mungkin Gua harus hindari pukulan mereka. Ini bukan lagi permainan, melainkan pertarungan sungguhan," gerutunya yang seketika menjadi semakin bersemangat. Harapannya untuk segera menyelesaikan permainan sampai di ubun-ubun. Melihat keadaan teman-temannya yang sekarang, Riko merasa prihatin.

"Kenapa harus begini? Kenapa harus terjadi?" gumamnya sambil terus menghindari serangan dan berusaha menyerang lawan dengan maksimal.

"Gua harus segera cari kelemahan yang satunya," ucapnya dengan gigi yang merapat.

Saat siswa kulit putih berniat menyerang kepala Riko, ia dengan segera menghindari lalu menendang lawan kulit hitam tepat di perut bawahnya. Membuat siswa kulit hitam terdiam sesaat.

"Yah, itu dia. Itu kelemahannya. Kini Gua bisa maksimal menyerang mereka," ucap Riko kembali, kali ini dengan tatapan yakin akan kemenangan.

Dito yang merasa tak tega akan keadaan Riko berusaha untuk bangkit dan kembali bertarung. Namun, belum melangkah tubuhnya sudah kembali jatuh dengan sendirinya. Semakin parah, kini hidungnya juga mengeluarkan darah. Membuat Beni kaget sekaligus bingung.

"Dit, Lu enggak apa-apa?" tanya Beni dengan nada yang tinggi.

Riko pun yang mendengar perkataan Beni seketika hilang konsentrasi. Ia terus menghindar serangan lawan, namun saat menoleh ke arah Dito pukulan double menghantam perutnya. Kini Riko tersungkur hingga punggungnya bersentuhan dengan dinding. Tercampak hingga terduduk lemah.

Chapitre suivant