webnovel

PUJIAN

Dilain pihak, melihat respons positif Papi Darma membuat hati Metha kembali panas. Batinnya mengoceh kesal, "Sial, akh! Bisa-bisanya si Megha dapat pujian juga dari Om Darma. Kok bisa sih, usahanya sepesat itu sekarang! Padahal tahun lalu gue lihat dia masih punya satu kafe kecil!"

"Kamu itu mengingatkan Om pada mamanya Alvan dan Rako, Megha," lanjut Papi Darma mengejutkan seisi ruang. "Kamu pekerja keras, dan penuh semangat. Om suka sekali dengan perempuan yang berani memutuskan untuk berbisnis. Itu keputusan besar karena mereka berani memulai segalanya betul-betul dari bawah."

Telinga Metha semakin gatal terasa.

Sadar saudara kembarnya tak tenang karena saingannya mendapat pujian. Megha langsung menambahkan ucapan Papi Darma.

"Terima kasih atas pujiannya, Om. Buat aku – perempuan yang memilih berbisnis atau pun berkarier di dalam perusahaan milik orang lain, keduanya sama-sama hebat, dan sama-sama berpeluang memberikan manfaat buat banyak orang. Apa pun bidangnya, pasti ada yang namanya kerja keras di sana. Benar kan, Metha?" sundul Megha sambil menatap Metha penuh saksama.

Prasangka buruk Metha menyala. Oa curiga kalau Megha sedang membelanya, merasa kasihan karena Om Darma ternyata lebih bangga kepada dirinya. Lantas dengan setengah hati Metha pun menjawab, "Ya. Saya setuju dengan pendapat Megha, Om. Kita punya minat dan cara masing-masing untuk berhasil."

Papi Darma mengangguk-angguk, menikmati betul obrolannya bersama kedua putri Agung Azkia

"Ya. Kalian memang perempuan-perempuan hebat," tandas Papi Agung mulai terbuka pada pendapat Megha dan Metha. Lalu mereka pun kembali melanjutkan makan, untuk menghabiskan steik daging sapi yang masih tersisa.

Selang 30 menit kemudian. Makan malam sudah selesai, piring steik yang kotor juga sudah disingkirkan oleh dua orang pelayan. Tinggalan hidangan penutup dan minuman tambahan yang kini terhidang di atas meja.

Jantung Metha berdebar lebih cepat. Makan malam telah usai, itu tanda pembicaraan yang sangat di nantikannya telah tiba. Rasanya Metha sudah tak tahan, ingin meluapkan emosinya dan memohon kepada Papi Darma agar tetap mengizinkan Alvan menikahinya.

Sebetulnya, saat pertama kali Papi Darma mendengar kabar kehamilan Megha, di hari yang sama ia juga sudah menghubungi Papa Agung dan dengan sepenuh hati memohon maaf atas kecerobohan yang dilakukan Alvan.

Pembicaraan mereka di telepon sudah sangat baik, dan Papi Darma memastikan bahwa anaknya akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hanya saya Papi Darma dan Papa Agung sama-sama tetap ingin ada pertemuan khusus, di mana mereka bisa saling bertatap muka untuk memastikan bagaimana langkah ke depannya.

Terlihat Papi Darma menarik nafasnya dalam-dalam sebelum memulai kalimat penting pertamanya. Matanya yang lembut menunjukkan rasa penyesalannya seraya memandangi Papa Agung, Mama Mawar, dan juga Metha.

"Saya – selaku orangtua Alvan memohon maaf kepada Pak Agung sekeluarga. Terutama kamu Metha," begitulah ucapan pertamanya sambil menundukkan kepala.

Alvan pun terlihat ikut mendudukkan kepala. Raut mukanya menunjukkan penyesalan yang amat dalam.

Tak terkecuali Megha. Mendadak ia jadi tidak nyaman hati melihat pria paruh baya yang baik hati itu harus melepaskan pangkat tingginya dan memilih menundukkan kepala di depan Papa Agung. Padahal – sejatinya tak ada sama sekali kesalahan di sini.

Berbeda dengan Rako, ia yang sejak tadi banyak diam justru terlihat lebih santai. Dalam hati ia juga merasa puas, melihat ayahnya yang selalu mengagungkan nama baik dan posisi puncak tertunduk lemah tak berdaya memohon maaf. Samar tersungging di sudut bibirnya, sebuah senyum kemenangan menerima keberhasilan pada tahap awal sebelum ia betul-betul menjadi pemimpin di Mahawira Group.

"Sudah Pak Darma. Sudah, cukup," sambut Papa Agung yang jadi merasa sungkan menerima perlakuan seperti itu. Mengingat Papi Darma adalah orang besar di dunia bisnis.

Kalau Papa Agung pikir-pikir lagi, sebetulnya ia tidak terlalu sepadan berbesan dengan Papi Darma. Ia hanyalah pengusaha kecil di bidang perhotelan yang masih belum mendapatkan bintang. Kalau bukan karena anak-anak mereka pernah bersekolah di tempat yang sama, tentu ia tidak akan pernah menggapai Papi Darma. Karena itulah disaat ia tahu Metha menjalin hubungan istimewa dengan Alvan, ia menjadi sangat senang. Ditambah, ia juga mendengar putrinya yang satu lagi juga menjalin cinta dengan si bungsu Rako.

Tahu kedua anak Papi Darma mau sama anak-anaknya saja dia sudah bersyukur apa lagi kalau ia sampai punya cucu keturunan keluarga Mahawira. Karena itulah Papa Agung sudah mewanti-wanti putri-putrinya agar tidak macam-macam dan menjaga baik hubungan yang mahal itu.

Namun ternyata nasib berkata lain. Hubungan cinta para anak tertua rusak oleh si bungsu. Walau sebetulnya... kalau Papa Agung gali lagi, sebagai ayah dia juga tidak rugi. Mau sama Metha atau Megha Alvan berjodoh, pada akhirnya ia tetap akan berbesan dengan Papi Darma.

Tetapi di dalam hati, sebetulnya ia lebih berharap Metha tetap menikah dengan Alvan. Metha lebih dekat dengannya dan mudah di atur, Alvan pun sebagai calon mantu juga sangat asyik di ajak mengobrol. Berbeda sekali dengan Megha yang selalu membangkang, dan Rako yang selama ia memacari anaknya tidak pernah sekalipun datang ke rumah memperkenalkan diri apa lagi mengobrol dengannya.

"Ini tidak sepenuhnya kesalahan Alvan, ada peran anak kami juga di dalamnya." Papa Agung melirik masam ke arah Megha.

Tidak sanggup mendapati lirikan ayahnya, Megha langsung menoleh ke arah berbeda.

"Saya sebagai orangtua juga memohon maaf kepada Pak Darma, dan juga Nak Rako. Karena tidak bisa menjaga putri bungsu saya dengan baik."

Megha mendengus kesal mendengar ucapan ayahnya. "Berusaha menjaga aja juga enggak, Pa!" geram Megha di dalam hati.

Papi Darma lantas kembali mengangkat wajahnya. Lalu ucapan penuh kesungguhannya kembali terlontar, "Saya pastikan Alvan akan menikahi Megha."

Janji itu begitu menggelegar ditelinga Metha. Nafasnya mulai tak tenang menahan geram. Tak sabar menunggu ayahnya sendiri yang mengatakan, Metha pun bangkit dari duduk untuk mematahkan janji Papi Darma.

"Enggak, Om!" ucapan tegas Metha membuat semua mata tertuju ke arahnya.

Dahi Papa Agung langsung mengerut, ia sadar putrinya sudah tak bisa mengendalikan diri. Padahal seharusnya ia yang menyampaikan apa yang diinginkan Metha kepada Papi Darma.

"Ada apa Metha?" tanya Papi Darma kebingungan.

Mama Mawar mencoba menarik tangan Metha. "Sayang, tenang dulu. Ayo duduk!" pinta Mama Mawar berusaha menjaga kesannya di depan Papi Darma agar tetap terlihat sebagai ibu yang lembut.

"Enggak bisa Ma! Aku nggak bisa tenang kalau kayak gini!"

Papi Darma mulai memahami perasaan Metha. "Duduk, Metha. Om akan tetap mendengarkan kamu di sini."

Metha mendapati sorot teduh dari mata Papi Darma. Menjadi sebuah hipnotis yang kuat, Metha tak sanggup menolak permintaan Papi Darma dan berusaha tenang untuk mengendalikan emosinya.

Chapitre suivant