"Sekarang ceritakan apa yang ada di pikiran kamu kepada Om," lanjut Papi Darma kala Metha telah kembali duduk dengan tenang.
Metha menatap wajah Alvan sejenak yang terpaku sejak tadi kepadanya. Lalu melihat Megha dengan mata kebencian, dan kembali menyorot penuh kesungguhan kepada Papi Darma.
"Om," wanita itu terdengar memulai dengan berat. "Saya mohon –" Metha menarik nafasnya dalam-dalam. "Tetap lanjutkan pernikahan kami, dan biarkan saya yang merawat bayi mereka."
Terkecuali Papa dan Mama, para penghuni meja makan seketika tergemap.
"Apa-apa'an sih lo, Tha?!" Megha merasa muak dengan perlakuan saudara kembarnya. "Lo pikir gue mau, nyerahin anak gue ke tangan lo?!"
"Kenapa enggak?!" balas Metha keras. "Harusnya lo nggak usah berat hati buat lepasin anak itu. Toh anak itu juga cuma buah dari kesalahan!"
"Enteng banget ya lo ngomong!" Megha tak kuasa lagi merendahkan suaranya. "Cara gue dapatin anak ini gue akui emang salah! Tapi ketika dia sudah ada, bukan berarti gue nggak punya cinta buat anak ini!"
Tatapan Metha semakin tajam. "Jadi maksud lo, lo tetap mau Alvan nikahin lo?"
"Iya!"
Metha menggeleng-geleng tercengang "Gila lo ya! Lo sadar gak sih, lo itu nggak butuh Alvan, Gha! Tapi cuma anak itu yang butuh Alvan! Jadi nggak seharusnya pernikahan gue sama Alvan batal!"
"Sebagai ibunya, gue mau rawat dan besarin dia di dalam keluarga yang utuh! Ayah dan ibu dia yang sebenarnya!"
Tatapan Metha semakin tajam. Menunjukkan betul-betul bahwa api di hatinya semakin berkobar.
"Cukup!" Papi Darma memutus perdebatan mereka.
Rako yang terduduk di antara ayah dan kakaknya terlihat tenang, menikmati pertentangan dua saudara yang terjadi di depannya. Dalam benaknya ia jadi punya pertimbangan lain, ide Metha memang menarik. Dengan begitu dia tidak perlu melepaskan Megha untuk dinikahi oleh Alvan. Apa lagi... reputasi Alvan di depan Papi Darma sudah berhasil ia lumpuhkan.
"Metha mohon, Om," lirih Metha kepada Papi Darma dengan raut muka yang merengek sendu. "Metha sudah bahas ini ke Papa dan Mama, mereka pun setuju."
Papi Darma melirik ke Papa Agung dan Mama Mawar. Mereka hanya membisu, namun dari kesan matanya mengakui bahwa apa yang disampaikan putrinya benar.
Sementara Megha, ia merasa kecewa seorang diri karena orang tuanya mendukung perpisahan antara ia dengan calon bayinya.
"Om," sambung Metha meminta Papi Darma kembali menatap matanya. "Aku sudah sangat kecewa dengan kejadian ini. Di pernikahan yang cuma hitungan minggu, semua mendadak berubah. Kalau sampai aku juga kehilangan Alvan – aku akan semakin bertambah terluka, Om."
"Tapi aku juga nggak mau kehilangan bayi aku, Om!" Megha menyela.
"Megha!" Papa ikut bersuara. "Kamu nggak akan kehilangan bayi kamu, kapan pun kamu bisa temui dia. Dia dirawat sama keluarganya sendiri, kok."
"Pah!" Megha kesulitan membalas ucapan ayahnya.
Masih ada hal yang mengganjal di hati Papi Darma. "Lantas, bagaimana cara kita menyembunyikan kehamilan Megha?"
Pertanyaan itu sungguh menambah keterkejutan Megha. Papi Darma menunjukkan betul bahwa ia mulai sepihak dengan Metha dan orang tuanya.
"Kita tetap nikahkan Alvan dengan Metha, Pak. Lalu sampai perut Megha mulai terlihat membuncit, dia akan kita kirim ke luar negeri atau ke vila keluarga kami untuk menetap sementara di sana. Di sisi lain seiring dengan proses kehamilan Megha, Metha harus mengabarkan pada orang-orang bahwa dia hamil. Dan hari persalinan Megha, itu berarti hari persalinan Metha juga. Tepat pada saatnya, kita umumkan bahwa Metha telah melahirkan, hasil buah cintanya dengan Alvan."
Papi Darma mengangguk-angguk paham.
"Pokoknya aku nggak mau!" Megha bangkit berdiri. "Aku mau rawat anak ini! Dan dia harus punya sosok orangtua yang lengkap!"
Rako merasa akting kekasihnya luar biasa. Akan tetapi ia tetap ikut berujar, memberi pertimbangan lain kepada Megha, memberi isyarat bahwa wanita itu tidak perlu berusaha keras lagi.
"Apa kamu bisa, merawat anak lo bersama pria yang sama sekali nggak cinta sama kamu?"
Megha tercengang oleh ucapan Rako. Berbeda dengan Metha, yang merasa semakin kuat karena satu orang lagi bertambah mendukungnya.
"Gha," lanjut Rako. "Aku setuju dengan pemikiran kamu bahwa anak itu harus dibesarkan oleh orangtua yang lengkap. Tapi kamu juga harus sadar, nggak ada cinta di antara kamu dan Alvan. Kasihan kalau anak kamu lahir nanti, dia akan tumbuh dan melihat hubungan orang tuanya terasa hambar. Jadi menurut aku, memang lebih baik dia dibesarkan oleh sepasang suami istri yang saling mencintai. Dan sudah jelas itu Metha dan Kak Alvan. Hanya mereka yang bisa menjadi orang tua yang utuh untuk anak itu."
Bibir Megha bergetar, matanya mulai digenangi air kesedihan. Wanita itu merasa hilang akal dengan yang kekasihnya katakan. Ucapan Rako menunjukkan bahwa ia tidak menginginkan anak ini.
"Kalau kalian masih maksa aku buat pisah dari anak ini, biar aku aja yang besarin dia sendiri!"
"Jangan ngaco kamu, Megha!" sergah Papa Agung ikut bangkit berdiri. "Papa nggak mau cucu Papa lahir tanpa ayahnya. Lagi pula mau ditaruh mana muka Papa kalau orang-orang tahu kamu punya anak tanpa menikah!"
Mama Mawar menggenggam tangan suaminya berusaha menenangkan. Sebelum akhirnya ia menarik lengan itu sebagai tanda untuk meminta pemiliknya duduk. Mama Mawar merasa tidak enak hati, kalau sampai pertengkaran suami dan anaknya terjadi lebih besar di depan sang calon besan.
"Megha. Om minta kamu kembali duduk sekarang," pinta Papi Darma untuk menyusul ayah perempuan itu agar kembali tenang.
Papi Darma lantas memberi perhatian penuh kepada Papa Agung.
"Pak Agung. Saya pribadi sebetulnya tidak ada masalah dengan ide yang Bapak berikan."
Megha merasa batinnya lagi-lagi tercabik. Ia mendekati keputusasaan, karena sebentar lagi kedua keluarga itu akan mengetuk palu untuk masa depan ia dan calon anaknya. Terlihat senyum tipis pula yang tak sengaja ia dapatkan dari bibir Metha kala saudara kembarnya itu juga mendengar ucapab Papi Darma.
"Jadi Pak Darma setuju?" Papa Agung bertanya memastikan. Kala kebisuan tiba-tiba datang di ujung kalimat besan impiannya itu.
Papi Darma mencoba melanjutkan ucapannya. "Saya – setuju – jika Alvan juga setuju," tandasnya sambil menoleh kepada si putra bungsu.
Megha baru saja tersadar, kalau sejak tadi Alvan cuma diam tak memberi respons apa pun.
"Oh, tentu Pak. Kita bisa tanyakan langsung kepada Alvan," Papa Agung ikut mengarahkan mata kepada pria itu.
Senyum Metha semakin saja mengembang. Ia yakin Alvan mau menerima solusi yang ia berikan. Ia merasa hanya perlu memberikan Alvan kepercayaan diri lagi dengan mengingatkan pria itu pada cinta yang sudah sekian lama mereka pelihara.