Bagaimana rasanya terlibat cinta dengan 3 lelaki sekaligus??? Pertama, dengan sahabat sendiri. Kedua, dengan selebriti sekolah dengan basis fans halu tingkat akhirat. Ketiga, dijodohkan paksa dengan guru olahraga killer dan songong. Angela Kamaratih, yang baru saja menerima tantangan 365 hari untuk mengubah hidup datarnya menjadi lebih berwarna, dihadapkan pada situasi yang bikin puyeng. Ia sudah memilih satu lelaki, namun dua lainnya masih membayanginya, Membuat hari-harinya dipenuhi drama yang menguras emosi dan bikin tensi naik. "Kita berdua nggak boleh saling jatuh cinta." Sama-sama menolak perjodohan, Angela dan Valdy memilih menjalin hubungan dengan orang yang memang mereka inginkan. Dan untuk mengelabui keluarga, mereka saling membantu dengan akting romantis dan sikap manis. Padahal di belakang layar, nggak ada kata akur bagi mereka! Berantem tiap hari! Tapi seiring waktu berjalan, Angela sadar ia harus memilih. Jika tidak, ia akan kehilangan segalanya, dan semua karena kebodohannya. Cover by Pixabay
Tahun ajaran baru, hari kedua sekolah, 30 menit sebelum bel masuk berdering.
"Seriously, Rei?"
Angela memekik tertahan. Andrei yang berdiri di hadapannya hanya mengedikkan kepala, lalu menyeretnya pada lengannya ke arah deretan bangku. Angela hanya mengikutinya, masih dengan mulut ternganga saking kagetnya. Rambut lurus panjangnya yang selalu dikuncir lalu dikepang tinggi di puncak kepala, melambai di punggungnya, menampar wajah beberapa teman yang dilewatinya.
"Aduh!"
"Aduh, La!"
Angela mengabaikannya, masih menatap wajah Andrei yang terlihat geli. Mereka sampai di deretan bangku belakang, dua bangku dari belakang. Andrei melepas tas ransel dari bahu Angela, meletakkannya di atas meja, lalu berdiri dekat di hadapannya.
"Lo kaget karena berita yang mana?" tanya Andrei pelan.
Angela mengerjap, menutup mulutnya, lalu memusatkan kembali perhatiannya.
"Yang barusan lo bilang ituuu…"
"Ya, mulai sekarang kita punya guru olahraga baru. Pak Danan kemarin say goodbye ke kita semua." Andrei mencondongkan tubuh ke arah Angela yang membelalak. "Artinya, masa-masa lo membolos di jam olahraga, sudah berakhir, La." Ia berbisik di telinga Angela, yang spontan melontarkan keluhan panjang dan menunduk lesu.
Sialllllllllllllllll, makinya dalam hati. Itu Pak Danan kenapa pensiun segala sih? Ia mengutuk. Kenapa nggak saat dia sudah angkat kaki alias lulus saja dari sekolah ini??
"Duhhh…mampus gue, Rei. Mati gue. Sial banget. Kambuh lagi deh demam gue sekarang." Angela menekankan kedua telapak tangannya ke sekeliling lehernya yang terasa hangat, mencoba mendeteksi jejak-jejak demamnya beberapa hari terakhir. Andrei berdecak, lalu menempelkan satu telapak tangan di dahinya, mengerutkan bibir, menilai.
"Lo ngapain maksain masuk?" tanyanya sambil melepas tangannya. Ia menyentak kepala, menyuruh Angela duduk.
"Wait! Serius nih kita duduk disini?" Angela berpaling ke arah meja di belakangnya. Andrei menggeramkan jawabannya. Angela mengitarkan pandang ke sekeliling, mencari keberadaan Karina, sahabatnya. Tak ada. "Karina nggak ngamuk ke elo kemarin? Gue kan selalu duduk bareng dia, Rei. Habis gue dimaki lewat telepon tahu!"
"Mulai sekarang sampai nanti kita lulus, lo bakal duduk sama gue, La." Ia menepuk bahu Angela. "Untuk kebaikan lo."
"Tapi nanti gue diamuk lagi sama Karina!"
"Balas ngamuk dong! Kok repot? Lo kan nggak kalah galaknya dibanding Karina."
Duhh… Andrei ini pura-pura bego atau gimana sih? Angela mengepalkan tangan dengan geregetan, sementara sosok di hadapannya hanya cengar-cengir melihat reaksinya.
"Gue paling males konfrontasi sama dia! Nggak bakal menang!"
"Sampai kapan lo mau nurutin kemauannya? Dia cuma sahabat, bukan bos lo, Angela." Andrei menunduk dengan refleks saat Roni yang melewatinya mengayunkan tangan dan menyasar satu sisi kepalanya, lalu melontarkan makian. Angela memicingkan mata pada Roni yang hanya meliriknya sekilas sebelum melempar tasnya ke meja tepat di belakang meja Angela.
"Rei, kantin!" Roni berseru padanya.
"Gue udah sarapan."
"Udahh… Biar gue nggak sendirian!"
"Sama yang lain dulu, Ron. Gue masih ada urusan sama Angela."
Roni berdiri di sebelah Andrei, menelengkan kepala untuk mengamati Angela. Dibandingkan dengan Andrei yang tak seberapa jangkung, Roni lebih menjulang di depan Angela. Andrei berkulit kecokelatan dan bertubuh bidang, efek hobi berenang hampir setiap hari. Roni lebih kurus dan berkulit pucat, dan merupakan salah satu atlet basket sekolah sekaligus selebriti terpopuler lintas angkatan. Angela menatapnya tanpa emosi, masih dikacaukan pikirannya sendiri.
"Oke." Roni mengangkat bahu dan pergi meninggalkan mereka. Angela melihat sosok Karina di ambang pintu kelas, baru saja tiba, dan tengah mengobrol riang dengan Inna. Angela lalu duduk di kursinya, menumpukan dagu di atas meja, sebisa mungkin menyembunyikan dirinya dari Karina.
"Rei, kalau gue mati hari ini, tulis eulogi yang bagus untuk acara kremasi gue nanti." Angela bergumam lesu. Andrei mendengus, berdiri bersandar di meja Angela dan menunduk menatap sahabatnya yang putus asa.
"Gue nggak akan biarkan lo mati semudah itu, Angela." Ia menepuk puncak kepala Angela.
"Lalu…" Angela menatapnya, mengedikkan kepala untuk mengusir tangan Andrei yang betah bertengger di kepalanya. "Soal Agatha. Lo serius?"
Wajah Andrei berubah merona dan mendadak ia salah tingkah. Angela mengawasinya dengan cermat. Belum pernah Andrei segugup ini di depannya. Eh, pernah. Tapi Angela sudah lupa kapan tepatnya. Andrei tipikal cowok yang rame, humoris, banyak bicara. Bukan tipe cool yang seolah menjatah tiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Serius dong, La! Dia belum cerita apapun ke elo?"
"Biarpun dia saudara gue, nggak semuanya perlu diceritain ke gue, Rei." Angela menggigit bibirnya. "Kenapa harus dia sih, Rei?"
"Memangnya kenapa?" Andrei balik bertanya dengan heran.
"Nggak kenapa-kenapa sih. Nggak nyangka aja." Angela memaksakan senyum. "Dan lo sama sekali nggak cerita soal pedekate sampe akhirnya jadian."
"Hei, ini gue kan lagi cerita. Sama aja. Lagi pula, gue belum jadian. Nembak aja belom. Makanya, gue minta doa restu lo sebagai kakaknya." Andrei cengengesan melihat tampang cemberut Angela. "Lo kenapa? Nggak rela?"
Angela menatapnya, lama.
"Ini artinya gue juga harus cari pacar." Sepasang mata Angela yang kecil berkilauan. "Dan lo nggak bisa menghalangi gue lagi, Rei. Karena lo juga akhirnya punya pacar."
Senyum di wajah Andrei kontan lenyap.
"La…"
Angela bangkit tiba-tiba, mengagetkan Andrei. Ia mencekal satu lengan Andrei yang berotot, dan mendongak dengan mata berbinar pada lelaki itu.
"Thanks, Rei. Lo memang inspirasi gue."
"La, lo nggak harus…"
Andrei berubah lesu dan tak melanjutkan kata-katanya. Angela tersenyum manis dan menepuk pipi Andrei dengan gemas. Gadis itu lalu melenggang dari hadapan Andrei dengan kuncirnya melambai di punggung.
***
"Aku pulang, Ma."
Angela masuk ke ruang tamu dengan lesu, berjalan gontai ke arah kamarnya di lantai 2. Seharian ini di sekolah benar-benar menguras emosinya. Andrei, Karina, Roni, tiga makhluk yang sukses membuatnya jengkel setengah mati. Andrei yang selalu bicara tentang Agatha, membuatnya ingin jadi tuli saja agar tak perlu mendengar semua pujian Andrei pada gadis itu. Emang apa bagusnya sih tuh bocah, pikirnya masam. Banyakkk yang lebih oke ketimbang Agatha, dasar Andrei payah!
Karina, sahabatnya itu tak terima karena Angela tak duduk dengannya. Setelah membombardirnya dengan makian via chat dan telepon sejak kemarin, hari ini ia dengan sengaja mencueki Angela seharian ditambah melontarkan banyak sindiran pedas tiap kali Angela mendekat.
Roni. Belum sehari duduk di depan cowok itu, Angela sudah jadi korban keisengannya sepanjang jam pelajaran. Kuncirnya ditarik, punggungnya disodok penggaris. Belum lagi saat Angela bersandar di kursinya, Roni mendadak muncul di bahunya, dengan seenaknya menyandarkan dagu dan berbisik memanggil namanya. Angela jadi parno sendiri.
"Ma!"
Angela mengurungkan niat berjalan ke arah tangga dan memilih ke dapur. Sepi. Ia melangkahkan kaki ke arah kamar orangtuanya di dekat ruang keluarga. Pintu kamar sedikit terbuka dan Angela bisa melihat sosok mamanya tengah sibuk mengemas pakaian ke dalam koper besar miliknya.
"Mama mau kemana?" tanyanya heran sambil membuka pintu.
Tantri menoleh. Wajahnya terlihat sembab dan Angela spontan mendekat dengan cemas.
"Angela, sini sebentar."
"Mama kenapa? Mau kemana?"
"Mama harus pergi, papamu mendadak sakit di kantornya. Jantung…" Tantri terisak. Angela merasa sekujur tubuhnya berubah dingin seketika. "Tidak apa-apa. Papamu baik-baik saja. Serangan ringan, karena kecapekan."
"Sekarang papa dimana?" tanya Angela tak sabar.
"Masih di rumah sakit, Sayang." Tantri memegang kedua bahu Angela. "Untuk sementara, Mama harus menemani papamu sampai pulih, La. Kamu nggak apa-apa sendirian di rumah seminggu atau dua minggu?"
"Tapi papa akan sembuh, Ma?"
"Semoga setelah ini papamu tak kena serangan lain lagi, Sayang." Tantri mengusap pipinya. "Papamu sibuk bekerja, dan disana tak ada yang mengurusnya. Makannya jadi nggak benar, karena itu kesehatannya jadi kurang bagus. Seharusnya kita pindah kesana sejak dulu sesuai kemauan papa, tapi mama…"
"Ma, udah deh. Angela nggak apa-apa kok." Angela memeluknya. "Mama kapan perginya? Sekarang juga?"
"Iya, Sayang." Tantri mengusap punggung Angela. "Mama sudah minta Bik Ami datang tiap dua hari untuk bersih-bersih. Atau kamu mau Bik Ami menemani kamu disini?"
"Angela berani sendirian kok, Ma." Angela mendesah lesu. "Itu aja cukup."
"Mama juga akan minta Andrei menemani kamu sewaktu-waktu. Kalau dia, Mama bisa percaya penuh."
"Nggak usah!" tukas Angela, teringat pada Agatha. "Angela nggak apa, Ma. Sudah ada CCTV juga. Mama dan papa bisa mengawasi dari jauh. Angela juga nggak akan suka keluyuran atau pulang malam."
"Sayang…"
"Ma, percaya dong sama Angela. Angela berani kok sendirian."
Bohong. Tapi Angela tak ingin menampakkan kecemasannya sama sekali, tak ingin mamanya pergi dengan dipenuhi kekhawatiran tentang dirinya. Papa jauh lebih penting. Perkara berani atau tidak, mandiri atau tidak tanpa mamanya, itu urusan belakangan.
"Baik-baik disini ya, Sayang."
"Ya, Ma. Angela sayang Mama."
***