webnovel

TEMAN TAK DIUNDANG

"Teman yang kau katakan itu lelaki atau perempuan?" tanya Arasy pada Laela.

"Lelaki, Bu. Itu orangnya di ruang tamu. Katanya ada janji mau ambil buku juga. Jadi, saya percaya dan mau diantar pulang."

Calista mengerutkan dahinya dan bergegas ke ruang tamu, diikuti Arasy yang penasaran.

"Hai, Calista. Aku mau pinjam buku."

"Astaga. Kau ini ya, kita tidak ada janji apapun. Lagi pula siapa yang mau meminjamkan buku padamu? Lebih baik kau pulang sekarang. Papiku nggak ada di rumah. Om aku galak, mau aku panggilkan?!" hardik Calista dengan galaknya.

Rama menatap Arasy yang berdiri di samping Calista dengan tatapan memelas.

"Tante Maminya Calista? Saya Rama, Tante. Saya baru hari ini kuliah di fakultas yang sama dengan Calista. Dan, saya juga tidak berani menyapa kawan yang lain. Jadi, saya meminta pertolongan Calista."

"Jika pada yang lain tidak berani, kenapa kau berani padaku?" geram Calista kesal.

"Karena kau pernah menabrakku di depan toilet di bandara."

Arasy mengikik seketika sementara Calista langsung melotot kesal.

"Menyebalkan, pulang sekarang juga sebelum aku panggil Om ku."

"Tante..."

Tanpa peduli pada pelototan mata Calista Rama menatap Arasy.

"Saya Tantenya Calista, nak Rama. Mami dan Papi Calista sedang berada di Singapura. Jadi, nak Rama kemari sebenarnya ada perlu apa?"

"Pinjam buku, Tante."

"Bohong, Tante! Dia memang sejak tadi sudah menyebalkan."

Arasy terkikik geli mendengar perkataan Calista. Lebih geli lagi melihat bibir mungil gadis itu mengerucut kesal. Gayanya persis Zalina ketika remaja.

"Sudahlah, kita makan siang bersama yuk, Nak Rama. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantarkan Laela pulang. Nggak boleh ngambek ya Cal. Salahmu kan tadi lupa," kata Arasy.

"Ayo, nak Rama kita makan. Kebetulan loh, Tante dan Om juga belum makan siang."

Dan, Calista kembali mencebik saat melihat Arasy dengan hangat menarik tangan Rama dan mengajaknya ke ruang makan. Calista yang berjalan di belakang Arasy hanya bisa melotot saat Rama dengan sengaja meleletkan lidahnya pada Calista.

"Ini Om nya Calista dan yang ini Oma nya. Mas, Bu ini Rama teman Calista," kata Arasy memperkenalkan Rama pada Aruga dan Khanza yang sudah menunggu di meja makan untuk makan siang bersama.

Rama menyalami Aruga dan Khanza dengan sopan. Lalu, ia pun duduk di samping Arasy. Calista hanya bisa merenggut dan mulai mengisi piringnya.

"Kenapa wajahmu cemberut begitu?" tanya Khanza.

"Nggak apa-apa kok, Oma. Aku hanya lapar," jawab Calista sambil menggigit paha ayamnya dengan gemas. Arasy yang melihat hal itu hanya menahan tawanya.

"Papi dan Mami Calista tinggal di Singapura atau sedang ada urusan pekerjaan, Tante? Maaf kalau saya bertanya seperti ini, hanya sedikit penasaran," kata Rama sopan.

"Kakak kembar Calista baru saja menikah di sana dan sekarang sedang hamil. Jadi, Mami dan Papinya Calista juga kedua adiknya sementara tinggal di sana karena kondisi Elena harus bedrest. Kebetulan suami Elena bekerja di perusahaan Papi Calista yang ada di Singapura. Jadi, sekalian mengajari suami Calista juga seluk beluk perusahaan. Mungkin setelah melahirkan semua akan pulang ke Indonesia. Karena resepsi pernikahan akan diadakan di Indonesia."

"Ooh, wah saya nggak tau kalau Calista masih punya adik."

"Ada dua. Dan, satu lagi kakaknya lelaki. Sekarang sedang bekerja, kalau nak Rama mau berkenalan harus datang sore hari atau weekend."

"Saya pasti akan sering mampir, Tante. Itupun kalau Calista tidak keberatan."

"Kalau Calista keberatan kan bisa temenin Om main catur, Nak Rama," celetuk Aruga membuat Calista makin cemberut.

Setelah selesai makan siang, Rama pun segera pamit pulang. Setelah pemuda itu pulang Calista langsung mencubit pinggang Arasy.

"Aw! Kau ini kenapa sih Cal? Sakit kan pinggang Tante."

"Tante ini sengaja deh. Ngapain sih dia diajak makan segala. Nyesel deh tadi aku pulang makan siang dulu."

"Lagian kamu aja, Cal. Terlalu rajin, kaya kerja kantoran jam makan siang pulang ke rumah dulu. Memang masih ada mata kuliah hari ini?"

"Ada, jam 3 sore. Hari ini hanya ada dua kuliah. Jam 9 pagi tadi dan jam 3 sore nanti. Makanya aku pulang dulu, Tante."

"Dia ganteng loh, Cal," goda Aruga sambil mengedipkan mata.

"Apaan sih, Om. Ih, cowok tengil model begitu kok ganteng? Apanya yang ganteng sih."

"Hati-hati loh, Cal. Dari benci nanti malah jadi cinta."

"Ih, amit-amiiit jabang babu harus jatuh cinta sama cowok tengil sok ganteng begitu. Kayak nggak ada lelaki lain aja sih, Om, Tante."

"Beneran? Yakin nggak bakal jatuh cinta?" goda Arasy.

"Udah, ah aku mau kembali ke kampus. Pokoknya aku nggak bakalan mau sama cowo model Rama begitu," kata Calista sambil menyambar tas dan kunci mobilnya. Gadis cantik itupun mengecup pipi Arasy dan Arjuna lalu segera berlalu.

"Dia mirip sekali dengan Zalina dulu, Mas," kata Arasy.

"Zalina dulu seperti macan betina."

"Apa bedanya dengan Calista sekarang? Kau tidak lihat kelakuannya? Sembilan puluh persen sama persis dengan Zalina."

"Tentu saja, dia membesarkan Zalina sejak berusia 11 tahun. Pastinya sifat dan kebiasaannya akan meniru Zalina."

"Aku bersyukur, Mas. Calista dulu ikut dengan Zalina. Entah mengapa aku senang adikku yang merawat dan membesarkan Calista."

"Damian sejak dulu adalah anak yang kurang bisa bersikap tegas dan juga kurang bisa bersyukur. Jika sekarang dia bisa menjadi besar dan bertahan karena ada orang-orang yang mendukung dan mencintainya. Dulu, dia memiliki Arista dan anak-anak. Lalu, dia memiliki Liemey, sekarang siapa yang dia miliki? Tidak ada, Anak-anak jelas sudah tidak mau mendukungnya. Apa lagi anak-anak itu tau siapa dan bagaimana Miranda. Kantor saat ini pun tidak kondusif lagi kata beberapa karyawan yang chat denganku kemarin. Bahkan beberapa orang lama sudah pindah ke perusahaan lain. Siapa yang akan Damian andalkan saat ini?"

Arasy menghela napas panjang.

"Dulu, ketika kita masih sekolah,Damian itu anak yang baik. Dia juga setia dan begitu sayang pada Arista. Mereka menikah dan memiliki anak-anak yang lucu. Kita dulu malah sempat putus nyambung. Tapi, mereka tidak. Entahlah mengapa Damian sekarang banyak berubah. Banyak sekali berubah dan perubahannya itu bukan ke arah yang lebih baik. Tapi, malah bertambah rusak."

"Ibunya membawa pengaruh yang buruk sekaligus memberi contoh yang juga buruk pada Damian."

"Jiwanya sakit, sayang."

"Kasian dia. Aku memang kesal dan juga marah padanya. Tapi, aku tidak bisa untuk berhenti peduli kepadanya."

Arasy menatap Aruga dan menepuk bahunya perlahan.

"Kau masih berhubungan dengan bekas karyawanmu dari kantor Damian?"

"Iya."

"Apa kata mereka?"

"Hanya melaporkan bahwa kantor sekarang tidak jelas. Damian yang tidak begitu peduli pada pekerjaan. Segala sesuatu dikerjakan oleh bawahannya. Dia hanya memberi perintah lewat telepon. Dan sekarang, Miranda lebih banyak berkuasa. Apa yang tidak sejalan dengan pikirannya akan ia tolak mentah-mentah. Meskipun itu baik dia akan menolak."

"Damian?"

"Seperti kerbau yang mengikuti apa kata majikannya."

"Luar biasa babu itu."

"Babu?"

"Memang mantan babu, atau kau lebih suka memanggilnya mantan istri?"

"Ya ampun sayang, sudah lama berlalu."

"Memang sudah lama. Apa kau mau mengulanginya lagi?"

"Tidak. Aku malu pada Raja dan Ratu. Ah, iya ngomong-ngomong kedua anakmu itu kemana? Bahkan tadi pagi mereka tidak ikut sarapan pagi."

"Subuh tadi, Ratu pergi ke Bogor ditemani Raja."

"Mau apa mereka ke Bogor?"

"Kepo."

Chapitre suivant