webnovel

BERPISAH SELAMANYA

"Aku memilih untuk meneruskan ke atas sana, Arista. Damian tidak membutuhkan aku dan cintaku. Kau sendiri, mengapa masih di sini jika kau bisa lanjut ke atas?" tanya Liemey.

"Aku masih menunggu seseorang di sini. Jika ia sudah datang maka aku dan dia akan bersama- sama ke atas."

Liemey pun mengangguk, ia memantapkan hati dan melangkah ke tangga yang menjulang tinggi. Dia melihat ada dua orang yang memakai jubah berwarna putih menunggunya di anak tangga itu. Liemey menoleh dan melambaikan tangannya pada Arsita dan meneruskan langkahnya, namun ia menatap kembali ke arah pintu saat ia masuk tadi dengan ragu.

Ia ingin kembali ke pintu tempat ia masuk tadi. Liemey melihat raganya sedang berbaring di atas meja operasi sambil dikelilingi dokter dan perawat. Tapi, ia mengingat kembali segala yang telah terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Dan, ia pun melanjutkan langkahnya dengan mantap tanpa berpaling lagi. "Zai jian, selamat tinggal Damian. Semoga kepergianku membuatmu jauh lebih mengerti apa artinya Cinta dan keluarga," gumamnya dan kemudian ia mempercepat langkahnya naik.

Sementara itu dokter yang menangani Liemey tersentak kaget, detak jantung Liemey mendadak berhenti, ia pun langsung meminta alat kejut jantung dan berusaha untuk mengembalikan denyut jantung Liemey kembali, namun tiba-tiba saja terdengar bunyi dari layar monitor yang menandakan bahwa Liemey sudah pergi mengembuskan napas terakhirnya di meja operasi.

"Catat jam kematiannya, suster," kata dokter pada perawat.

Dokter pun keluar dan segera menemui Damian yang tampak resah menunggu di luar.

"Bagaimana istri saya, dokter?"tanya Damian.

"Saya turut berduka cita, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi di tengah operasi jantung istri anda berhenti berdetak. Kami sudah berusaha dengan alat kejut jantung, tapi Allah lebih mencintai istri Bapak. Yang sabar ya, Pak."

Damian terdiam, ia berdiri terpaku. Ia tadi memang mengancam Liemey untuk berpisah, tapi bukan seperti ini yang ia inginkan. Ia mengancam seperti tadi dengan harapan Liemey mau menuruti keinginannya. Hampir saja Damian terjatuh, jika sepasang tangan yang cukup kekar tidak menahan tubuhnya. Damian menoleh, dan ia mendapati Aruga sedang menahan tubuhnya yang hampir tersungkur.

Aruga menatap sahabatnya itu, "Bagaimana Liemey?" tanyanya. Damian menggelengkan kepalanya, "Sudah tidak ada," katanya lirih. Aruga menghela napas panjang, untuk kedua kalinya Damian menjadi duda.

"Sabar, sudah jalan takdirnya seperti ini. Kita tidak bisa melawan takdir," kata Aruga.

"Ini sudah kedua kalinya, jika dulu aku tidak melihat bagaimana Arista pergi, kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia pergi. Apa aku ditakdirkan untuk hidup sendiri?"

"Kau memiliki anak-anak, Dam," kata Aruga.

"Mereka juga sudah meninggalkan aku. Aku juga tidak peduli lagi, jika mereka sudah tidak mau menganggap aku Daddy mereka, aku juga tidak ingin mengakui mereka sebagai darah dagingku."

"Kau sudah tidak waras lagi, Dam? Mantan istri, mantan pacar itu ada. Tapi, tidak ada yang namanya mantan anak dan mantan orangtua," kata Aruga.

"Bagiku ada!"

"Kau sedang kalut, tenanglah dulu. Biar aku yang mengurus semuanya," kata Aruga.

Selalu seperti itu, Damian tanpa bantuan Aruga tidak akan bisa apa-apa. Selama ini memang selalu begitu. Dan, Damian melupakan sesuatu. Selain sahabat yang selalu ada, ada istri dan anak yang selalu mendoakan. Tapi, saat ini ia sudah kehilangan semua itu.

Berita kematian Liemey bukannya tidak sampai ke telinga Arjuna dan Zalina. Tapi, mereka memilih untuk tidak menemui Damian. Mereka berniat untuk berziarah saja ke makam Liemey nanti.

Di hari ketiga kepergian Liemey, barulah Arjuna dan Zalina berziarah ke makam bersama Elena dan Calista. Meski belum terlalu pulih, Elena memilih untuk pulang. Ia tidak mau membuat Zalina repot menjaganya setiap hari. Selain itu, Arlina juga sedikit rewel tanpa Zalina di rumah.

"Terima kasih sudah menjagaku dan Kak Dom selama ini, Mami. Semoga Mami lebih tenang di sana, maafkan aku selama ini sudah merepotkan Mami juga," kata Elena sambil mengelus nisan Liemey. Sementara Calista duduk di samping Elena sambil menaburkan bunga.

Arjuna pun membacakan surah Yasin di makam Liemey. Mereka berdoa dengan khusyuk, berharap doa mereka bisa melapangkan jalan Liemey.

"Kalian tau, doa anak- anak soleh dan solehah itu bisa melapangkan kubur orangtuanya. Mami Liemey meskipun bukan Ibu kandung kalian, tapi kalian harus selalu mengirimkan doa untuknya. Bagaimanapun, Mami Mey sudah merawat kalian, terutama Elena," kata Arjuna.

"Iya, Papi," jawab Calista dan Elena serempak.

"Ayo, kalau sudah. Kita mau menjemput Kakak kalian di rumah sakit," kata Zalina.

Mereka pun beranjak dan bergegas meninggalkan area pemakaman untuk menjemput Dominic. Baru saja beberapa langkah, mereka berpapasan dengan Damian.

Arjuna pun melangkah ke depan, ia tidak mau jika Damian sampai menyentuh istri dan kedua anaknya.

"Untuk apa kalian kemari?" kata Damian dengan sinis.

"Liemey pernah merawatku saat aku koma dulu. Jadi, apa salahnya jika aku berziarah ke makamnya?" Zalina menyahut tak kalah sinis.

Saat ini Zalina sudah tidak peduli lagi. Ia merasa sangat marah kepada Damian. Sekilas Damian menatap tajam pada Calista dan Elena. Namun, kedua gadis itu bersikap seolah tidak ada Damian di sana.

"Ingat baik-baik, jangan pernah kalian berani menginjakkan kaki di rumahku. Kalian bukan lagi anak-anakku!"

"Kami juga tidak ingin kembali ke rumah itu, Pak Damian."

"Jangan pernah juga kau berani mengambil barang-barangmu yang ada di rumah. Semua itu aku yang membelikan," kata Damian sambil menatap Elena.

"Kau tidak perlu khawatir akan hal itu, Dam. Aku dan suamiku masih sanggup untuk membelikan Elena pakaian dan juga membiayai kuliahnya. Tidak akan aku meminta sepeserpun darimu," jawab Zalina.

Damian hanya menyeringai.

"Baguslah kalau begitu. Aku memang tidak mau repot dan tidak mau keluar uang sepeserpun untuk anak-anak yang suka memberontak seperti mereka," kata Damian.

"Semoga saja Allah menyentuh hatimu dan membuatmu menyadari apa yang menjadi kesalahanmu selama ini," ujar Arjuna.

Damian tak peduli dan segera melangkah meninggalkan mereka berempat.

"Astagfirullah, semoga saja Allah mengampuni semua dosanya. Seumur hidup baru aku melihat manusia tidak punya hati seperti itu. Dia dan almarhum ibunya sama saja wataknya," ujar Zalina.

**

Sampai di rumah sakit tempat Dominic di rawat ternyata Dominic sudah siap untuk pulang. Karena kakinya masih di gips dokter memang menganjurkan untuk memakai kursi roda dulu untuk sementara. Untungnya bos Dominic memberikan cuti panjang pada Dominic sehingga ia dapat beristirahat dengan tenang sampai kondisinya benar-benar pulih.

"Sudah siap pulang, Kak?" tanya Zalina.

"Sudah, Mami. Aku benar-benar boleh pulang ke rumah Papi dan Mami, kan?" tanya pemuda tampan itu.

"Kau ini, Kak. Kalau tidak boleh, untuk apa Papi meluangkan waktu menjemputmu. Ayo, kita pulang," jawab Arjuna sambil merangkul Dominic.

"Tunggu sebentar Papi, Dody sedang mengurus administrasi. Dia ingin ikut mengantarku pulang ke rumah," kata Dominic.

Mereka pun menunggu, dan beberapa menit kemudian, Dody pun muncul dan saat melihat Arjuna dan Zalina ia pun langsung memberi salam dan menyapa dengan sopan.

"Kau ikut, Dod?" tanya Dominic.

"Iya, aku ikut. Tapi, masa aku sendiri di mobil. Bagaimana kalau Elena yang menemani di mobilku, kau bersama orangtua mu, Dom," kata Dody.

Dominic memicingkan matanya, "Kenapa harus Elena? Aku kan bisa," kata Dominic.

"Karena, Elena wanita. Sudahlah kak, biarkan mereka berdua," celetuk Calista sambil membantu Dominic dan mengedipkan sebelah matanya pada Dody.

**

Chapitre suivant