Karang yang disembunyikan dari pipi yang senyumnya anarki. Yang disembunyikan dari alis lentik yang air matanya tertangkis.
Tutup rapat-rapat kran air sebab wadah tak ampuh, mesinnya rusak dipaksa menyala tanpa henti, panas, hampir meledak. Airnya masuk ke dalam wadah, dan keluar dari wadah, lantai-lantai lunglai dibanjiri, dinding jadi lembab sebabnya.
Belum ada yang mendengarkan, karena ritme musik terlalu cepat. Kepala-kepala keatas-bawah begitu saja, walau jenisnya tidak dimengerti. Belum sempat di dengar percikan air yang tidak penuh-penuh dalam wadah.
Tak ayal, banyak manusia yang berkeluh, tak terkecuali aku. Aku banyak mengeluh, bukannya bangga, hanya sekadar pengingat diri. Banyak di luar sana yang mungkin beberapa juta diatasku. Lagi, dan selalu kurasa seperti itu.
Aku ingin selalu tetap mengoreksi diri sendiri, walau masih belum kudapat arti kesabaran tanpa bergunjing di balik gusi. Kekecewaan yang setimpal terhadap jalan yang telah lampau. Belum ada kata impas, lagipula siapa yang berhak menentukan? Tak ada jalan yang baik-baik saja, kecuali, ia memperbaikinya.
*Bersambung.....