Kevin bersama Jaya membangun cafe mereka dari nol. Mulai dengan merenovasinya menjadi bangunan yang lebih besar berlantai dua. Lantai dasar sebagai cafe dan dapur, sedang lantai dua sebagai kantor mereka dengan beberapa kamar untuk beristirahat karyawan.
Dalam menentukan design pun mereka sama sekali tak cocok. Kevin menginginkan mengubahnya menjadi cafe yang modern, tapi Jaya masih menginginkan konsep klasik.
Dan terjadi pertengkaran-pertengkaran yang tak berguna lainnya.
Setelah satu bulan merenovasi, akhirnya cafe mereka selesai dengan konsep klasik bercampur modern. Dan mereka pun mulai mencari karyawan.
Jaya tak tinggal di cafe lagi, ia tinggal bersama Kevin di rumah milik orang tua Kevin. Jaya yang dingin, keras kepala, arogan dan sok misterius itu pun berhasil membuat Kevin mengerti rasanya mempunyai saudara.
Satu tahun sejak cafe dibuka ternyata itu tak sesuai prediksi mereka. Cafe sangat sepi, padahal mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menarik pelanggan. Hingga cafe mengalami kebangkrutan bahkan untuk membayar tiga karyawan pun mereka tak sanggup.
Dengan terpaksa, Kevin meminta bantuan kembali pada orang tuanya dan menyerahkan tanggung jawab seutuhnya cafe pada Jaya. Kevin di Jepang selama satu bulan karena sangat sulit membujuk ayahnya untuk menjadi investor di cafe milik Kevin.
Ketika Kevin kembali ke Jakarta, ia menyaksikan adegan yang sungguh menyakitkan dan tak pernah kuduga-duga, karena ia melihat cinta pertamanya hanya berduaan bersama Jaya di cafe. Mata Kevin membeliak seketika.
"Kakak!" Sebuah suara membuyarkan lamunan Kevin dari bernostalgia. Benar, ia masih menunggu di depan ruang rawat putra angkatnya, Joon.
Tunggu! Suara itu begitu familiar bagi Kevin. Ia berbalik ke arah sumber suara.
"Kak Kevin, apa yang kau lakukan di sini?" tanya pemuda yang baru saja menghampiri Kevin.
"Ken? Ke-kenapa kau bisa di sini?" tanya Kevin terbata.
Ini sungguh mengejutkan. Kenichi di sini? Kalau seperti ini, Kevin tak dapat memenuhi janjinya pada Joon untuk tidak menceritakan kejadian siang tadi pada Jaya dan Kenichi.
"Aku baru saja konsultasi dengan dokterku, karena akhir-akhir ini aku terkena insomnia. Ini akan membuat mataku menjadi mata panda. Itu sungguh menjengkelkan," gumam Ken sok mendramatisir.
"Ah iya, kau sendiri sedang apa di sini, Kak?" lanjut Ken sejurus kemudian.
"Ngg ... sebenarnya Joon sedang dirawat," sahut Kevin.
"Apa?! Bagaimana bisa, Kak?
Astaga, apalagi yang dilakukan si kunyuk itu, eum!" celetuk Kenichi, memberondong pertanyaan.
Sontak Kevin menoyor kepala Kevin. Ia murka. Apa-apaan Ken ini?
Seolah sedang mensyukuri keadaan Joon, pikir Kevin.
"Hei, kenapa kau malah menoyorku?" gerutu Ken membenarkan kembali tatanan rambutnya.
"Kau itu yang kunyuk! Tidak tahukah kau, rasanya aku ingin mati saat tahu detak jantung Joon tak terdeteksi lagi tadi!" bentak Kevin.
"Hahaha maaf. Aku hanya bercanda. Lalu sebenarnya apa yang terjadi? Ia jatuh dari tangga cafe? Tersedak biji kopi? Atau keracunan waffle yang dibuatnya sendiri?" tebak Ken.
"Dia tenggelam di Laut Ancol," lirih Kevin
"Apa?!" Ken lagi-lagi memekik nyaring.
"Oi, berhenti berteriak kunyuk! Kau merusak gendang telingaku, Sialan!" Kevin membentak.
"Sebenarnya yang dari tadi teriak siapa?" gerutu Ken yang masih terdengar di telinga Kevin.
"Ah ya, bagaimana ceritanya, Kak? Bukannya dia berada di cafe tadi? Apa cafe kita sudah pindah ke tepi Laut Ancol?" tebak Ken kembali.
"Entahlah, ada Gilang juga tadi di sana. Kurasa anak itu membawa pengaruh buruk bagi Joon," ungkap Kevin.
Cklek!
Pintu kamar rawat Joon terbuka. Dokter muncul dari dalam bersama suster.
"Tuan Kevin, putra Anda sudah sadar," Dokter berucap lirih.
"Hei, dia itu putraku, Dok! Putra dari Kenichi," sela Ken.
"Oi, Kunyuk! Kau hanya pamannya, Sialan! Aku ini papanya!" bentak Kevin sejurus kemudian.
"Tapi kan kami lebih dekat daripada kau yang hanya mantan kekasih ibunya Joon. Wlee!" Ken mengejek. Ia langsung dijitak oleh Kevin.
"Hentikan! Jangan buat ribut di rumah sakit!" sela dokter diantara pertengkaran mereka.
"Maafkan kami, Dok! Bagaimana keadaan Joon saat ini, Dok?" tanya Kevin kemudian.
"Dia sudah sadar, tapi kita harus memantaunya sampai satu kali dua puluh empat jam ke depan. Aku takut terjadi peradangan pada saluran pernapasannya." Dokter memperingatkan.
"Boleh kami masuk, Dok?" sahut Ken yang terlihat masih cemas mendengar putra Kak Zenkyo-nya itu tiba-tiba celaka.
"Tentu saja. Tapi kumohon jangan buat keributan di dalam!"
ujar dokter.
Kenichi nyelonong masuk begitu saja, meninggalkan Kevin yang masih berada di luar bersama dokter.
***
Di kediaman Kevin, Jaya telah sampai di rumah. Rumah sangat sepi. Bahkan, Jaya dari tadi menghubungi ponsel Kevin pun tak ada jawaban.
Jaya mengambil ponselnya dan mencari kontak bertuliskan nama salah satu karyawan di cafenya.
"Hallo!" Suara dari seberang.
"Hey, apa Joon sudah kembali ke cafe saat ini, heh?" tanya Jaya pada salah satu karyawannya.
"Belum, Bos," sahut suara dari seberang telepon.
"Kalau Kak Kevin dan Ken? Apa mereka ada di sana?" Jaya bertanya.
"Tak ada siapa pun di sini, Bos," jawab seseorang dari seberang telepon.
"Baiklah, kalau mereka ke sana hubungi aku!" pungkas Jaya.
Pip!
"Hasshh!! Kemana mereka sebenarnya? Ayah tak akan memaafkanmu, Joon!" geram Jaya sembari meremas ponselnya.
Drrrttt!
Ponsel Jaya bergetar.
"Hallo!"
"...."
***
Di rumah sakit, Joon terlihat manyun setelah menceritakan semua yang terjadi pada Daddy-nya.
"Wahahaha, jadi kau tenggelam gara-gara terlibat pertengkaran para Joon Lovers, begitu?" tawa Ken membahana, membuat Joon semakin kesal.
"Berhenti menertawakanku, Dad!" rajuk Joon. "Ah ya, sekarang jam berapa?" tanya Joon, kelabakan.
"Sudah jam tujuh malam. Kenapa, Joon? Kau ingin papa belikan makan malam?" tanya Kevin yang menyayangi Joon lebih dari siapa pun.
"Apa? Sudah jam tujuh? Kenapa kalian membiarkanku tidur selama itu, eum?" Joon menggumam. Ia beranjak dari ranjang rumah sakit.
"Heh? Tidur? Kau pingsan lho bukan tidur, Joon! Astaga, papa hampir kena serangan jantung waktu kau tak bernapas tadi." Kevin berucap sembari memgang dadanya. Ia masih ingat kejadian tadi siang yang membuat jantungnya sejenak tak berdetak.
"Hehehe, maaf, Pa. Joon sudah membuat kalian khawatir." Joon turun dari ranjang dan berjalan keluar.
"Hei, mau kemana?" Ken menahan Joon agar tak pergi dari ruang rawatnya.
"Joon mau pulang, Pa. Nanti Joon dihukum oleh ayah lagi kalau tak pulang tepat waktu." Joon mengutarakan ketakutannya pada Ayah Jay-nya.
"Kata dokter, kau harus istirahat. Lagipula siapa Jaya yang berani memarahimu, eum? Papa yang jadi owner di rumah kita. Dan Joon anak papa. Jaya dan Ken janya menumpang di rumah kita." Kevin berucap disertai senyum kebanggaan.
"Enak saja cuma numpang! Aku dan Jaya yang membuat kafe Anda menjadi ramai kalau Anda lupa itu, Bos," sindir Ken.
"Bukan kalian, tapi Joon yang membawa keberuntungan bagi kita. Lagipula, dari dulu kerjaanmu hanya menggoda para pelanggan saja, Ken!" sergah Kevin.
"Tapi itu juga faktor yang membuat cafe Anda ramai, Bos Besar." Ken menghardik.
"Assh! Hentikan! Kalian ini sudah seperti suami istri yang sedang bertengkar tahu! Menjijikkan!
Gak mau tahu, Joon pokoknya mau pulang sekarang!" putus Joon yang membuat papa dan daddy-nya cengo.
Blam!!
Pintu tertutup dengan keras. Joon keluar begitu saja meninggalkan Kevin dan Ken yang masih tertegun.
"Hei, Joon! Apa maksud ucapanmu tadi, hah?! Joon-chan!" teriak Kevin, murka.
Dapat terlihat jelas binaran di mata Ken. Sesaat Kevin menatap tajam ke arah Ken.
"Tatapanmu itu sungguh menjijikkan, Ken!" Kevin berlari mengejar Joon. "Joon-chan, tunggu papa! Selamatkan papa dari godaan orang gila ini!" Kevin berteriak. Ia meninggalkan Ken yang masih senyam-senyum tanpa sebab.
Kevin bergidik ngeri tiap melihat tatapan aneh Ken. Dia sudah tahu sejak lama kelainan adik dari ibunya Joon itu.
***
Jaya begitu marah saat melihat Joon baru pulang.
Bersambung ....