Joon bersikeras ingin pulang. Ia begitu muak dengan bau obat-obatan di rumah sakit. Sebagian besar masa kecilnya, ia habiskan meringkuk di ranjang rumah sakit. Jadi, untuk saat ini, ia sudah bosan berada di rumah sakit.
Di perjalanan pulang, Arjun atau biasa dipanggil Joon, berbaring santai di jok belakang. Saat ini Kevin yang mengambil alih kemudi, di sampingnya sudah ada Kenichi dengan mata yang berbinar-binar, sejak di rumah sakit tadi.
Kevin merasa risih melihat tatapan menjijikkan itu. Terkadang, Kevin sangat menyesal menampung orang-orang aneh semacam Jaya dan Kenichi di rumahnya.
Jaya, si pemuda temperamental yang sangat suka menyiksa seluruh warga rumah. Lalu, ada Kenichi, pemuda asal Jepang yang memiliki kelainan biseksual itu. Kalau saja Kenichi bukan adik dari ibunya Joon, pasti Kevin sudah mengusirnya sejak dulu.
"Oi, Ken! Berhenti melihatku seperti itu, woy!" Kevin memukul kepala Kenichi dengan kejam.
"Yang kamu lakukan padaku itu jahat, Kakak!" ucap Kenichi, menekankan kata 'jahat'. Kenichi sok berdrama seperti biasanya.
"Kalau begitu, jangan melihatku dengan tatapan menjijikkan itu, Sialan! Aku ini masih normal, ingat?!" teriak Kevin, murka. Ia kembali fokus menyetir, mengabaikan Kenichi yang manyun di sebelahnya.
"Aku tidak sedang menggodamu, Kakak!" Kenichi menggerutu.
Joon begitu terganggu dengan suara berisik di depannya.
"Astaga, sekali lagi kalian bertengkar seperti pasangan suami istri, Joon bersumpah akan loncat dari mobil!" ucap Joon sok mengancam, padahal sebenarnya ia fokus main PSP.
"Aissh, dasar Kenichi sialan!" Kevin menatap tajam ke arah Kenichi. Gara-gara Kenichi, dia jadi ikut dimarahi oleh Joon.
"Ah iya, aku lupa tak cerita, Papa. Saat dalam air tadi siang, Joon mimpi buruk." Joon berucap, meski fokus matanya masih tertuju pada PSP.
"Mimpi tentang apa, Joon?" tanya Kevin lembut, menanggapi cerita putra angkatnya.
"Kurang jelas juga sih. Yang Joon ingat dalam mimpi itu ada pertengkaran, tangisan, benda-benda dibanting. Ah pokoknya seperti itulah. Begitu mengerikan aku lihat," ungkap Joon.
"Kau niat cerita atau tidak, hah? Yang jelas ceritanya! Jangan bikin Daddy kesel!" bentak Kenichi yang entah sejak kapan, Kenichi jadi uring-uringan seperti ini. Mungkin sejak ia dibentak Kevin tadi.
"Jiahahaha, Daddy kesalnya sama Papa, tapi kenapa Joon yang jadi sasaran, eum? Ah lupakan sajalah! Tak penting juga!" putus Joon.
"Memang mimpinya sangat buruk ya bagi Joon?" tanya Kevin dengan nada lembut seperti sebelumnya.
"Sangat buruk, Pa. Seolah Joon berada di tengah-tengah pertengkaran itu. Ah iya, kalau tidak salah nama mereka Zenkyo, Take Take apa ya? Dan bocah bernama Taku ... Taku ku ku .... Asshh! Pokoknya itulah. Astaga, sepertinya penyakit pelupaku belum sembuh," gumam Joon.
Joon berusaha mengingat, tapi ingatannya begitu kabur. Seperti ada kabut hitam yang menghalangi ingatan itu.
Hening.
Kedua lelaki yang duduk di kursi depan langsung terdiam mendengar cerita Joon baru saja.
Joon mengernyit. Ia merasa aneh dengan respons Papa dan Daddy-nya.
"Daddy! Papa! Kenapa kalian jadi diam seperti itu, eum? Apa kalian kenal mereka?" tanya Joon, penasaran. Meski ingatan itu kabur, tapi ia begitu yakin itu adalah ingatan miliknya.
"Ti-tidak, Joon. Bahkan, kau bingung menyebutkan namanya, ba-bagaimana kita bisa tahu, heh?" sahut Kenichi sedikit terbata. Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari pelipisnya. Ia terlihat sangat gugup.
Kevin juga terlihat sama. Ia bahkan kini meremas setirnya. Peluh juga menetes dari keningnya.
'Tidak boleh! Joon tidak boleh mendapatkan ingatan masa kecilnya kembali,' batin Kevin.
***
Mobil Lexus RC F berwarna biru berhenti tepat di halaman luas kediaman Kevin. Kenichi keluar bersamaan dengan Kevin.
Kevin membukakan pintu untuk putra angkat kesayangannya.
"Joon-chan, biar papa gendong sampai kamar, ya? Kau masih terlihat sangat pucat dan lemas, Nak," tawar Kevin, begitu lembut.
Joon menepis uluran tangan papanya. Ia merasa sudah baik-baik saja saat ini.
"Tidak perlu, Pa. Joon bisa jalan sendiri," putus Joon yang memang selalu keras kepala itu.
Joon berjalan santai menuju kediaman papanya, seolah tak terjadi apa-apa sebelum ini.
Kevin dan Kenichi berjalan di belakang Joon. Siapa tahu saja Joon tiba-tiba kehilangan keseimbangan, mereka sudah bersiap menahan tubuh Joon.
Dari kejauhan, sudah terlihat Jaya berdiri di depan pintu sambil melipat tangannya di depan dada. Angin kencang menyibak rambut, hingga menutupi sebagian matanya. Semakin terlihat kejam.
Sorot mata Jaya pun menunjukkan rasa kekesalan yang teramat sangat. Terlihat juga bahu Jaya naik turun, karena napas yang menderu. Seolah dia itu banteng liar yang siap menubruk siapa pun yang ada di hadapannya.
Tubuh Joon tiba-tiba gemetaran. Ini bukan karena ia masih sakit, tapi karena ia merasa akan dihakimi setelah ini. Ia berbalik sejenak.
"Huwaakh, kenapa ayah melihatku seperti itu ya, Daddy? Jangan-jangan dia tahu aku kabur dari cafe tadi dan saat ini ia berencana akan memutilasiku lagi?" adu Joon pada Daddy Ken-nya.
Kenichi mengusap lembut rambut putra Kakak Zenkyo-nya itu.
"Poor, My Joon! Sepertinya kau harus mengatakan kata-kata terakhir untuk kami, Nak. Apa kamu punya wasiat untuk dijalankan oleh kami?" ucap Kenichi, ikut-ikutan mendrama.
"Papa, Daddy, kalau Joon tak selamat tolong ucapkan terimakasih Joon pada Gilang, ya? Dan lagi, Joon juga punya hutang di warnet Paman Ujang sebanyak seratus ribu rupiah karena tak bayar saat main game," ucap Joon sambil menggenggam erat tangan Kenichi dan Kevin, seolah mereka akan berpisah selamanya.
"Daddy akan sangat merindukanmu, Joon. Daddy begitu menyayangimu, Nak." Kenichi memeluk Joon sambil menangis tersedu-sedu. Entah karena terbawa suasana atau ia masih kesal dengan perlakuan Kevin tadi.
"Woy! Apa yang kalian lakukan di sana, hah?!" teriak Jaya dari ambang pintu rumah. Ia masih menampilkan tatapan tajam dan mengancam.
Jauh di halaman sana, Joon masih bersama Kevin dan Kenichi.
"Baiklah, Dad! Joon adalah pria yang kuat. Joon pasti bisa menghadapi ini semua!" ujar Joon.
Sejenak, Joon menghela napas panjang dan menatap lurus ke depan, seolah ia akan memasuki medan perang.
"Fighting, My Son!" Kenichi menyemangati.
Kevin hanya terdiam sejak tadi, menyaksikan drama yang diciptakan Kenichi dan Joon yang tak dapat hak siar itu. Kevin hanya bisa mengurut dada melihat tingkah aneh semua warga rumahnya itu.
Setelah tiga langkah, Joon menghentikan langkah. Ia berbalik dan kembali memeluk Kenichi.
"Daddy! Joon tak sanggup menghadapi kemarahan ayah. Joon tak mau mati dalam usia semuda ini."
Joon menangis sesenggukan di dada Kenichi.
Kevin menyerah. Ia sudah muak melihat drama yang diciptakan orang-orang aneh itu.
"Astaga! Kau terlalu sering menonton drama seperti Ken, Joon! Dan hentikan air mata kadalmu itu, Bocah! Biar Papa saja yang menjelaskan pada ayahmu!"
"Hati-hati ya, Pa! Awas digigit oleh ayah!" Joon memperingatkan.
Mengabaikan peringatan aneh Joon, Kevin terus menaiki beberapa anak tangga menuju teras rumahnya. Setelah menaiki beberapa anak tangga, kini Kevin telah sampai di tempat Jaya berada. Jarak mereka hanya beberapa langkah.
"Jay, bukannya tadi kau bilang akan pulang larut malam, eum?
Ah ya, aku akan menceritakan padamu apa yang sebenarnya terjadi tadi." Kevin mencoba menenangkan amarah Jaya.
"Tidak perlu, Kak! Bukan Anda yang harusnya menjelaskan ini semua!" bentak Jaya, masih dengan tatapan tajam ke arah Joon.
Dengan langkah berat dan napas yang masih menderu, Jaya berjalan ke arah Joon berada. Sontak membuat Joon bersembunyi di balik tubuh tinggi Kenichi.
"Kejadiannya bukan seperti yang kau pikirkan, Jay!" Kenichi menahan bahu Jaya.
"Jangan mencoba melindunginya, Ken!" Jaya mendorong Ken menjauh dari mereka.
Kini Joon tertunduk tepat di hadapan Jaya, yang menahan emosinya sedari tadi.
Bersambung ....