webnovel

5. Perpustakaan Keren

Pradita mengipasi diri dengan buku tulisnya yang tipis. Pagi-pagi sudah terasa panas. Sebenarnya bukan benar-benar panas matahari, hanya saja melihat Danu begitu intens dengan Arini, menimbulkan suatu percikan api yang tidak nyaman di dadanya. Ingin rasanya Pradita marah, tapi setelah dipikir-pikir, rasanya kok jadi tidak masuk akal ya?

Bukankah mereka ini hanyalah seorang sahabat. Bukan hanya. Hubungan persahabatan mereka itu spesial. Tidak dipungkiri jika Pradita sayang pada Danu. Sayangnya tapi sebatas sahabat. Ia juga ingin melihat sahabatnya bahagia bersama wanita yang disukainya.

Sejak awal mereka sama-sama memakai seragam SMK, Danu sudah langsung terpincut dengan gadis manis, semanis kembang gula lolipop itu. Banyak cowok-cowok yang mendekati Arini, tapi sepertinya tidak ada yang menyangkut.

Baru kali ini Pradita menyadari bahwa Danu memang tersangkut pada Arini. Bocah pandai itu berhasil membuat Arini terpikat sampai salah tingkah dan nyaris kelonjotan di lantai.

Pradita salut. Danu memang hebat dalam segala hal. Pelajaran oke. Tampang lumayan. Mudah pula untuk mendapatkan gadis impiannya.

Untuk menghindari matanya dari penyakit bisulan, lebih baik ia menyingkir pelan-pelan, lalu kabur ke kelas.

Setelah bel berbunyi, Danu dan Arini berlari bersama-sama masuk ke kelas. Lalu mereka duduk berdua. Danu sempat menoleh padanya, lalu tersenyum lebar. 'Trims ya, Coy.'

Pradita mengangguk sambil tersenyum tipis. 'Sama-sama, Cuk. Good luck ya.'

Ia terpaksa berbesar hati membiarkan sahabatnya duduk dengan sang gadis pujaan. Pradita terus menerus memasang wajah masam, seasam H2SO4 pekat yang ada di laboratorium kimia.

Dengan enggan ia menyimpan tas ranselnya di sebelahnya, tanda bahwa ia tidak ingin duduk dengan orang lain. Masih banyak kursi kosong. Silakan yang lain duduk di kursi yang lain saja.

Ulangan IKM lumayan gampang. Itu semua karena ia suka pada gurunya.

Bapak Johan memang guru favorit. Pembawaannya santai dan pelajaran disampaikan sambil bercanda dan banyak cerita seru. Coba saja kalau semua guru seperti Pak Johan. Mungkin semua mata pelajaran Pradita akan mencapai nilai maksimal.

Siang itu Pradita praktikum komputer. Sedangkan Danu praktikum resep bersama Arini.

Sambil menunggu waktunya Danu bubar, Pradita menongkrong di perpustakaan.

Pradita wajib acungkan jempol untuk perpustakaan sekolahnya yang besar dan super lengkap. Jadi perpusnya itu semodel Lembarpedia versi gratisnya. Berbagai macam genre buku ada semua di sana. Ia paling suka mengoprek di bagian novel dewasa. Di samping kisah romantis yang super manis sampai membuatnya baper dan air liur menetes, juga seringkali diselipkan adegan asoy geboy.

Wuih! Pradita paling senang jika sudah sampai ke bagian ciuman atau pegang-pegangan bahkan berakhir dengan hubungan seks. Tahun ini ia akan menginjak usia tujuh belas. Jadi tidak masalah dong kalau ia membaca buku yang seperti ini.

Pradita asyik tenggelam dalam bukunya hingga tidak sadar saat ada seseorang yang memperhatikannya di seberang sana.

Terdengar suara siulan. Pradita pikir siulan itu bukan dimaksudkan padanya. Jadi dia diam saja.

Beberapa detik kemudian terdengar suara siulan itu lagi. Mengganggu sekali. Memangnya di sini ada burung?

Pradita kembali serius membaca buku. Kasus pembunuhan yang sedang diselidiki tokoh utama dalam cerita itu cukup rumit. Pria yang selama ini menjadi tersangka utama malah menyatakan cinta pada si wanita itu. Uh Pradita sampai tidak berkedip menatap novel di tangannya.

Sebuah kertas kecil yang diremas-remas hingga berbentuk bola melambung kemudian mengenai matanya.

"Aw!"

Pradita otomatis menggosok matanya hingga buku yang dipegangnya jatuh ke lantai. Sialan! Ia sedang serius-seriusnya membaca, malah ada orang yang iseng mengerjainya. Ia menunduk untuk mengambil bukunya yang jatuh.

Saat ia sudah menegakkan diri, akhirnya ia memutuskan untuk memperhatikan sekelilingnya. Ia melihat ada lima orang sedang duduk di seberangnya. Tiga di antaranya anak perempuan yang sedang serius mencatat sesuatu di buku. Mungkin mereka sedang kerja kelompok.

Lalu tersangka hanya tinggal dua orang anak laki-laki. Wajah keduanya tenggelam di balik buku. Di antara keduanya pastilah yang tadi bersiul dan melemparnya dengan kertas. Pradita mengetahui keduanya sebagai kakak kelas anak dua belas, tapi ia tidak mengetahui namanya.

Pradita menarik napas dalam-dalam sambil mengerjap karena sebelah matanya masih terasa perih. Ia memutuskan untuk pindah tempat duduk. Perpustakaan ini cukup luas. Tempat duduknya banyak.

Pradita memilih untuk duduk di sudut ruangan. Tempat itu terang dan sepi. Oke. Sampai mana tadi ia membacanya? Oh sampai sang tokoh pria menyatakan cinta pada wanitanya.

Dan gangguan itu kembali muncul. Seseorang duduk tepat di sebelahnya. Pradita bisa mencium aroma parfum dari laki-laki itu, tidak menyengat, tapi juga cukup intens tercium oleh hidungnya.

Aromanya ringan dan... menyenangkan juga, tidak seperti parfum cewek, parfum ini maskulin banget.

Remasan kertas yang digulung-gulung, yang tadi sempat menyerang matanya, disimpannya di sebelah tangan Pradita. Otomatis ia menoleh dan memperhatikan lelaki itu. Ya, benar, dia memang anak kelas dua belas. Namanya... siapa ya?

Pradita pernah melihatnya beberapa kali di kantin. Lelaki itu sedang membeli jus jeruk. Lalu pernah juga saat pergantian jam praktikum resep. Lelaki itu keluar sambil menenteng tas prakteknya dan labjas disampirkan di bahu. Ia teringat bahwa waktu itu mereka saling menatap selama beberapa detik.

Tapi, karena Pradita orangnya cuek, jadi ia hanya membalas dengan angkuh, lalu melenggang masuk ke dalam ruang laboratorium tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Aku tidak bermaksud melukai matamu," kata cowok itu.

"Oh jadi lu yang ngelempar kertas itu ke mata gua?" sahut Pradita judes, tanpa sopan santun. "Mau apa sih lu?"

Cowok itu menyunggingkan senyum separuh yang kalau dilihat-lihat lumayan... manis, eeehh. Pradita memalingkan wajahnya, merasa pipinya sepertinya agak merona.

"Aku tadinya cuma mau kenalan sama kamu," jawab lelaki itu sambil membuka remasan kertas yang menodai matanya itu.

Pradita memperhatikan dan melihat tulisan yang tertera di dalam kertas itu : 'Hai. Boleh kenalan gak?' Lalu ada dua pilihan. Yes dan No.

Pradita mengambil bolpen dari tempat pensilnya, lalu menceklis 'No' di kertas itu. Ia terkekeh pelan sambil menyodorkan kertas itu pada sang empunya. Lelaki itu mendengus. Pradita dengan cuek memasukkan kembali bolpennya ke dalam tempat pensil, lalu memasukkannya ke dalam tas.

Untuk menghindari terjadinya sesuatu yang diinginkan, eeehh... , tidak diinginkan, maka Pradita beranjak dari kursinya, lalu menyerahkan buku itu ke Pak Idan.

"Pak, pinjam yang ini ya."

"Siapa namanya?"

"Pradita, Pak."

Pak Idan memperhatikan buku itu, membaca label 'Novel Dewasa' yang tertera di bagian belakang buku. Ia melirik Pradita, lalu bertanya, "Kamu kelas berapa?"

"Kelas sebelas B, Pak. Absen 28."

"Kamu sudah tujuh belas belum?" tanya Pak Idan dengan tatapan menyelidik.

"Eh... Nanti tiga bulan lagi, Pak."

"Bercanda." Pak Idan merubah ekspresinya menjadi santai. "Namanya juga remaja. Pasti penasaran kan sama hal-hal dewasa."

Pradita terkekeh setengah hati, diakhiri dengan wajah horor.

Chapitre suivant