webnovel

6. Terkilir

"Jangan lupa minggu depan dikembalikan ya. Kalau tidak nanti kamu didenda," kata Pak Idan.

"Iya, Pak. Siap. Terima kasih, Pak."

Pradita memasukkan buku itu ke dalam tas, lalu melangkah keluar dengan hati yang ringan. Pak Idan memang yang terbaik. Kalau memang ia tidak boleh meminjamnya, gampang, ia tinggal baca saja di perpus. Beres. Lagipula apa sebenarnya tujuan sekolah menghadirkan buku-buku bergenre dewasa jika tidak boleh dipinjam? Hiasan saja begitu?

Sebelum ia mendapatkan jawabannya, cowok kakak kelas yang tadi itu mengikutinya.

"Hai Pradita," panggilnya dengan suara yang serak-serak menggoda. Aih! Cowok itu tahu namanya dari mana?

Pradita menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada lelaki itu. "Lu ampe segitunya pengen kenalan sama gua?"

"Lagian kamu sampai segitunya menghindariku," sahut lelaki itu.

"Gua gak maksud menghindar kok."

"Terus kenapa kamu malah pergi?" Lelaki itu mendekat padanya. Tasnya tersampir di sebelah bahunya, sementara tangan satunya terulur.

Cowok itu terlihat tinggi menjulang di hadapannya. Wajahnya lumayan tampan. Alisnya tebal. Kulitnya kecoklatan. Bibirnya penuh, tersenyum manis padanya. Pradita berpikir keras, akankah ia menyambut tangan itu atau tidak. Hati kecilnya protes, tidak ada salahnya berjabat tangan dengan cowok itu. Hanya salaman saja, lalu selesai. Ugh! 'Maksa banget sih!' batin Pradita. Oke.

Pradita menjabat tangan lelaki itu dengan mantap setelah sebelumnya melemparkan tatapan tajam padanya.

"Bara."

Astaga! Mendengar cowok itu menyebut namanya, membuat Pradita agak berdebar. Wow. Namanya begitu hot. Bara. Seperti bara api. Panas.

"Pradita," ujarnya.

Dengan cepat Pradita melepaskan tangannya. Lalu menunduk agar tidak perlu menatap wajahnya yang sepertinya agak mengganggu konsentrasi bernapas.

"Besok selesai ibadah, kamu ada praktikum gak?"

Pradita menyipitkan matanya. "Ngapain tanya-tanya? Lu mau minjem jurnal?"

"Bukan," kata Bara sambil terkekeh. Suara kekehannya... terdengar agak gorgeous. Sial! Biasa saja lah. Pradita mengerjap-ngerjap sambil melempar pandangan ke tiang tembok.

"Kamu kan adik kelasku. Untuk apa aku meminjam jurnalmu?"

"Terus lu mau apa?" tanya Pradita sambil mendongak, dagunya agak seperti yang menantang. Siapa suruh cowok itu lebih tinggi darinya.

"Kalau kamu gak ada praktikum, boleh gak aku ngajak kamu ngobrol sepulang sekolah?"

"Besok gua praktikum, jadi kita gak usah ngobrol." Kita? Pradita heran dengan dirinya sendiri. Janggal sekali makna kata 'kita'.

Bara mengangguk perlahan seolah mengerti sesuatu. Sebelum Bara berpikir terlalu jauh, Pradita melangkah pergi. Ia bisa merasakan tatapan Bara di punggungnya. Dan rasanya lumayan panas membara. Astaga.

Setelah menuruni tangga, Pradita buru-buru berlari. Entahlah, pokoknya ia tidak mau terlibat terlalu jauh dengan cowok itu. Salahnya sendiri memulai perkenalan dengan hal-hal yang mengganggu dan tidak menyenangkan.

Pradita tidak memperhatikan langkahnya, ketika tiba-tiba kakinya menuruni dua anak tangga sekaligus. Sinkronisasi antara otak dan kakinya agak terlambat sedikit. Tahu-tahu ia terkilir dan jatuh ke lantai dasar dengan suara debum yang mengerikan.

"Aaaaaahhh!"

Ia bertumpu pada tangannya, lalu terduduk di lantai. Tangannya kotor. Kakinya juga. Ia mengambil tasnya, lalu mencoba untuk berdiri.

"Aw!"

Rasanya lumayan sakit. Mata kakinya berdenyut-denyut. Ia berpegangan pada tangga. Dari atas Bara turun dengan kecepatan kilat, lalu membantunya untuk berdiri.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Bara, wajahnya tampak cemas.

Pradita meringis saat menapakkan kaki kirinya ke lantai. Bara berjongkok di sebelahnya, lalu menarik lepas tali sepatunya.

"Eh jangan...."

Pradita merasa malu pada dirinya sendiri. Ia berkata 'jangan' seperti yang memohon dan mendesah begitu. Ayolah. Bara kan hanya melepas tali sepatunya, bukan melepas tali bra.

Bara mendongak, memperhatikan wajah Pradita yang tampak memelas.

"Aku cuma mau memeriksa kakimu aja," katanya lembut.

Pradita hanya bisa mengangguk perlahan. Akhirnya tanpa ragu Bara melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Ia menekan sebuah tombol di kakinya dan sontak membuat Pradita menjerit.

"Aaaauuww! Sakit tahu!"

"Sepertinya kamu terkilir."

Bara membantu memasangkan kembali kaus kaki dan sepatunya, yang diiringi beberapa auw dan aaarrgghh. Ia membantu membawakan tas Pradita yang sempat ditahannya. Mungkin ia pikir Bara akan menculik tasnya. Dasar bodoh. Lalu Bara mengambil sebelah tangan Pradita, menaruhnya di bahu. Tangan Bara yang satunya memeluk pinggang Pradita.

Haduuuhhh rasanya tegang sekali. Pinggangnya menjerit kegirangan dialiri listrik ratusan volt. Eh, bukan girang, tapi kaget. Tangan Bara terasa hangat. Ia membantu Pradita berjalan menuju ke kursi.

"Kamu pulang naik apa? Ada yang jemput gak?"

"Gak. Gua naik angkot," jawab Pradita sambil memutar-mutar pergelangan kakinya. Rasanya lumayan linu.

"Kalau begitu, biar aku antar pulang."

"Hah?" Pradita mendongak. "Ngapain? Gak usah. Gua bisa pulang sendiri."

"Kamu yakin? Memangnya kaki kamu udah baikan?"

"Lumayan. Gini doang mah gak apa-apa lah. Kan di angkot tinggal duduk aja," jawab Pradita ngeyel.

"Terus nanti kamu naik turun angkotnya gimana?" Bara menaikkan sebelah alisnya.

"Ya tinggal naik, terus turun." Pradita menggaruk-garuk rambutnya, bingung dengan jawabannya sendiri. Tapi memang benar kan jawabannya?

Pradita terus berusaha melenturkan kakinya. Wajahnya diusahakan untuk tidak mengernyit. Bara tidak juga mau beranjak.

"Tuh. Gak apa-apa lah. Bisa kok."

Uh Pradita merasa malu. Memangnya Bara peduli? Sepertinya sih iya. Untuk apa cowok itu peduli? Dengan gegabah, Pradita berdiri lalu mencoba untuk berjalan. Hhhmmmppp. Ia menahan napas, lalu terdiam sejenak.

Bara tersenyum separuh lagi, tampak seperti mengejek. Ia menggelengkan kepala. Dengan satu gerakan luwes, Bara mengangkat tubuh Pradita dalam gendongannya. Pradita memekik tertahan sambil menutup mulutnya dengan tangan. Bruk! Tasnya jatuh dari pegangannya.

Bara agak turun sedikit. Pradita melingkarkan tangannya di leher Bara yang kekar, agar tidak jatuh. Bara menyambar pegangan tas itu, lalu menaikannya ke atas perut Pradita.

"Pegangnya yang betul," kata Bara.

Cowok itu berjalan sambil menggendongnya. Pradita hanya bisa terkesima luar biasa sambil sebelah tangan memeluk tasnya, sebelah tangannya lagi merangkul bahu Bara. Cowok itu kuat sekali. Ia tidak sanggup berkata-kata, apalagi menolak.

Rasanya panas dan geli saat tangan Bara yang satunya dengan erat menopang di paha bawahnya. Roknya aman tertahan oleh tangannya. Kalau tidak, bahaya, celana dalamnya yang berbalut pembalut berselai stroberi akan terekspos.

Dari kejauhan ia melihat Danu dan Arini sedang berjalan berdua, baru saja keluar dari laboratorium resep. Danu melihatnya, lalu terbelalak. Sahabatnya itu berjalan cepat menghampirinya. Tapi karena jarak yang lumayan jauh, Danu tertinggal. Langkah Bara jauh lebih cepat menuju ke parkiran.

Bara menggendongnya ke sebuah mobil. Ia menurunkan Pradita, membantunya untuk duduk di jok. Bara berjalan memutar, lalu masuk ke kursi pengemudi. Ia menyalakan mesin mobil. Pradita canggung setengah mati.

Bagaimana bisa lelaki yang sejak tadi ditolaknya malah menolongnya, menggendongnya dan kini ia berada di dalam mobil lelaki itu, hanya berdua??

Pradita membayangkan sosok Bara yang seperti si manusia laba-laba menggendong kekasihnya tanpa rasa lelah. Astaga! Imajinasinya ternodai oleh Bara.

Namun, di sisi lain, Pradita merasa tidak enak karena tidak berpamitan dengan Danu. Tujuannya membaca buku di perpustakaan adalah untuk menunggu Danu pulang.

Sepertinya Danu sudah memiliki teman baru. Danu mungkin tidak membutuhkannya lagi.

Chapitre suivant