webnovel

Bagian 3

Menyesal ponsel sudah tidak ada dalam genggaman tapi ia merasa lega artinya tidak ada lagi kenangan bersama Anara, sudah semestinya memang berpisah. Setengah tahun, beberapa bulan yang lalu pernah melamar Anara namun apa yang Erik dapat, dua kali mendapat penolakan. Bukankah pria yang baik segera melamar kekasihnya dan membawa hubungan lebih serius, serba salah yang Erik lakukan— tidak ingin bermain-main dalam sebuah hubungan mengingat tak lagi muda tapi ia malah dipermainkan.

Menikmati hidup tanpa ponsel mungkin bisa membuat hidupnya lebih aman dari penatnya dunia maya yang terkadang membosankan, tadi ia meminjam ponsel perawat yang sudah mengenal dekat Erik. Hanya bertanya pada Gendis, tidak khawatir hanya ingin meminta membelikan sesuatu tapi tidak enak. Ada perasaan kasihan dibenaknya, akhirnya ia bertanya Gendis sudah sampai apa belum.

Pagi ini sedikit merenggangkan otot-otot dengan pelan agar nyeri tak datang lagi, mengikuti instruksi Gendis agar memijat pelan-pelan, menggerakan tangan. Meski nyeri menerpa ia tetap melakukan. Kalau tidak salah hari libur Gendis akan seharian di sini. Memang kehadiran di sini sangat membantu Erik tapi sayang karena gengsi berat untuk mengucapkan sekedar terima kasih.

"Mas Erik?"

"Ya?"

"Ada titipan dari Fredella, ini..."

perawat masuk membawa kotak dan tertera gambar ponsel di sana.

Erik menerima, padahal sudah diperingati jangan beli ponsel, seakan mengerti bahwa kembarannya tidak bisa jauh dari ponsel. Fre langsung membeli tanpa mengabari. Namun di sisi lain ia tidak menepis membutuhkan benda ini, terutama untuk menghubungi Gendis.

"Rik,"

Erik mendongak karena merasa terpanggil, ada Anggara di sana tumben sekali datang pagi-pagi buta.

"Tumben..."

"Mas bawa roti kesukaanmu, susu kedelai. Mau dinikmati sekarang?"

"Masih kenyang, siang aja mas." Jawab Erik. Sejak dulu Anggara seperti orang tua bagi Erik dan Fredella— menjadi tulang punggung meski mama masih ada, tapi menikah lagi dengan pria lain membuat kondisi keluarga tidak semanis dulu.

"Rik, setelah kejadian ini marilah kita bangun bisnis bersama. Berhenti balapan yang mengakibatkan luka pada dirimu."

Erik menghela, sejak dulu ia tidak tertarik berbisnis meski kuliah bisnis tapi tetap saja Erik merasa itu bukan dunianya. "Tidak akan, itu bukan duniaku, mas. Cukup jangan menyuruh aku berhenti balapan, aku mengalami ini baru satu kali dan kecelakaan bukan saat balapan tapi setelah mengantar Anara."

Anggara menghela nafas, sifat adik kembarnya sama tidak ada bedanya. Tak hanya Erik— sifat keras kepala melekat pada Fredella. "Sekali saja mendengar ucapan kakakmu."

"Mas, aku sudah besar. Sudah paham kemana membawa kehidupanku. Sudahlah..." balas Erik tak mau kalah.

Pada akhirnya sebagai seorang kakak, Anggara hanya bisa menuruti keinginan adik-adiknya yang terkadang salah menurut pendapatnya.

"Mending urusin si Fredella, yakin mau menikah sama duda anak satu?"

"Axel pria yang baik, mas setuju." Jawab Anggara

"Yakin dia duda? Nanti kena tipu."

"Yakin, dia punya surat duda, Fre bisa minta."

Ah sudahlah, lebih baik Anggara pulang lagi. Terlihat Erik baik-baik saja.

"Mas pulang ya,"

Erik mengangguk.

"Cepat sembuh, kami semua menunggu kehadiranmu."

"Ya, mas, terima kasih..."

Belum juga keluar dari ruangan di sana sudah ada Gendis menyapa Anggara dengan sopan. "Calon istrimu datang." Kata Anggara seraya meninggalkan ruangan, tidak mau mendapat tatapan tajam dari adiknya.

"Ndis," panggil Erik, belum sempat memarahi Anggara tapi pria itu sudah keluar.

"Cie ponsel baru..." Gendis tak sengaja melirik ponsel di atas meja.

"Belikan saya nasi Padang." Erik mengabaikan ucapan Gendis. "Kamu tidak lelah, kan?" tanya Erik memastikan.

Gendis menggeleng, "Nggak mas, mana uangnya?"

"Pakai uangmu dulu,"

"Kemarin beli Apel belum bayar,"

"Sekalian, kamu ini menolong bos sendiri tapi berkesan pelit sekali."

Gendis mengelak, kalau terus memakai uangnya bisa boros walaupun Erik pasti akan menggantinya. "Bukan gitu mas, ya sudahlah cepat bayar takut besok kenapa-kenapa mas belum bayar hutang. Nanti amalan mas menuju surga terhalang oleh hutang."

"Gila kamu!"

Gendis berbalik, lalu terbahak-bahak tidak jelas. Gendis yakin tanpa menjelaskan Erik pasti paham, kecerdasan Erik di atas rata-rata.

Erik mengembuskan nafas kasar, sialan ia tidak terima maksud ucapan Gendis! Dan harus bersama Gendis seharian penuh untuk hari ini, Gendis libur kuliah.

Kepala Erik mendadak pusing memikirkannya.

***

Yang menakutkan dari sebuah hubungan adalah tidak mendapat restu, ketakutan Anara selama ini benar terjadi. Setelah dihantui ketakutan kini benar terjadi hingga akhirnya perpisahan adalah jalan terbaik, Anara melangkah memasuki rumahnya. Suasana di luar sudah gelap itu artinya malam menghampiri, suasana hati tidak stabil setelah pulang dari rumah sakit ia menghabiskan sendiri di kafe. Mengabaikan pesan, telepon dari Aldo— calon suami dari hasil perjodohan orang tuanya.

"Sudah pulang, Na?"

Anara mengangguk lemah, sakit, kehilangan itu yang ia rasakan setelah melepaskan Erik dalam hidupnya. Semua kenangan terasa tidak ada artinya.

"Seperti permintaan papa, aku dan Erik berpisah."

"Bagus, itu baru anak berbakti pada papanya. Lagipula Erik tidak memiliki masa depan untukmu." Jawab papa

Mata Anara terasa perih menahan tangis sejak ada di rumah sakit, ingin menumpahkan semua tapi ia merasa tak ada gunanya. Papa tidak akan berubah keputusan.

"Erik itu seorang pembalap apa yang bisa kamu harapkan, terlalu berantakan. Dia tidak bisa menghidupi dengan baik."

"Papa egois!"

"Ya, papa egois karena tahu yang terbaik untuk anaknya. Kamu seorang perempuan carilah pria yang baik selain Erik!"

"Erik memang seorang pembalap bukan berarti dia tidak bisa membahagiakan, aku, pa!" balas Anara

"Pembalap tidak memiliki masa depan yang baik, sudah jangan melawan terus. Masuk kamar, Ana!"

"Papa harus tahu, pembalap bukan berarti hidupnya  berantakan. Erik pasti tahu cara membahagiakan wanita yang dicintainya." Ucap Anara

"Omong kosong. Masuk Anara!"

Nada suara papa sangat tegas, Anara mengikuti perintah papa untuk masuk ke dalam, mengunci pintu, berteriak-teriak di tutupi bantal, meluapkan semua kesalnya. Salah dimata si Erik tanpa Erik tahu bahwa Anara masih mencintai pria itu, ingin terus berada di samping Erik. Tapi papa adalah penghalang semunya.

Sebelum kecelakaan Erik— perayaan hubungan mereka, makan malam bersama, Erik memberi banyak bunga dan cincin lamaran yang akhirnya ia tolak dengan alasan belum siap.

Bohong, sebagai perempuan pasti senang mendapat lamaran dari pria dicintainya, menolak adalah kebodohan. Malam istimewa bagi keduanya, memberikan nuansa romantis bahkan Erik bermain piano menyanyikan lagu kesukaan Anara berjudu, 'Hanya Rindu'.

Anara merekam semua berniat untuk ia simpan nantinya, Kenyataan pahit ketika papa mementingkan bisnis dibanding perasaan anaknya. Andai semua orang tahu saat ini Anara ingin menjadi perempuan di samping Erik dalam suka dan duka, mimpi itu terpaksa ia kubur.

Sebentar lagi pernikahan tanpa cinta akan ia hadapi, hidup berumah tangga dengan pria pilihan papa. Erik kini hanya sebagai masa lalu yang entah bisa atau tidak ia lupakan. 

Anara dan hidupnya tak seindah ribuan novel yang ia baca.

Chapitre suivant