webnovel

Bagian 4

Melewati koridor rumah sakit sembari menenteng nasi Padang pesanan Erik, melihat satu-persatu seluruh ruangan rumah sakit terbilang mewah ini. Padahal Erik yang sakit tapi setiap hari malah Gendis yang memikirkan tentang biaya, Gendis penasaran berapa harga satu hari Kamar Erik saat ini, biaya operasi dan lain sedangkan Erik hanya seorang pembalap. Ya, memang kakak dan adik Erik termasuk orang berada buktinya gaji Gendis saja dari Fre atau Anggara secara bergantian memberi. Kasihan Erik gara-gara mengikuti kenakalan remaja akhirnya tidak mau beranjak mencari pekerjaan lain, Gendis pernah mendengar Erik juga lulusan bisnis dari universitas termahal di ibu kota.   

Percuma mahal, lulusan dari bisnis kalau menjadi pembalap dan mengutang hanya untuk makan seperti saat ini. Beli nasi Padang saja harus menggunakan uang Gendis, tidak modal sekali. Jika diingat-ingat kesal sendiri.   

"Ndis,"   

Gendis terperanjat, seorang pria memakai jas khas profesinya yaitu dokter. Gendis tersenyum sebagai balasan, sudah lama mereka tak bercengkrama.   

"Kok di sini?" tanyanya   

"Iya mas, apa kabar?" Gendis basa-basi  

"Baik, siapa yang sakit? Ibu?" Tanyanya bertubi-tubi 

Gendis menggeleng, "Aku kerja jaga orang sakit, di sini mas." Jawab Gendis malu-malu.   

"Cewek apa cowok?"   

"Cowok..." 

"Ruangan mana?"  

Duh, kenapa harus bertemu lalu bertanya tanpa henti. Gendis ingin segera menghindar karena terus berhadapan hanya akan membuat hatinya lemah. "Vip mas, aku ke sana dulu ya," Gendis segera pamit namun satu tangan mencegahnya.   

"Kamu berubah sekarang, baik-baik saja kan, Ndis?" 

"Iya mas, sudah dulu ya, mas. Soalnya ditungguin." Gendis membungkuk sebentar lalu segera berlari meninggalkan pria bernama Rian Aditama— mantan kekasih Gendis dulu, hubungan mereka kandas karena Rian fokus dengan pendidikan kedokterannya. Mereka berbeda usia sangat jauh. Rian sekarang umur tiga puluh tahun.

Memang benar kalau sudah jadi mantan, terlihat berbeda malah tambah tampan. Seketika penyesalan kembali menyelinap relung dada.   

"Ndis, gendut!"   

Suara itu lagi, mengganggu saja. "Apa mas?" desis Gendis   

"Nggak sopan, ngapain kamu di pintu terus?"  

"Menghayal." Gendis mengambil piring, segera menyiapkan semuanya agar Erik segera makan.  

"Lama banget, antri?"   

"Iya mas, maaf..."   

Erik membenarkan tubuhnya, ketika pandangan mata tak lepas dari gerak-gerik Gendis seperti ada yang beda. Erik mengernyitkan dahinya tatkala hanya memberikan nasi Padang, tidak ada kata-kata lagi. Ucapan selamat makan pun tidak ada.  "Ndis,"

Gendis hanya mendongak, tak ada balasan. 

"Kamu kenapa, saya ada salah kata?"   

Gendis menggeleng sebagai jawaban.   

"Terus?"   

"Nabrak hati." 

"Serius, Ndis!"   

"Jangan terlalu serius, sudah kaya orang nikahan." Gendis menyahut. 

Erik menghela nafasnya, tumben sekali ia kehabisan kata-kata. Biasanya cekcok mulut tidak ada henti. Erik sedikit kehilangan, ruangan jadi sepi sekali.  

"Ndis, suapin saya, tangan nyeri..."   

"Ya,"   

Benar-benar aneh, mendekati Erik langsung mengambil alih piring. "Ndis, mulut saya di sini. Kamu malah menyuapi ke arah mata." Erik menegur dengan lembut.   

Gendis mengerjap, ia tidak sadar malah melamun tidak jelas. "Maaf mas... Jangan pecat aku."   

"Kamu kenapa, ada masalah?"   

"Iya, sedikit. Galau seluruh jiwa ini."  

"Ya, kenapa?"   

"Ketemu mantan."   

"Terus?" Erik mencoba menyimak  

"Makin ganteng, nyesel putus."   

Erik menyipitkan pandangan, efek mantan ternyata. Luar biasa sekali membuat Gendis kehilangan keseimbangan. "Jadi selama ini kamu selalu melihat seseorang dari fisik, Ndis?"   

"Sedikit mas, Rian ganteng banget jadi dokter. Aku loh, yang menemani Rian dari nol."   

"Omong kosong semua, itu. Mana ada menemani dari nol pas sukses dia ngga akan mengingatmu. Sudahlah, Ndis. Saya masih lapar ini..."   

Gendis kembali menyuapi Erik dengan hati-hati kali ini fokus, jangan sampai Erik marah-marah disaat kondisi hati Gendis tak stabil.   

"Anara juga sama, menemani saya dari nol. Pas saya terjatuh dia malah lari." 

Gendis menyimak.   

"Manusia didunia ini jarang yang mau berjuang bersama-sama, saya cacat saja dia nggak mau. Padahal dulu pernah bilang menerima apa adanya, hanya sebuah omong kosong. Kamu yakin Rian bakal menerima kamu, lagi? Move on, Ndis. Ada banyak pria yang mau sama kamu, fokus kuliah, kerja, bahagiakan mama dan papamu. Jangan kaya saya, hidupnya berantakan nggak punya masa depan. Dia sudah jadi dokter sekarang, seleranya bukan kamu lagi."   

"Mas nggak boleh ngomong gitu, masa depan itu sudah dirangkai jauh-jauh hari sebelum kita lahir di dunia. Kalau hari ini mas masih jadi pembalap, setelah sembuh malah jadi bos yang punya pabrik motor buat balapan. Mimpi saja dulu, dikabulkan kapan itu terserah." Gendis membalas. Enak juga berbicara dengan Erik tanpa harus ada drama marah-marah.

"Ya, kamu betul. Kita hidup nggak selalu tentang hari ini. Terima kasih Ndis, sudah membantu saya." 

"Ish, tumben." Gendis mencibir   

"Bijak salah, marah-marah juga salah. Heran..." Erik mengakhiri obrolan, merasa kenyang ia tak mau lagi menyantap nasi Padang padahal masih sisa banyak.   

Gendis terkekeh, suasana hati kembali membaik meski ada sedikit kegalauan akibat bertemu masa lalu. Ternyata masa lalu masih sangat penting di hidup Gendis.

"Melamun lagi!" Erik menegur kembali. "Jangan melamun, nanti kesambet setan rumah sakit." 

Gendis tersadar dari lamunan, bisa-bisanya melamun di depan Erik. "Iya mas... Eh, tumben nggak habis?"   

"Pedas lama-lama, Ndis, kamu capek nggak mengurus saya?"   

Gendis mengernyitkan dahi, tumben sekali Erik bertanya seperti ini. Biasanya tidak sama sekali gaya bicara jadi lembut setelah membeli nasi Padang. "Mas, lagi nggak demam, kan?"   

"Nggak."   

"Hari ini beda banget."   

Erik tak menggubris menyuruh Gendis segera menyelesaikan semua, pergi dari ranjang karena ingin istirahat. Membosankan selalu saja hanya makan dan tidur pekerjaan Erik saat ini.   

***   

Anggara menikmati setiap makanan yang tertata rapi di depannya, enak itu penilaian pertama. Ternyata pencarian selama ini mendapat jalan hingga menemukan siapa orang tua Gendis, dibantu oleh Fre akhirnya ia memberanikan diri datang ke sini. Makan malam sendiri sesekali mengajak ibunya Gendis berbicara. Suasana tempat makan mulai sepi karena sudah jam delapan malam, sengaja Anggara baru datang tujuannya bisa bercengkrama dengan orang tua Gendis. 

"Jadi bapak ini bosnya, Gendis ya?"   

"Iya Bu,"   

"Gendis kerjanya gimana, pak?"   

"Bagus, tepat waktu. Dia menghargai apapun yang sedang dijalani, adik saya betah sama Gendis." Jawab Anggara. Anggara telah menyelesaikan makanan dua menit yang lalu. Rumah makan sederhana dengan lauk banyak pilihan sangat membuat Anggara nyaman, ia rindu masakan ini meski istrinya sering memasak tapi tetap saja ada rasa yang beda. 

"Bu, boleh saya bertanya tentang Gendis?"   

"Boleh," ibu Gendis duduk di depan Anggara, Anggara menyuruh karena rasa penasaran terus bergejolak.   

"Gendis sudah punya pacar?"   

"Oh, belum pak, Gendis mau fokus kuliah dulu. Mau wisuda tepat waktu." 

Anggara mengangguk-angguk, sebuah kesempatan untuknya. "Saya hanya memastikan, tidak enak dengan kekasih Gendis. Apalagi adik saya seorang pria."   

"Tenang saja, adik bapak sudah membaik ya, kata Gendis sudah bisa makan sendiri."   

"Iya, berkat Gendis dan medis. Bu, maaf kalau tidak sopan kalau seandainya Gendis menikah muda boleh?" tanya Anggara sedikit tidak enak.   

Terlihat ibu terkekeh, "Soal menikah kami menyerahkan pada Gendis, toh, perempuan memang harus menikah. Coba tanya Gendis mas..." jawab Ibu   

Anggara tersenyum malu-malu, sebenarnya jawaban ibu lampu hijau untuk Anggara

Chapitre suivant