Adiwangsa telah kembali dari berkeliling. Tidak ada jalan untuk masuk selain dari pintu depan. Di belakang bangunan ada sebuah pintu tapi tertutup rapat. Sama sekali tidak ada cara untuk membukanya dari luar.
Karena hanya bisa masuk melalui pintu depan, Adiwangsa menugaskan Zen untuk memancing salah satu penjaga dan ia sendiri akan membereskan sisanya.
"Benar kita akan menerobos sekarang? Tidak mau menunggu sebentar lagi?" Zen melirik jam tangannya berkali-kali.
"Mana ada waktu," balas Adiwangsa menjadi tidak sabaran. "Bukannya kata Bosmu keselamatan Objek nomor satu? Kalau terjadi apa-apa karena kita terlalu lama menunggu, kamu yakin bisa bertanggungjawab?"
Perkataan Adiwangsa mulai membuat Zen ragu. Ia berpikir sesaat, menimbang-nimbang, kemudian setuju dengan rencana Adiwangsa untuk masuk lebih dulu. Ia yakin Adiwangsa memiliki rencana yang lebih baik. Kalau pun tidak, toh ia telah meminta bantuan. Jadi yang perlu dilakukan hanya mengulur waktu dan bertahan.
Zen memancing seorang penjaga dengan menggoyang-goyangkan rumput yang tumbuh tinggi di samping pabrik. Ia juga membuat suara-suara aneh. Jika suara kucing tidak berhasil, ia akan berganti suara anjing. Jika suara anjing tidak berhasil, ia akan berganti suara ayam. Jika suara ayam tetap tidak berhasil, ia akan sekaligus membuat suara kucing, anjing, dan ayam sedang berkelahi.
Menganggap suara-suara yang terdengar berasal dari orang gila yang iseng, kedua penjaga sepakat mengabaikannya. Tapi, lama-kelamaan mereka merasa terganggu juga. Selain berisik, suara-suara yang terdengar juga semakin tidak jelas, membuat orang lain kesal.
Salah satu yang berjaga di pintu pergi untuk melihat dan mengusir siapa pun yang ada di balik rerumputan.
Setelah yang satu pergi, Adiwangsa keluar untuk membereskan sisanya. Ketika ia hendak mengeksekusi rencananya, seorang penjaga lagi keluar untuk menggantikan satu yang pergi. Adiwangsa sudah telanjur menampakkan diri dan penjaga pun sudah telanjur melihat keberadaannya, jadi kembali bersembunyi sama sekali tidak mungkin.
"Siapa kamu?! Berhenti!"
Pada akhirnya Adiwangsa hanya bisa melarikan diri. Dua orang yang bertugas menjaga pintu mengejarnya sekaligus. Setelah memancing kedua penjaga menjauh, Adiwangsa menghadapinya sekaligus. Dengan kemampuannya, tidak sulit menjatuhkan dua orang dalam beberapa serangan. Adiwangsa kembali ke pabrik ketika Zen telah masuk lebih dulu.
Adiwangsa masuk dan melihat Zen bersembunyi di balik tiang penopang bangunan.
"Sedang apa?" tanya Adiwangsa.
Zen menjawab dengan isyarat. Ia meletakkan telunjuk di depan bibirnya, dan menunjuk ke arah meja dan kursi yang ada di bagian lain.
Tatapan Adiwangsa mengikuti ke arah telunjuk Zen menunjuk dan tidak ada apa atau siapa pun di sana. Adiwangsa celingukan ke arah lain, ke semua tempat yang mampu terpantau penglihatannya tapi ke mana pun ia melihat, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada mereka dalam ruang itu.
"Tidak ada?" Zen yang tidak percaya ketika melihat Adiwangsa menggeleng memeriksa sendiri tempat yang ia tunjuk. "Eh, iya kosong. Padahal tadi ada dua orang di sana."
Adiwangsa menggeleng-gelengkan kepalanya dan meninggalkan Zen untuk mulai mencari tempat Haidee dan Adiraja disekap. Ia menghilang di balik sebuah ruangan. Sebelum Zen menyusul, Adiwangsa terlihat lagi. Ia berjalan mundur dengan langkah perlahan. Enam orang yang membawa balok dan belati memaksa Adiwangsa untuk mundur.
Ketika Zen berbalik, pintu keluar ditutup dan dua orang telah berdiri di belakangnya. Mereka ketahuan, lebih parah lagi masuk perangkap dan tertangkap. Oke, melakukan penyelamatan dengan tenang dan sembunyi-sembunyi tampaknya sudah tidak mungkin lagi. Adiwangsa yang Zen kira memiliki rencana lebih baik terlihat hanya pasrah dan mengikuti arus.
"Adiwangsa, Adiwangsa. Kamu pikir kamu hebat hanya karena berhasil masuk?" Mark muncul paling belakang, ikut menghadang langkah Adiwangsa. Ia menarik kursi dan duduk dengan congkak.
"Aku datang untuk mengambil sesuatu yang kamu curi," kata Adiwangsa tidak terlihat gentar. "Jadi tidak perlu menyambutku seheboh ini."
Mark tersenyum mengejek. "Bukannya kamu juga mencuri dari orang lain? Jadi mencuri dari pencuri seharusnya tidak masalah."
Kalimat Mark menohok Adiwangsa. Ia lupa kalau dirinya juga pencuri dan ia juga melakukan hal yang sama 3 tahun lalu. Mengatai Mark entah kenapa seperti mengatai dirinya sendiri. Untung mukanya cukup tebal untuk tahu apa itu malu.
"Oke, aku kalah. Sekarang..." suara Adiwangsa tertahan karena di belakangnya Zen telah memulai adu jotos lebih dulu. "Ayo, kita mulai!" Adiwangsa menggerakkan tangannya dengan gaya memanggil. Lebih tepatnya menantang.
***
"Masih belum ada jawaban juga?!" Moissani Sekai mulai berang. Sebelumnya tidak pernah ada orang yang berani membuatnya menunggu selama ini. Jika bukan karena keuntungan yang akan ia terima, ia juga tidak akan sudi diperlakukan seperti ini.
Kali ini sudah keterlaluan. Moissani Sekai merasa orang itu sudah tidak lagi menghargainya. Sebelumnya ia terpaksa bekerja sama, tidak ada pilihan lain. Jika saat muda ia tidak terlalu ceroboh dan serakah, ia pasti tidak akan berada di situasi seperti saat ini.
Meski mendapat keuntungan karena orang itu mendukung 70 persen biaya kampanye yang dikeluarkan, ia tetap saja tidak terima diperlakukan seperti ini. Lihat saja nanti saat ia menjadi presiden, ia akan melakukan pembalasan yang lebih dari hari ini. Ia akan membuat orang itu menyesal.
Seenaknya saja membayar Objek 011 dengan harga 70 persen baya kampanye. Objek 011 adalah penelitian yang sangat berharga. Negaranya telah memulai proyek Rekayasa Emosi Manusia sejak lama dan Objek 011 adalah objek penelitian terakhir. Dana yang telah dianggar pun tidak main-main.
Selama ini Moissani Sekai selalu membenarkan perbuatannya bahwa membantu Negara lain mendapatkan Objek 011 bukan berarti ia mengkhianati negaranya. Penelitian bisa dimulai lagi tapi kesempatan untuk naik ke posisi yang paling tinggi hanya ada sekali seumur hidup. Ia tidak boleh melewatkan kesempatan atau ia akan menghabiskan sisa hidupnya dalam penyesalan.
Sejak N Island diakui kedaulatannya, presiden telah berganti berulang kali. Mereka mengatakan telah bekerja keras, berjanji untuk memajukan negara, menjadikannya lebih baik, tapi yang dirasakan hanya ada sedikit perubahan. Dalam teknologi mereka masih tertinggal, kelengkapan alutsista masih tidak dijadikan prioritas. Jika bukan ia sendiri yang memimpin, harapan-harapan mengenai negaranya tidak akan pernah terwujud. Ini bukan hanya mengenai ambisi, tapi juga pengabdian.
"Saya pergi sekarang. Jika dia butuh sesuatu, suruh pergi menemuiku sendiri!"
Kekesalan Moissani Sekai benar-benar telah berada di puncaknya. Tidak mungkin menunggu lagi. Terlebih karena suara berisik dari lantai atas menunjukkan tempat pertemuan mereka telah terekspos. Ia tidak ingin ada gosip menyebar di saat-saat paling kritis.
"Apa kalian tidak tahu kalau aku benar-benar sibuk." Moissani Sekai masih mengomel.
Bersama dengan asistennya, Moissani Sekai telah berjalan ke arah pintu keluar, tapi kemudian langkahnya dihalangi oleh seorang wanita.
Wanita itu berambut kecokelatan, diikat tinggi. Ia mengenakan seragam keamanan berupa kemeja putih, rompi bagian luar, dan celana panjang. Meski memakai seragam keamanan yang sama seperti keamanan lain, sepatunya sama sekali tidak terlihat cocok dengan seragam keamanannya.
"Kenapa? Dia bilang apa?!" Moissani Sekai berbicara dengan nada menantang.
"Bos bilang rencana berubah." Wanita itu berbicara dengan angkuh. Ia kemudian menarik pelatuk yang tersembunyi di belakang punggungnya. Ia menembak si asisten tanpa peringatan, kemudian menembak Moissani Sekai tepat di kepalanya.
***
Mendengar suara tembakan membuat Adiwangsa panik. Belum lagi kepanikannya mereda, sebuah tembakan terdengar lagi. Adiwangsa semakin panik, kacau, pikiran-pikiran buruk memenuhi kepalanya. Adiwangsa menyerang membabibuta. Ia memukul, menendang, dan menyeruduk. Satu-satunya yang terpikirkan adalah melihat Haidee dan adiknya aman dan baik-baik saja.
Saat masih mengamuk dan berusaha mengalahkan dua lawan yang tersisa, Mark menyerbu masuk dan menendang Adiwangsa hingga terpental. Tubuhnya menghantup tiang penyanggah bangunan.
Zen mencoba membalas serangan tiba-tiba yang diterima Adiwangsa, tapi ia sendiri tidak bisa menahan pukulan berturut-turut Mark dan terpental ke tempat yang sama dengan Adiwangsa. Adiwangsa yang berusaha susah payah untuk berdiri, tertimpa tubuh Zen dan kembali terantup tiang.
Adiwangsa mengeluhkan tubuh Zen yang begitu berat padahal tubuh anak itu terlihat kurus. Ia mendorong Zen menjauh, dan berdiri lagi.
"Ah, pinggangku!" keluh Adiwangsa setelah berhasil berdiri.
Mark tertawa. "Jadi hanya sebatas itu kemampuanmu? Apa otak licikmu mendadak tidak mampu berkutik di hadapan kemampuanku? Ke mana perginya kesombonganmu selama ini?"
Adiwangsa hanya tersenyum merendahkan. Tubuhnya masih terasa sakit di sana-sini untuk balas mengoceh.
Mark mengubah sikap tarungnya menjadi lebih santai. "Aku akan mengampunimu," katanya tiba-tiba. "Asal kamu memohon untuk hidupmu, akan kupikirkan untuk mengampuni hidupmu." Mark memandang rendah lawannya.
Sudut bibir Adiwangsa tertarik. "Apa kamu pikir aku akan melakukannya?" Adiwangsa menatap tajam yang dibalas tatapan tajam juga oleh Mark. "Akan kulakukan." Tatapan tajam Adiwangsa melunak. Zen terkejut, seolah telinganya salah dengar. "Kalau kamu bisa menjamin kedua orang itu aman dan baik-baik saja, akan kulakukan."
Mark tersenyum puas mendengar jawaban Adiwangsa. Jika pria itu terlalu mudah menyerah, tidak akan ada lagi hal menarik untuknya. "Maaf, masalah itu tidak berada di bawah kekuasaanku."
"Kalau begitu jangan bermimpi!"
Adiwangsa telah selesai meredakan nyeri-nyeri di tubuhnya. Ia juga telah selesai mengumpulkan kembali tenaganya. Adiwangsa bergerak untuk menyerang lebih dulu.
Satu, dua, tiga, empat, Adiwangsa berhasil menghindari empat serangan Mark dan terkena pukulan di serangan kelima. Begitu Adiwangsa mundur karena terkena pukulan, Zen maju menggantikan. Zen hanya bisa bertahan sampai dua pukulan saja.
Zen mundur, Adiwangsa kembali menyerang. Setelah menghantamkan satu serangan yang gagal mengenai titik vital lawannya, ia lebih banyak bertahan dan menangkis. Gerakan Mark sangat cepat, sama sekali tidak terbaca, sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk membalas.
Kali ini Adiwangsa bisa bertahan sampai enam serangan dan terkena tendangan di serangan ketujuh Mark. Tidak ingin mengambil jeda, ia mencoba lagi. Adiwangsa harus mendapatkan celah. Satu-satunya kelebihan yang ia miliki dibanding Mark adalah otaknya. Jadi ia tidak boleh tidak berpikir.
Tapi, berpikir sekaligus bertarung sama sekali tidak memberi jalan keluar.
Zen ikut membantu, ikut menyerang Mark. Kali ini Zen bisa bertahan sampai tiga serangan. Ia terpental ketika Mark mengarahkan lengannya ke rahang Zen. Di saat yang lain, Mark juga menendang ulu hati Adiwangsa.
Untuk beberapa saat, Adiwangsa kesulitan bernapas. Zen lebih parah karena mengeluarkan banyak darah.
"Mark, kita harus cepat menyelesaikan masalah di sini dan pergi." Salah seorang di antara orang-orang yang mengenakan seragam keamanan dengan wajah babak belur mengingatkan.
Mark terlihat tidak suka. Ia belum cukup puas bermain tapi tidak membantah. "Maaf Hyung, aku sudah harus pergi." Mark menarik pistol yang disembunyikan di balik bajunya. "Ucapkan selamat tinggal pada dunia yang telah mengkhianatimu," tambahnya menodongkan moncong pistolnya.
"Aku benar-benar tidak percaya aku akan mati sebelum menikah." Zen berbisik konyol pada Adiwangsa.
"Aku juga tidak percaya. Aku sudah banyak bertemu dengan orang dalam hidupku. Jadi, kenapa aku harus mati denganmu," balas Adiwangsa.
"Bukannya itu lebih baik dibanding mati sendirian."
Adiwangsa tertawa. Zen Ogawa benar-benar pandai melucu.
Setelah menyelesaikan dua musuh di depannya, misi Mark tuntas. Ia akan menerima sisa bayarannya dan menghabiskan sisa hidupnya dengan bersenang-senang. Mark siap melepaskan tembakan, tapi tiba-tiba sebuah hantaman terdengar. Dua kali, kemudian suara berdebum karena pintu roboh. Catat, bukan terbuka tapi roboh.
Pahlawan memang selalu muncul belakangan di waktu yang tepat. Di cerita ini pahlawan yang muncul bukan seorang pria, tidak juga bertubuh tinggi dan gagah. Pahlawan dalam cerita ini adalah wanita, bertubuh mungil, berambut panjang diikat rendah, dan mengenakan kacamata.
"Kalau meminta bantuan, usahakan sekaligus menyertakan shareloc." Hazima Emi mengomel pada Zen yang telah membuatnya menghabiskan banyak waktu untuk mencari.
Zen tertawa. "Aku tidak jadi mati. Aku masih memiliki kesempatan untuk menikah," katanya dengan suara girang.
Mark melempar senjatanya. Mengabaikan perintah hanya untuk menghadapi Adiwangsa memang tidak setimpal, berbeda dengan lawan yang baru muncul di depannya ini. Sudah lama ia tidak menemukan lawan yang kuat untuk mengukur kemampuannya. Karena orang yang Mark inginkan telah muncul, kehilangan sisa bayarannya tidak lagi masalah.
Nama Hazima Emi, tentu saja Mark mengenalnya, bahkan meski wanita itu sebelumnya tidak bernama. Sebagai seorang petarung, menghadapi lawan yang kuat adalah cara menjadi lebih kuat.
Mark pernah mendengar desas-desus mengenai Hazima Emi saat masih berada di penangkaran manusia. Bukan hanya mendengar. Beberapa tahun lalu, Mark pernah datang untuk mencari tempat petarung bawah tanah N Island. Mencari lokasinya tidak mudah, berusaha masuk ke sana lebih tidak mudah lagi. Peraturannya sangat ketat. Saat akhirnya Mark menemukan kesempatan, pemerintah telah mengendus tempat itu.
Seperti sebuah mimpi, akhirnya keinginannya Mark tercapai. Kali ini bukan ia yang datang untuk mencari, tapi wanita itu yang datang padanya.
Mark benar-benar bersemangat, benar-benar antusias.
Hazima Emi melepas kacamatan dan melemparkannya pada Zen. Tatapannya tajam tertuju pada Mark. Wajahnya yang polos, manis, dan tak berdaya lenyap. Sudut bibirnya tertarik tapi tidak tersenyum melainkan menyeringai. Ekspresinya berubah total, auranya sebagai wanita lemah juga hilang tak berjejak. Segala hal mengenai kebencian, sifat licik, dan amarah pada dunia tercermin dalam tatapan matanya.
Selama bersama Arata Baswara, Hazma Emi selalu menahan diri. Arata terus mengingatkan tentang sopan santun, tata krama, agar tidak mencolok, agar berhati-hati, agar tidak menunjukkan apa yang tersembunyi pada siapa pun. Selama ini Emi selalu patuh. Ketika akhirnya ia bisa memegang kendali atas dirinya, ia merasa bebas.
Sebenarnya Adiwangsa tidak ingin melewatkan tontonan paling bersejarah dalam hidupnya tapi suara tembakan yang sebelumnya ia dengar benar-benar membuatnya harus bergegas. Ia berharap tidak terlambat.
Adiwangsa menemukan sebuah pintu yang menghubungkan ke ruang bawah. Ia turun melalui tangga melingkar, mempercepat langkahnya. Di depan ia melihat Adiraja yang berusaha berdiri dengan susah payah. Pandangan Adiwangsa tidak leluasa karena terhalang sudut tembok. Adiraja sedang mengangkat pistol dan melepaskan tembakan. Ketika pandangan Adiwangsa telah lebih leluasa, ia menahan napas melihat siapa yang menjadi sasaran tembak adiknya.
###