Peluru yang ditembakkan Adiraja menyasar jantung Hana Lutfia. Wanita itu tidak sempat menghindar karena membelakangi si penembak. Adiwangsa menangkap tubuh Hana yang roboh tanpa daya. Melihat wajah Adiwangsa dari dekat, wanita itu tersenyum.
"Zen Adnan, berengsek!" ucap Hana dengan susah payah. Kemudian memuntahkan darah. "Apa... kamu... menyukaiku?" Adiwangsa mengangguk dengan cepat. Kesedihan menumpuk di kelopak matanya. "Apa... kamu... mencintaiku?" Adiwangsa mengangguk lagi.
Hana tersenyum lagi. Senyumnya semakin samar, cahaya matanya meredup, semakin redup, sampai akhirnya matanya terpejam. Terpejam untuk selamanya. Nyawanya telah diputus.
Adiwangsa memekik, menangis, menolak, tidak terima. Ini tidak benar, tidak mungkin. Sekeras apa pun ia memilih untuk tidak mempercayai kenyataan di depannya, sedalam apa pun perasaan kehilangan yang dirasakannya, tidak ada yang bisa dilakukan selain berduka. Ia bukan Sang penguasa hidup, sungguh tak punya daya.
Adiwangsa menatap marah pada adiknya.
"Kakak tidak ingin mendengar penjelasanku?" Adiraja menatap kakaknya dalam-dalam.
Adiwangsa memejamkan matanya dan menumpahkan air mata terakhirnya. Ia membuang muka kemudian, sekali lagi menatap wanita yang ada di pangkuannya. Adiwangsa menyisikan rambut wanita itu agar ia bisa memandangi wajahnya dengan leluasa.
Berbagai kenangan datang silih berganti memenuhi kepala Adiwangsa. Semua tentang Hana Lutfia, tawanya, senyum, suara, cara berjalan, cara menyebut nama Zen Adnan, marahnya, teriakannya, suara sepatunya, semuanya.
Selama ini Adiwangsa tidak pernah menyesali pilihannya. Ia selalu berusaha menguasai perasaan dan menguatkan hatinya. Selama ini ia yakin pilihannya benar meski jalan yang dilaluinya tidak mudah. Kini hatinya meragu, benaknya sibuk mengandai.
Seandainya Adiwangsa tidak menggoda Hana lebih dulu, wanita itu pasti tidak akan terjebak oleh perasaannya. Seandainya ia setuju untuk meninggalkan semuanya, seandainya ia membiarkan Hana di sisinya, sendainya...
Adiwangsa ingin menyesali keputusannya untuk terakhir kalinya. Berandai sekali lagi, seandainya waktu bisa kembali ke saat semuanya baik-baik saja.
"Kita harus segera pergi dari sini." Adiraja mendekat ke arah kakaknya yang masih hanya diam saja.
"Adiraja benar. Kita harus segera meninggalkan tempat ini," Haidee menimpali.
Masih tidak ada sahutan.
Saat Adiraja akan menyentuh bahu kakaknya, Adiwangsa menepis. Ia benar-benar marah.
"Adiwangsa..."
Belum satu kalimat selesai Haidee ucapkan, Zen dan Emi telah menyusul mereka. Tampaknya hambatan-hambatan yang ada di lantai atas telah selesai dibereskan. Zen mengejar langkah Emi dengan susah payah. Menahan berat badannya saja ia terlihat kesakitan.
Emi kembali sebagai Hazima Emi, wanita polos yang terlihat lemah. Kacamata juga kembali melengkapi penampilannya.
"Kamu tidak lupa janjimu, kan Adiwangsa?" Zen mengingatkan.
Adiwangsa tidak menjawab. Ia berdiri membelakangi. Haidee dan Adiraja saling lempar pandangan bertanya-tanya, tidak mengerti. Menemukan keberadaan Mark dengan cepat mustahil jika dilakukan seorang diri. Mendatangi Arata Baswara untuk bekerja sama tanpa perjanjian apa pun mustahil.
Haidee dan Adiraja menatap Zen, menunggu penjelasan.
"Adiwangsa setuju menyerahkan adiknya untuk bekerja sama dengan kepolisian dalam menyelidiki kasus Profesor Rekson." Kali ini Hazima Emi yang angkat bicara.
Arata Baswara benar-benar licik. Ia sama sekali tidak membahas mengenai Haidee dalam perjanjian kerja sama mereka, melainkan Adiraja. Alasannya jelas, selain karena polisi masih melakukan penyelidikan, juga karena Adiraja adalah sosok yang merepotkan.
Mendengar kalimat Emi, tentu saja Adiraja terkejut. Selama ini ia menganggap kakaknya adalah segala-galanya, dunianya. Ia mundur dari tim elite, meninggalkan ibunya, meninggalkan Indonesia, hanya demi kakaknya. Demi membawanya kembali pulang.
"Kak..."
Adiraja tidak bisa begitu saja mempercayai apa yang Emi katakan. Bagaimana mungkin kakaknya menjualnya, bagaimanapun mereka adalah saudara, bagaimanapun ia adalah adik satu-satunya, bagaimanapun mereka keluarga.
Selama Adiwangsa tidak mengatakan apa pun, Adiraja tidak akan percaya. Jika satu kali kata 'tidak' kakaknya katakan, maka ia akan percaya. Tidak akan ragu sedikit pun. Lagi pula ia memegang pistol, mereka masih memiliki keunggulan jika harus bertarung.
"Adiwangsa, kamu tidak ingin mengatakan apa pun?" Haidee juga bertanya-tanya.
Adiwangsa tertunduk sesaat, kemudian berbalik dan menatap adiknya.
Emi yang tidak sabaran mengambil stun gun yang ia sembunyikan di balik blazernya dan menyetrumkannya pada Adiraja. "Maaf, kami tidak punya cukup waktu untuk menunggu."
Adiraja ambruk dan matanya terpejam. Ada air yang tidak sempat tumpah tertampung di sudut matanya. Menghadapi kakaknya yang marah saja sudah membuat ia terluka. Kali ini, Adiraja tidak hanya merasa terluka tapi juga merasa dikhianati. Untuk kedua kalinya kakaknya meninggalkannya.
"Ayo kita pergi!" Adiwangsa berkata pada Haidee.
Haidee tidak bergerak. Ia justru menahan langkah Adiwangsa yang hendak pergi. "Kamu benar-benar berencana meninggalkan adikmu pada mereka?" Haidee berharap mendengar penjelasan. Entah kenapa ia merasa kecewa dengan pilihan Adiwangsa. Bukan tidak ingin mengerti, hanya saja ia mungkin terlalu memandang tinggi pria itu.
"Kenapa? Kamu ingin bertukar posisi?" Adiwangsa menanggapi dengan dingin. "Bukannya sebelum ini dia berencana membunuhmu. Sekarang kamu bersimpati? Mengasihaniku?"
"Adiwangsa!" Haidee menarik kerah baju Adiwangsa.
"Oke," Adiwangsa mengangkat kedua tangannya menyerah "Kalau kamu bisa memukul wanita itu sekali saja, aku akan memikirkan cara lain."
Tanpa berpikir dua kali, Haidee segera setuju. Ketidaktahuan memang berkah, Haidee sangat optimis. Saat ia akan mulai menyerang, Adiwangsa memukul Haidee dari belakang hingga pingsan.
Mencoba berkali-kali pun tidak akan berhasil. Adiwangsa tahu pasti hal itu. Ia tidak ingin membuang-buang waktu.
***
Tempat persembunyian Adiwangsa memang telah terekspos tapi ia tidak mampu memikirkan tempat lain untuk pergi sehingga memutuskan kembali ke tempat yang sama. Adiwangsa terjaga sepanjang malam. Ia duduk di tepi lantai tiga dengan punggung bersandar pada tiang penyangga bangunan. Dingin tak mampu membuatnya beranjak, kantuk tidak mampu mengusirnya.
Fajar pertama tampak di ufuk cakrawala. Biasanya saat menjalankan sebuah misi Adiwangsa bisa tidak tidur berhari-hari. Ini baru hari kedua ia tidak tidur sama sekali, tapi tubuh dan pikirannya benar-benar telah kelelahan. Meski lelah, matanya tetap tidak bisa terpejam. Ia hanya duduk bersandar selama berjam-jam sembari menatap kosong ke arah langit.
Haidee naik, ia ikut duduk di tepi. Haidee membawa dua kotak susu UHT untuk Adiwangsa dan satu kaleng kopi kemasan untuk dirinya sendiri.
"Sudah tidak mengamuk padaku lagi?" Adiwangsa mengambil satu kotak susu yang disodorkan padanya.
Adiwangsa menusuk kotak susu miliknya dan Haidee membuka kaleng minumannya. Mereka melakukan tos sebelum meminum minuman kemasan masing-masing.
"Tentu saja marah, tapi setelah memikirkannya sekali lagi rasanya aku mengerti." Haidee meneguk lagi kopi miliknya. "Seorang Adiwangsa tidak mungkin menjual orangnya sendiri. Semua pasti terjadi karena di luar rencana."
Adiwangsa tersenyum samar "Benarkah?" katanya balik bertanya. Lucu, bagaimana mungkin orang lain mengenalnya sementara ia sendiri tidak lagi mengenali dirinya.
Sebenarnya Adiwangsa menyetujui syarat yang diajukan Arata Baswara hanya untuk formalitas. Tidak mungkin ia menyerahkan adiknya, tapi di sisi lain ia butuh bantuan. Jadi, Adiwangsa tidak akan mengulur waktu dengan melakukan tawar-menawar.
Menyetujui persyaratan Arata hanya akal-akalan. Lagi pula Prof. Rekson benar-benar bunuh diri. Meski Adiraja yang memprovokasi, kejahatannya hanya sebatas provokasi bukan membunuh. Paling tidak hal itulah yang Adiwangsa katakan pada dirinya sendiri untuk membela posisi adiknya dan diam-diam menolak syarat yang Arata ajukan.
Rencananya Adiwangsa akan diam-diam membawa Haidee dan adiknya pergi begitu bantuan dari Arata tiba. Itu sebabnya begitu Hazima Emi datang dan ia mendapat kesempatan, Adiwangsa pergi lebih dulu. Yang terjadi kemudian sesuatu di luar rencana. Kesempatan untuk melarikan diri pun ia lewatkan.
"Nanti aku akan menyelinap ke rumah sakit untuk menjenguk Carl." Haidee mengalihkan pembahasan.
Hongli tidak terselamatkan, jadi paling tidak ia ingin menjenguk Carl. Jika tidak ada kesempatan, melihat dari jauh juga tidak masalah. Carl timnya, meski selama ini ia tidak bisa berbuat banyak, mengunjungi adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan.
Suara srot-srot menandakan isi dalam kotak telah habis. Adiwangsa beralih ke kotak yang lainnya.
"Selain Mark, salah satu dari Carl atau Hongli adalah penghianat yang lain. Kamu tidak merasa terganggu dengan kenyataan itu?" Adiwangsa mengingatkan kecurigaan Mark tentang seseorang yang menjual identitasnya.
Haidee memandang langit yang semakin cerah karena matahari mulai berada semakin tinggi. Tatapannya menerawang jauh.
"Aku tidak tahu siapa salah satu dari mereka. Bisa jadi Carl, bisa jadi juga bukan. Perbandingannya 50:50. Bisa jadi Mark hanya membual." Haidee mengambil jeda untuk menghela napas. "Kalaupun benar salah satu dari mereka adalah pengkhianat, sebelum ini kami adalah tim, teman. Bukankah penghianat itu juga telah mendapatkan balasannya?"
"Wah, sepertinya Haidee yang sekarang sudah lebih pemaaf," goda Adiwangsa. "Sebuah pengkhianatan tetap saja pengkhianatan."
Haidee mengalihkan pandangannya pada Adiwangsa. Pria itu tersenyum sinis. "Harusnya bukan kamu yang merasa dikhianati, tapi adikmu."
"Aku tidak ingin membahas masalah itu." Ekspresi Adiwangsa berubah kesal.
"Kamu bilang tidak ingin bahas, tapi tidak bisa berhenti berpikir," ucap Haidee. Sepanjang yang ia ingat, ini pertama kalinya Haidee ikut campur urusan orang lain meski ia tidak suka. "Kamu sama sekali tidak mau mendengar alasan dari sisi adikmu, kamu pikir itu adil?"
Jika adiknya adalah Adiraja yang dulu ia kenal, Adiwangsa tidak perlu menunggu penjelasan, ia yang akan meminta. Jika adiknya adalah Adiraja yang dulu, Adiwangsa tidak akan meragukannya.
Adiknya yang dulu tidak akan melakukan hal gila. Adiknya yang dulu tidak akan memprovokasi. Adiknya yang dulu tidak akan melakukan hal-hal licik.
Pertama kali mendengar tuduhan-tuduhan Arata Baswara yang ditujukan untuk Adiraja, Adiwangsa tidak percaya. Ia yakin semua itu tidak benar, mustahil. Tapi, yang terjadi selanjutnya semua keyakinan yang Adiwangsa bangun dihempaskan. Adiraja bahkan mengakui semua perbuatannya.
Adiwangsa benar-benar tidak menyangka, tidak ingin percaya. Ia terus bertanya-tanya apa yang terjadi, apa yang salah. Berulang kali mempertanyakan dirinya sendiri, merenungkan segalanya.
"Kalau aku bilang Adiraja melepaskan tembakan untuk menolongku apa kamu akan percaya?" Haidee berkata lagi.
Kening Adiwangsa berkerut. Ia memutar kepalanya teramat perlahan, seperti dalam gerak lambat. "Omong kosong! Bukannya orang yang ingin membunuhmu Adiraja?"
Haidee mengangguk. "Itu benar, seharusnya Adiraja yang membunuhku. Seharusnya dia bekerja sama dengan Hana untuk membunuhku."
"Apa maksudmu?"
"Hana Lutfia, latar belakang wanita itu tidak sesederhana yang kamu pikirkan. Bahkan mungkin dia mendekatimu juga untuk tujuan lain," jelas Haidee.
Kerutan di kening Adiwangsa semakin dalam, alisnya terlihat akan menyatu. Adiwangsa telah menyelidiki latar belakang semua orang yang terlibat dalam proyek Rekayasa Emosi Manusia, termasuk Zen Ogawa yang seorang petugas keamanan yang terlihat biasa-biasa saja.
Adiwangsa tidak memiliki alasan untuk mengorek masa lalu dan latar belakang Hana Lutfia karena wanita itu tidak ada hubungannya dengan lantai zero lab. Riset dan Teknologi.
Tunggu!
Bukankah menjadi mata-mata tidak harus bergabung secara langsung dalam proyek di lantai zero. Asal berada dalam gedung yang sama, mendapatkan informasi hanya tentang mencari kesempatan. Bukankah dirinya sendiri juga berada di unit yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan proyek.
Untuk masuk sebagai tim peneliti atau pun bergabung dengan lantai zero sangat sulit. Rekrutmen anggotanya sangat ketat. Mereka menyelidiki latar belakang para pendaftar secara menyeluruh. Mata-mata lain sebelum Adiwangsa pernah ditugaskan untuk menyusup dalam tim tapi mereka semua gagal dalam seleksi.
"Bukannya kamu pernah bilang sudah berusaha mencari keberadaan wanita itu setelah mengundurkan diri dari lab. tapi keberadaannya sama sekali tidak terendus. Dia ditempatkan di unit yang tidak ada hubungannya dengan proyek Rekayasa Emosi Manusia, tapi begitu proyek itu dihentikan, sama sepertimu dia juga menghilang." Haidee mengingatkan. "Sekali saja, apa kamu pernah meragukannya? Pernah mempertanyakan tujuannya mendekatimu?"
Hongli pernah mengajari Haidee cara mencari informasi pribadi seseorang. Haidee mempraktikkannya dengan menggunakan komputer Adiwangsa. Ia melakukan pencarian singkat mengenai identitas wanita itu. Haidee bukan seorang profesional, jadi informasi yang bisa didapatnya sangat terbatas. Untungnya Haidee mendengar saat seseorang memanggil Hana dengan nama lainnya. Berbekal nama itu, Haidee melakukan pencarian.
"Hana Lutfia nama palsu. Nama sebenarnya Maria Mizuki. Dia memiliki dua kewarganegaraan." Haidee merogoh sakunya dan menyerahkan sebuah kertas yang telah dilipat menjadi empat pada Adiwangsa.
Adiwangsa tidak menjawab. Ia masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, dugaan-dugaannya.
Jadi itu sebabnya Hana Lutfia bisa tahu nama asli Adiwangsa. Karena dia juga mata-mata. Karena kehadirannya juga untuk menyelesaikan misi. Saat itu harusnya ia curiga, harusnya ia mulai menyelidiki Hana.
Jadi, apa semua yang wanita itu katakan adalah sandiwara? Apa perasaan wanita itu juga sebuah kebohongan?
###