Dengan memakai topi, masker, jaket hitam, celana jins gelap, dan sepatu cats, Adiwangsa berjalan dengan langkah cepat. Ia melewati pintu darurat, turun, dan berjalan terus sampai ke basemen yang digunakan sebagai lahan parkir.
Sampai di depan pintu, Adiwangsa menurunkan topinya, berjalan merapat di dinding, kemudian berjongkok di tempat yang tidak dapat dijangkau CCTV.
Adiwangsa mengeluarkan laptop dari ranselnya. Seperti biasa, ia harus mengamankan CCTV lebih dulu agar keamanannya bisa terjamin saat menjalankan tugas. Adiwangsa mengatur waktu 30 menit. Ia akan menyelesaikan tugasnya dalam 30 menit. Jika terlalu lama, bisa-bisa keamanan yang mengawasi ruang CCTV bisa curiga.
Tempat di mana saat ini Adiwangsa berada adalah sebuah gedung penyiaran terbesar nasional. Adiwangsa tidak sedang suting iklan atau cast film baru yang akan digarap. Ia sedang bersiap untuk mengacau, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.
Orang yang telah Adiwangsa tunggu-tunggu akhirnya terlihat juga. Moissani Sekai. Ia berjalan bersama seorang asisten dan diekori oleh dua pengawal berjas hitam.
Jadi menurut rencana, Adiwangsa akan menculik Moissani Sekai. Sebelum pembagian tugas selesai dibahas, perundingan yang terjadi cukup alot. Awalnya Adiwangsa akan dipasangkan dengan Carl, tapi Adiwangsa menegaskan kalau ia hanya pergi untuk menculik bukan membunuh jadi tidak perlu membawa seorang penembak jitu.
Muncullah opsi kedua, Adiwangsa pergi dengan Mark. Karena mereka pasti akan berhadapan dengan pengawal-pengawal Moissani Sekai, jelas kehadiran Mark akan sangat membantu. Sekali lagi Adiwangsa menolak. Ia memiliki rencana yang lebih praktis. Tidak perlu membuang-buang tenaga dengan berkelahi dan membuat kehebohan yang bisa menarik perhatian. Adiwangsa berjanji akan menyelesaikan tugasnya dengan cepat dan tenang.
Adiwangsa begitu sesumbar, yakin semua hal akan berjalan sesuai rencananya.
Setelah berhasil menculik Moissani Sekai, rencana selanjutnya adalah membawa pria tengah baya itu ke gudang yang sudah Haidee persiapkan untuk menyekap.
Garis besar rencananya adalah mengadu domba Moissani Sekai dan Arata Baswara. Sebagai penculik, Adiwangsa dan yang lainnya akan berpura-pura menjadi pesuruh Arata. Adiwangsa akan menginterogasi dan berpura-pura mengetahui seluk-beluk Abraham Eleven dan mengancam bahwa ia telah mengetahui bahwa orang di balik mata-mata itu adalah Moissani Sekai, bahwa kecurangan yang dilakukan memberi keuntungan padanya.
Adiwangsa akan memancing secara perlahan sampai Moissani menceritakan semua yang diketahuinya.
Sekali dayung dua pulau terlampaui. Rencana yang sempurna.
Tempat parkir sepi, CCTV juga telah disabotase. Adiwangsa keluar dari tempat persembunyiannya. Ia sudah menyiapkan asap bius dan hanya perlu melemparnya. Langkah Adiwangsa semakin cepat, semakin dekat dengan targetnya tapi mendadak suara langkah orang lain terdengar. Terpaksa Adiwangsa berbalik dan kembali ke tempat persembunyiannya.
"Sial!" umpatnya.
Setelah yakin tidak ada penganggu lagi, Adiwangsa melanjutkan aksinya. Targetnya telah masuk ke dalam mobil dan mesin mobil telah dinyalakan. Adiwangsa mengetuk. Begitu kaca mobil diturunkan, tanpa aba-aba ia melempar bom asap ke dalam mobil.
Bom asap yang Adiwangsa gunakan adalah hasil modifikasi Carl dan Hongli yang ikut membantu. Bom asap mereka tidak bekerja berdasarkan seberapa lama atau sebanyak apa asap bius terhirup. Sedikit atau banyak asap bius yang terhirup sama-sama akan melumpuhkan. Bedanya, semakin banyak terhirup akan semakin lama korbannya tidak sadarkan diri.
Saat terhirup, bom asap yang mengandung obat bius akan meninggalkan rasa pahit di lidah. Saat rasa pahit dikecap, saat itulah obat biusnya bereaksi dalam tubuh, menyebabkan pusing, dan tumbang.
Tidak lama setelah Adiwangsa melemparkan bom asap ke dalam mobil, orang-orang yang berada di dalamnya terbatuk-batuk, dan berhambur ke luar dari mobil. Sebelum sempat melakukan serangan balasan, mereka jatuh pingsan.
Ketika sedang mengikat Moissani Sekai, sesuatu yang lain, yang sama sekali tidak diperkirakan terjadi.
Harusnya memang tidak mudah menjatuhkan dan menculik seorang pensiunan militer. Nyatanya memang tidak semudah yang ia pikirkan. Saat Adiwangsa berpikir semua berjalan lancar, saat itu ia melihat orang-orang yang mengenakan seragam sama mulai mengepungnya.
Moissani Sekai diam-diam memiliki backup pengamanan.
Adiwangsa menghela napas. Tampaknya sebelum ini ia terlalu berkepala besar, merasa tidak membutuhkan bantuan orang lain, dan semua hal akan berjalan sesuai naskah yang ia inginkan. Meski Adiwangsa menunggu, tidak akan ada yang datang untuk membantunya karena sejak awal ia sendiri yang bersikeras untuk menyelesaikan proses penculikan seorang diri.
Oke, situasi di luar prediksi dan pekerjaannya jadi bertambah. Menyelesaikan dengan tenang dan diam-diam tidak mungkin lagi dilakukan. Yang harus ia hadapi memang harus dihadapi.
Jumlah pengepung Adiwangsa ada 6 orang. Tampaknya mereka disewa dari sebuah perusahaan keamanan. Selain mengenakan seragam yang sama, mereka juga sama-sama mengenakan masker.
Dari 6 orang, ada satu orang wanita yang memakai sepatu merah tinggi, rambutnya yang kecokelatan diikat tinggi. Meski mengenakan masker dan hanya terlihat matanya saja, Adiwangsa merasa sosok wanita itu tidak asing.
Wanita itu pun sama, ia menatap Adiwangsa lekat.
Tidak ada banyak waktu. Kalau Adiwangsa tidak segera menyelesaikan bagian ini, CCTV akan kembali normal dan bisa-bisa keamanan gedung datang dan ikut mengeroyoknya.
Adiwangsa menarik tongkat tempur andalannya, perkelahian pun terjadi.
Melawan 6 orang sekaligus yang sudah terlatih dan profesional karena berasal dari sebuah perusahaan keamanan bukanlah perkara mudah. Ia bukan Jackie Chan yang punya banyak trik dan ahli bela diri. Sejujurnya ia menguasai beberapa, tapi belum sampai ke tahap ahli.
Berada di situasi terdesak dan dikeroyok bukanlah hal baru. Ini bukan pengalaman pertama, tapi waktunya yang mendesak tiba-tiba membuatnya berpikir untuk mulai mengakrabkan diri dengan Mark. Ia bisa belajar menjadi seorang ahli bela diri dari Mark.
Ketika masih sibuk mengebuk, menendang, dan menghindari serangan lawannya, masker yang menutupi wajah Adiwangsa ditarik. Pelakunya adalah wanita itu. Wanita itu masuk dalam pertempuran dan secara tiba-tiba menyambar dan menarik paksa masker yang Adiwangsa kenakan.
"Zen Adnan, ternyata memang benar kamu!"
Adiwangsa gelagapan ketika maskernya telah berpindah tangan dan dijatuhkan ke lantai. Ia berusaha menutupi wajahnya dengan segala cara tapi wanita itu sudah telanjur melihat wajahnya.
Wanita itu juga membuka maskernya dan tepat seperti dugaan Adiwangsa, Hana Lutfia. Wanita itu terlihat keren dengan seragam keamanan yang membalut tubuhnya. Rambutnya berayun dan ia telah memasang kuda-kuda siap tarung.
Adiwangsa terkesiap, hatinya bergejolak. Rindu dalam dadanya terasa meluruh. Penampilan Hana terlihat keren, hanya sepatu yang ia kenakan yang tidak terlihat sesuai dengan penampilannya. Tidak masalah. Sepatu yang dikenakan Hana hari ini menandakan wanita itu masih Hana yang sama dengan tiga tahun lalu. Hana yang sama meski sekarang ia muncul menjadi sosok yang berbeda.
Adiwangsa tersenyum dengan tulus, tanpa trik apa pun. Senyum termanis dengan semua karisma yang ia miliki. Berharap pertemuan kali ini bisa membuat hati Hana luluh dan tidak lagi begitu membencinya.
Tunggu! Tersenyum untuk meluluhkan hati masih termasuk ke dalam trik. Trik yang licik, berpura-pura terlihat tulus.
"Kalian bisa mengamankan klien. Bagian ini biar aku yang selesaikan. Aku mengenal si Berengsek ini dan akan membuat perhitungan dengannya!" Hana mengomando. Kelima pria yang datang bersamanya menurut tanpa mempertanyakan apa pun.
Tidak hanya muncul dengan penampilan yang memukau, Hana Lutfia pun memiliki hak untuk memberi perintah. Wah! Apa lagi yang lebih menakutkan di dunia ini dari seorang wanita cantik yang sedang marah.
Setelah rekan-rekan Hana membawa klien yang mereka lindungi pergi, Hana menyerang Adiwangsa. Kakinya yang panjang dan jenjang terus-menerus melancarkan tendangan. Hana tidak memberi kesempatan Adiwangsa untuk balik menyerang. Bukannya Adiwangsa tidak memiliki kesempatan, ia hanya tidak ingin menyerang balik. Memukul perempuan adalah pantangan terbesar dalam hidupnya.
"Benar-benar tidak ingin membalas?" Hana yang telah paham situasinya bertanya.
"Memukul wanita artinya menyakiti ibuku sendiri. Mana mungkin aku mau durhaka."
"Menganggap aku seperti ibumu? Apa aku terlihat setua itu?!" Hana yang tidak terima dengan jawaban Adiwangsa semakin marah. Ia kembali menyerang dengan murka.
Menjadi laki-laki yang selalu salah tampaknya Adiwangsa telah mengerti bagaimana rasanya. Bagaimana pun ia menjawab Hana tetap tidak akan menyukainya. Bagaimana pun ia membela diri Hana tetap tidak ingin mendengarnya.
Hanya menghindar saat diserang tidak akan menyelesaikan apa pun. Ia hanya akan menghabiskan banyak waktu. Adiwangsa mulai memikirkan cara untuk membebaskan diri.
Tali!
Tali yang rencananya akan ia gunakan untuk mengikat Moissani Sekai dilemparkan begitu saja oleh rekan Hana saat mobil melaju pergi. Adiwangsa melihat benda itu sebagai sebuah harapan. Ia telah menemukan sebuah cara.
"Merindukanku?" Hana menjinakkan emosinya. Ia berbicara dengan nada bicara tanpa kemarahan.
Sebelah alis Adiwangsa naik. Fokus yang teralihkan membuatnya lengah. Untungnya ujung heels Hana hanya mengenai punggung tangannya. Goresan luka membuat tangan Adiwangsa mengeluarkan darah.
Terlihat tatapan bersalah karena telah melukai Adiwangsa, tapi Hana mengeraskan hati untuk tidak terlihat lemah. Ia memasang ekspresi angkuh nan kejam. Hana masih menunggu, Adiwangsa belum menjawab pertanyaannya.
"Tentu saja!" Adiwangsa mengangguk mantap. "Bukankah sudah pernah kubilang, aku mengejarmu..."
"Jawabanmu masih terdengar brengsek, Zen! Aku tidak percaya!"
Hana kembali menyerang. Ia berputar, melompat. Serangannya semakin cepat, tenaganya semakin kuat. Bagian yang harus Adiwangsa waspadai adalah ujung heelsnya. Jika sekali saja wajahnya tersabet, ketampanannya jelas akan berkurang dalam jumlah banyak. Bukan hanya bagi kaum wanita, untuk dirinya pribadi wajah adalah investasi paling berharga.
Adiwangsa telah berhasil mengambil tali yang ada di lantai. Ketika ia melirik jam tangannya, waktu yang tersisa hanya lima menit lagi. Tidak ada waktu lagi. Ia harus bertindak tega.
"Aku sudah berusaha keras mengimbangimu sampai sejauh ini. Apa aku masih tidak pantas?"
Kalimat Hana membuat Adiwangsa ragu. Seandainya ia hidup dalam novel romantis alangkah bahagianya. Ia tidak perlu mengalami terlalu banyak dilema dan tidak perlu menahan diri. Mereka bisa melarikan diri dari urusan pelik yang tidak pernah berakhir dan hidup damai berdua saja. Mungkin tinggal di ujung dunia, atau pindah ke planet lain. Asal bukan di bumi, asal mereka bisa tenang dan baik-baik saja.
"Maaf tapi aku punya tanggung jawab yang harus kuselesaikan."
"Apa aku tidak bisa menunggumu?" Hana melakukan tawar-menawar.
"Akan sangat tidak adil untukmu, Hana."
"Adiwangsa, harus berapa kali kukatakan AKU TIDAK PEDULI!" Untuk pertama kalinya Hana menyebut Adiwangsa dengan nama aslinya. Mereka saling bertukar pandangan. Berharap waktu bisa berhenti saat ini juga.
"Hana maaf, aku tidak punya banyak waktu."
Adiwangsa bergerak ke arah Hana seperti hendak menyerang. Hana menghindar dan balik menyerang. Saat Hana menyerang itulah Adiwangsa menggunakan tali yang ada di tangannya dan melilitkannya ke tubuh Hana, dan berputar. Saat Hana jatuh karena tubuhnya menjadi tidak seimbang, Adiwangsa mengeratkan ikatan dan membuat simpul.
Hana jatuh terduduk dengan ekspresi kesal, marah, murka, dan sejenisnya. Bokongnya terasa sakit dan sekali lagi ia harus menerima kenyataan bahwa ia kalah dari Adiwangsa.
"Hari ini kamu sudah bekerja keras. Sangat manis." Adiwangsa tersenyum, mengacak-acak rambut Hana, mengambil tas yang ia sembunyikan, kemudian berlari pergi.
"Zen Adnan, kamu berengsek! Super brengsek!" pekik Hana.
Selama ini bukannya Adiwangsa tidak pernah ingin melihat Hana. Ia ingin, juga telah mencarinya, tapi tidak ia temukan Hana Lutfia di mana pun. Hana mengundurkan diri dari lab. kemudian menghilang entah ke mana. Adiwangsa tidak bisa menemukan jejaknya lagi sampai hari ini. Wanita itu muncul di hadapannya dan membuatnya terkagum-kagum. Melihat perubahannya, kemampuannya, dan kecantikannya yang tidak berubah.
Adiwangsa terus berlari. Sampa di persimpangan dekat jalan keluar, seseorang berdiri menghalangi langkahnya. Wanita yang lain lagi, yang lebih mengerikan.
###