webnovel

#Hazima_Emi #034

Wanita ini sangat mengerikan. Adiwangsa sangat yakin karena telah melakukan penyelidikan mengenai latar belakangnya. Tubuhnya yang mungil memang tidak menampakkan kepribadiannya yang mengerikan. Tentu saja. Wanita itu harus mengimbangi di samping siapa ia berada. Jika tidak disamarkan, para reporter pasti akan menyebarkan banyak gosip.

Wanita itu adalah Hazima Emi. Ia berdiri di depan Adiwangsa, menghalangi jalannya. Diperhatikan dengan lekat tidak ada aura bertarung yang terlihat, harusnya bukan masalah besar. Harusnya akan baik-baik saja dan Adiwangsa bisa pergi dengan aman.

"Bosku ingin bertemu denganmu." Suara Emi lembut. Sama sekali tidak menyimpan kesan ancaman yang menakutkan. Ia memperbaiki letak kaca matanya.

"Kalau aku menolak?"

Perlahan tatapan wanita itu menjadi tajam, dipenuhi dengan tekad, dan seringai menakutkan. Auranya sebagai wanita bertubuh mungil yang lemah lenyap tak bersisa, tergantikan oleh kegelapan yang mengerikan.

"Entah itu harus memutus tangan dan kakimu, atau membuatmu lumpuh, aku tetap akan membawamu dengan paksa."

Adiwangsa terintimidasi. Mendengar kalimat itu saja membuat tubuhnya merinding. Bukan semata-mata karena kalimatnya, tapi siapa orang yang mengatakan kalimat itu. Membayangkan mengenai sendi-sendinya yang putus dan tubuhnya perlahan menjadi lemah tak berdaya, memenuhi benaknya. Adiwangsa bergidik, kemudian menggeleng kuat-kuat untuk mengusir pikiran mengerikan itu jauh-jauh.

Tidak ada pilihan lain karena Adiwangsa memang tidak diberi pilihan. Tidak masalah, lagi pula ia juga tertarik untuk mengetahui apa yang ingin mantan menteri itu bicarakan dengannya. Barangkali ia bisa mendapatkan informasi penting.

Adiwangsa mengikuti langkah Hazima Emi.

"Bukankah kamu membenci orang itu? Kenapa tidak bergabung dengan kami dan menghancurkannya?"

Adiwangsa tidak benar-benar berencana membangun sekutu dengan Hazima Emi, tapi berdiri di pihak yang sama dengan seseorang yang berbahaya jauh lebih baik dibanding menjadikannya musuh.

Hazima Emi tidak menghentikan langkah, atau memperlambat gerakan kakinya tapi bukan berarti ia sama sekali tidak terpengaruh kalimat Adiwangsa. Terlihat dengan jelas bagaimana tangan Emi mengepal.

"Arata Baswara adalah milikku. Yang berhak menjatuhkan dan membunuhnya hanya aku!" katanya dingin.

Oke, jawaban yang diberikan sudah sangat jelas. Tidak ada lagi kesempatan untuk menjadi sekutu. Bahkan meski mereka memiliki tujuan yang sama, sangat tidak mungkin untuk berdiri di sisi yang sama.

***

Dua puluh dua tahun lalu, kehadiran Hazima Emi sama sekali di luar rencana.

Ayah Emi adalah seorang tuan muda kaya raya dan dari keluarga terhormat. Ia akan segera lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas ketika melakukan pemberontakan dengan kabur dari rumah.

Ayah Emi tidak memiliki banyak teman. Kegiatannya sehari-hari hanya sekolah dan kursus. Tidak memiliki teman yang bisa membantunya setelah kabur dari rumah, yang dilakukannya hanya menghabiskan waktu dengan berkeliaran di jalan.

Saat berjalan tanpa tujuan, ia melihat teman sekolahnya berkumpul bersama teman-teman dari sekolah lain. Mereka berkumpul di pinggir jalan. Beberapa ada yang merokok, ada yang mengganggu pengguna jalan yang lewat, sisanya hanya sibuk bermain dengan ponselnya.

Awalnya ayah Emi menolak saat dipanggil untuk bergabung. Teman satu sekolahnya itu sering bermasalah. Merokok, berkelahi, bahkan tahun lalu tidak naik kelas. Dilihat sekilas saja, teman-teman sepergaulannya adalah tipe yang sama. Salah satu dari mereka bahkan berwajah pucat dan memiliki mata seperti orang mengantuk. Ayah Emi curiga anak itu baru saja memakai narkoba.

Di sekolah, ayah Emi bergaul dengan banyak orang meski tidak mengakrabi mereka semua. Saat di luar sekolah, biasanya ia lebih membatasi diri dan lebih pemilih dalam berteman. Orang tuanya begitu pengatur dan tidak suka anaknya dekat dengan anak-anak pembuat masalah, apa lagi yang tidak jelas latar belakangnya.

Hari itu berbeda. Karena ia dalam misi kabur dari rumah, melakukan apa yang tidak disuka orang tuanya terasa akan lebih menyenangkan.

Teman ayah Emi, anak yang mengajaknya bergabung, mengusulkan agar mereka pindah ke tempat karaoke. Di antara mereka ada tuan muda kaya raya, jadi masalah bayaran tidak akan ada masalah.

Semua orang setuju, ayah Emi juga. Pergi ke tempat karaoke lebih baik dibanding berkumpul tidak jelas di pinggir jalan. Mereka semua berjumlah 8 orang, 2 orang perempuan yang salah satunya adalah ibu Emi. Mereka beralih ke tempat yang sudah disepakati.

Semua orang terlihat bersenang-senang. Mereka memesan apa pun, bernyanyi, dan tertawa. Meski mereka semua sebaya, yang paling tua memiliki usia hanya berbeda satu tahun, ayah Emi merasa dirinya tidak cocok bergabung dengan mereka. Ia tidak mengerti dengan pembahasan yang mereka bicarakan, lebih sering membicarakan hal-hal dewasa, bercanda dengan kata-kata vulgar dan kasar.

Ayah Emi akan pergi ketika salah satu dari mereka menegur dan mengajaknya berbicara dengan normal. Ibu Emi. Gadis itu baru saja dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi. Ibunya belum diberitahu mengenai situasinya, entah akan dipukul atau diusir dari rumah jika tahu. Ia tidak berani pulang, tidak ingin dipukul.

Merasa cocok satu sama lain, merasa sama-sama butuh teman berbagi cerita, mereka saling berbicara panjang-lebar, saling mendengarkan. Mereka saling mengeluarkan keluh kesah, saling memaki orang tua masing-masing, kemudian tertawa. Mereka pun sepakat kabur bersama.

Mereka benar-benar tidak pulang ke rumah sampai dua hari. Berjalan-jalan mengelilingi kota tanpa tujuan jelas, kemudian mencari tempat tidur seadanya. Di hari ketiga, orang tua ayah Emi menemukannya dan memaksanya pulang.

Setelah perpisahan hari itu, semua kembali seperti semula. Kembali ke kehidupan dan ke seharian masing-masing. Tidak pernah lagi bertemu atau saling menghubungi untuk menanyakan kabar. Mereka bahkan tidak menyimpan nomor ponsel satu sama lain. Ayah Emi sibuk mempersiapkan ujian, sementara ibu Emi setelah putus sekolah memilih mencari pekerjaan. Kehidupan berjalan seperti mereka tidak pernah saling mengenal satu sama lain, seperti tidak pernah ada yang terjadi.

Satu bulan kemudian, orang tua ibu Emi membuat kehebohan. Ibu Emi hamil dan orang tuanya datang untuk meminta pertanggungjawaban. Orang tua ayah Emi jelas tidak percaya, terkejut. Tidak menyangka anak semata wayang mereka akan membuat masalah yang begitu serius.

Orang tua Ayah Emi menolak kebenaran yang disampaikan pada mereka. Anak mereka masih terlalu muda, masih harus lulus, pergi ke Universitas, dan mulai berkarier. Masa depan masih begitu panjang. Jadi, menikah di usia yang begitu belia adalah tidak mungkin. Tidak akan!

Selain alasan itu, ibu Emi adalah seorang anak yang bermasalah. Rambutnya dicat berwarna-warni, penampilannya sembarangan, dan sama sekali tidak tahu sopan santun. Banyak gosip yang menyebar di antara teman-temannya, bahwa ia suka jalan dengan om-om, bahwa ia suka memeras uang. Terlebih telah dikeluarkan dari sekolah. Sama sekali tidak ada yang bisa dibanggakan, tidak mungkin menjadi besan.

Masalah anak pun menjadi perang antar orang tua. Orang tua ibu Emi mencari dukungan ke mana-mana, menuntut pertanggungjawaban, dan permintaan maaf. Membuat masalah semakin bertambah besar.

Pada akhirnya aib yang seharusnya hanya diketahui kedua keluarga, menjadi pembahasan seluruh negeri. Kemudian yang menerima dampak paling parah adalah anak-anak mereka.

Menjadi pihak yang dipersalahkan, tentu saja orang tua ayah Emi keberatan, tidak terima. Mereka memutar balik tuduhan dengan mengatakan kalau ibu Emi yang menghasut anaknya untuk kabur dari rumah.

Jika ingin melawan seseorang yang memiliki kedudukan, paling tidak harus memiliki pangkat atau uang yang banyak. Jika bukan salah satunya, hanya dari keluarga yang biasa saja dan ekonomi biasa-biasa saja, maka bersiaplah menjadi pihak yang kalah dan dipermalukan.

Keluarga ibu Emi benar-benar menjadi pihak yang kalah, yang menanggung malu. Ibu Emi sebagai remaja bermasalah dengan pergaulan terlalu bebas, menjadi stigma negatif di masyarakat. Keberadaannya terus-menerus dibicarakan. Ayahnya dicibir karena hobi berjudi dan malas bekerja. Ibu yang suka mendidik dengan menggunakan kekerasan pun dipandang rendah. Tidak ada lagi yang mendukung keluarga itu dan membenarkan caranya. Bahkan kehamilan ibu Emi hanya dianggap mencari sensasi dan cara mendapatkan uang dengan mudah.

Keluarga ibu Emi semakin tidak terdengar kabarnya dan akhirnya menghilang.

Belasan tahun kemudian, ketika ayah Emi tertarik untuk mengetahui keberadaannya dan ibunya, Hazima Emi telah berakhir di sebuah tempat yang sangat tidak manusiawi dan tidak layak untuk ditinggali manusia.

Tempat Emi tumbuh adalah sebuah tempat petarung liar bawah tanah. Liar dalam artian yang sesungguhnya. Di mana yang kuat adalah pemenang, dan yang kalah selain tidak diberi makan, dibiarkan babak belur hingga bertemu ajal dengan sendirinya. Jika bisa bertahan hidup, maka akan melalui hal yang sama seperti sebelumnya kemudian kembali menjadi sekarat. Jika mati, tidak akan ada yang rugi, tidak akan ada yang berduka, tetap dibiarkan begitu saja layaknya bangkai tikus.

Tempat mengerikan itu dikelola oleh seorang mafia. Pertarung yang berlangsung akan disiarkan melalui sebuah situs dark web. Orang-orang gila, amoral, dari yang sekadar iseng dan akhirnya menjadi ketergantungan adalah penonton setianya. Beberapa orang dengan pangkat-pangkat tinggi di seluruh dunia pernah ikut bergabung, bahkan ada yang menjadi pelanggan tetap. Mereka memasang taruhan dalam jumlah besar, mengundi keberuntungan melalui kemalangan orang lain.

Hazima Emi dijual ke tempat mengerikan itu di usia yang masih teramat belia. Ia tidak hanya harus melawan tikus-tikus kelaparan, hewan liar, ia juga harus melawan pria dewasa yang telah kehilangan kewarasannya. Berkali-kali. Sekarat berulang kali. Nahasnya ia memiliki kemampuan pulih dan bertahan hidup yang sangat kuat. Membuatnya harus melalui penderitaan dan kesakitan yang panjang.

Dongeng tentang Cinderella dengan sepatu kacanya, putri salju dengan gaun cantiknya, Rapunzel dengan rambut indahnya, tentang pangeran-pangeran gagah berkuda putih, bagi Emi hal-hal seperti itu ada di dunia lain yang tidak akan pernah bisa ia bayangkan. Kehidupan nyaman, perut yang penuh saat tidur, ia hanya bisa mendapatkannya setelah mengalahkan atau membunuh lawannya. Sama sekali tidak ada hari tenang, tidak ada perasaan aman.

Tidak ada yang tahu kalau Hazima Emi adalah perempuan. Si penjual tidak ingin anak itu dibeli dengan harga murah sehingga menyembunyikan identitasnya.

Sebelum memutuskan untuk melahirkan Emi, orang tua ibu Emi menentangnya. Anak itu hanya akan menjadi aib dan menyusahkan. Ibu Emi bersikeras. Ia tahu rasanya menjadi anak yang tidak diinginkan sehingga tidak ingin anaknya merasakan hal yang sama.

Begitu melahirkan, merawat, membesarkan, menjadi seorang ibu ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Biaya perawatan, pendidikan, kesehatan, biaya hidup yang dibutuhkan semakin membengkak. Tanpa ijazah, tanpa kemampuan khusus, tidak mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang mencukupi.

Di usia 3 tahun, Hazima Emi dijual orang tuanya. Saat berusia 5 tahun, ia dijual lagi agar harganya naik, dan dijual sekali lagi saat usianya bertambah, kemudian berakhirlah Emi di dunia yang seperti neraka.

Bahkan melihat seorang anak berjuang untuk hidupnya, tidak membuat hati penonton merasa iba. Mereka tetap tertawa, tetap memasang taruhan, tetap merasa antusias. Mungkin hati hanya hiasan yang ditanamkan dalam tubuh mereka. Melihat Emi menangis, ketakutan, berteriak, kesakitan, tidak ada yang meluluh, tidak ada yang memberi uluran tangan.

Ayah Emi menemukan anaknya saat sebagian dari diri Emi tidak lagi seperti manusia. Hazima Emi tidak bisa didekati, akan marah saat disentuh. Ia akan menyerang dengan liar orang-orang yang membuatnya tidak aman. Ada tiga anak yang seusia dengannya. Beberapa orang yang bertahan hidup telah tumbuh dewasa dan bertarung dengan gila.

Ayah Emi bekerja sama dengan pemerintah terkait berusaha keras membongkar tempat itu. Saat diselidiki, perputaran uang yang ada di sana sangat besar dan kejahatan yang melibatkan tempat itu juga sangat serius. Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya pembersihan secara total selesai.

Sangat tidak mudah membuat Hazima Emi kembali menjadi manusia, terlebih menjadi seorang wanita. Hazima Emi akan menyerang siapa pun. Menggigit dengan giginya, meninju dengan tangan kecilnya, juga menendang dengan kaki kurusnya. Meski tubuhnya kurus dan kecil, tenaga yang dikeluarkan tidak main-main. Kalkulasi dari semua rasa sakit dan perjuangan untuk hidup.

"Aku adalah ayahmu. Bukankah kamu harusnya membunuhku karena membuat takdir yang mengerikan untuk hidupmu? Bukannya kamu harus bertahan untuk melihatku hancur?"

Hazima Emi menyerang ayahnya tapi tidak sampai membunuhnya. Mungkin karena pria itu tidak melawan atau karena ia telah diperlakukan dengan baik beberapa hari ini, atau mungkin... masih ada ikatan ayah dan anak yang tertinggal.

"Apa kamu pernah mencintai ibuku?" Emi mengingat satu-satunya hal yang pernah ibunya pertanyakan pada dirinya sendiri sesaat sebelum ia menjual anaknya. Padahal harusnya Emi lupa. Usianya baru tiga tahun ketika itu.

Ayahnya menggeleng. Ia tidak percaya ada cinta yang bisa tumbuh dalam waktu dua hari, antara dua orang asing, antara dua orang dengan dunia yang sepenuhnya berbeda. Yang mereka lakukan saat itu adalah kesalahan, kekhilafan.

Ayah Emi berkata dengan tegas kalau ia tidak akan mengakui Emi sebagai darah dagingnya, tidak akan memasukkannya dalam daftar keluarga. Nama baik keluarga adalah yang terpenting. Ia bertekad tidak akan merusak dan membuat malu orang tuanya.

"Jadi bencilah aku sesukamu. Aku tidak akan meminta maaf atau menyesal. Ini adalah keputusanku."

Hazima Emi bisa belajar dengan cepat. Ia memiliki otak dan cara berpikir yang berbeda dari semua orang. Tiga tahun penuh ia belajar menjadi manusia, menjadi seorang wanita, mempelajari banyak hal. Ia mengikuti homeschooling dan masuk program akselerasi berkat pemahamannya yang cepat.

Ketika telah menjadi asisten ayahnya, Hazima Emi menemukan ibunya yang kini tinggal di sebuah pusat rehabilitasi penyembuhan bagi pecandu alkohol. Kecanduan ibu Emi sudah sampai tahap serius. Emi datang, tapi tidak berani menemuinya. Hanya melihat dari kejauhan.

###

Chapitre suivant