Jadi, awalnya aku dan dia tak saling kenal. Sama sekali aku tak tahu siapa namanya dan dari kelas berapa dia. Aku sih tak begitu peduli, karena aku sedang pedekate dengan sahabatnya. Terus, tepat seminggu setelah hari raya -momen yang pas untuk silaturahmi- datanglah si dia ke rumah. Aku kira cuma main biasa, ternyata.. Deg! Di tembak dong aku. Dia minta, aku mau gak jadi pacarnya. Coba pikir. Kita seperti air dan api. Karakter kita sangat berlawanan. Gak ada mirip-mirip apa gitu. Dan lagi poinnya, dia nikung aku dari sahabatnya sendiri. Haha.. Baik, aku terima. Sekarang aku resmi jadi pacarnya -si kakak kelas asing. Dari situ, perjalanan kami dimulai. *** Masih kepo tapi pusing lihat chapter yang puluhan? BACA INI DULU di Vol. 0 makanya.. ***
Perkenalkan, namaku Mikaila. Tapi singkatnya, aku dipanggil Mika. Statusku kini, sebagai siswa di salah satu sekolah menengah atas di kota Amerta. Aku dan ketiga sahabatku melanjutkan petualangan bersama di sekolah baru kami. Tahun 2004 ini menjadi tahun kelima bagi persahabatan kami. Suka duka kami lalui bersama, dan di sekolah ini, kisah yang lebih menantang, menanti untuk ku hadapi.
Pertengahan semester ganjil, sekitar bulan September, di kelas 2 SMA. Aku dan sahabatku, June, berjalan santai menuju kantin. Menuruni tangga, membiarkan teman-teman lain berlarian mendahului kami. Sesampainya di bawah, bersamaan kami menoleh ke arah kiri. Sepintas lalu. Karena kami tahu, seperti hari-hari sebelumnya, di situlah tempat genk kakak kelas duduk bergerombol, di bangku panjang dekat parkiran motor.
"Malesnyaa... bahas apaan sih mereka itu."
June berujar sambil membuang muka. Aku mengangkat bahuku. Aku tidak peduli apa yang mereka lakukan, selama mereka tidak mengusikku. Tak kulihat ada genk lain yang seramai itu ketika sedang bersama. Aku justru merasa senang melihat kekompakan dan keseruan canda gurau mereka.
Di kantin aku berpapasan dengan mereka lagi, gerombolan kakak kelas yang selalu membuat June menggumam tidak jelas. Menurut June, tingkah mereka sangat absurd, suka prank, seragamnya gak pernah rapi, bergerombol, rambut acak-acakan, dan June yakin, mereka itu salah masuk sekolah disini. Satu lagi, mereka suka berkelahi jika ada siswa lain yang menantang atau menentang salah satu dari mereka.
***
•SMA Negeri 1 Kota Amerta atau umumnya disebut Smasa Amerta
•Best of the best school
•Sekolah favorit
•Sekolahnya anak-anak pintar dan berprestasi
•Area sekolah yang cukup luas, namun memiliki banyak sudut indah dengan taman bunga dimana-mana
•Ruang laboratorium fisika dan kimia terlengkap dibanding high school lain di kota ini
•Ruang ibadah yang luas dan megah
•Guru-guru ramah yang siap kapanpun untuk berdiskusi dengan siswanya
•Ekstra kurikuler disini tidak main-main, karena selalu meraih penghargaan dan menang lomba yang menjadikan lemari penuh piala berderet di sepanjang ruang guru dan ruang kepsek
•Area sekolah berbentuk persegi, namun hanya sisi selatan yang memiliki 2 lantai. Sisanya beratap genteng dengan cungkup ala bangunan Belanda. Bisa dibayangkan betapa etniknya rupa sekolah ini dan tentunya sangat luas.
***
Tahun 2003 lalu, aku berkesempatan mendaftar di Smasa Amerta karena teman-teman SMP ku juga mendaftar di sini, dan kita semua diterima. Nilai plus-nya lagi, kita berempat, Aku, June, Al, Yohan, sekelas. Haha... Puji Syukur, Ya Tuhan.
Beranjak tahun kedua di Smasa Amerta, aku memilih fokus mengikuti ekskul Paskibra. Sejak SMP memang aku ditunjuk sebagai pengibar bendera tiap upacara sekolah karena postur tubuhku yang tinggi dan lumayan tegap. Hingga puncaknya aku terpilih untuk menjadi calon Paskibraka Kota Amerta yang kedua kalinya. Jika aku lolos di tahun kedua ini, aku akan melanjutkan seleksi ke tingkat provinsi. Cita-cita yang sama dengan Al dan Yohan. Kita bertiga rajin latihan tiap akhir pekan di lapangan sekolah.
Uniknya, karena telah terlibat chemistry yang mendalam, kami bertiga sudah sangat hafal gerakan demi gerakan dan secara otodidak kami menyusun formasi yang unik tiap upacara hari besar negara. Sebenarnya tiap pekan telah ditentukan giliran masing-masing kelas sebagai pengibar bendera sesuai urutan, mulai dari kelas 1-1 hingga kelas 1-5 berlanjut kelas 2-1 hingga kelas 2-5. Namun ada kalanya jika siswa yang bertugas sedang berhalangan, maka kami bertiga ditunjuk sebagai pengganti. Bahkan sepertinya lebih sering kami bertiga yang maju daripada petugas yang seharusnya. Pelatih upacara kami, Bu Vemi, merasa geram jika siswa yang seharusnya menjadi petugas upacara, justru melakukan gerakan tiap gerakan dengan rasa enggan. Setidaknya Bu Vemi masih memiliki kami, 3 siswa yang lumayan bisa diandalkan, dan tentunya tidak boleh ijin sakit ketika hari Senin. "Selain hari Senin, silahkan sakit sesuka kalian," canda Bu Vemi.
Karena ikhwal itu, siapa yang tidak kenal dengan kami bertiga. Tiap awal pekan wajah kami sering terpajang di barisan depan petugas upacara, dan aku sebagai pembawa bendera yang berdiri di tengah, diapit dua laki-laki yang putih dan tinggi sepadan denganku, Al dan Yohan. Sedangkan June, dia seorang dirijen handal. Semangatnya menuntun regu kor menyanyi sepanjang upacara, layak aku acungi jempol. Setiap hari Senin, kami 4 sekawan adalah ujung tombak terlaksananya upacara bendera di Smasa Amerta.
SENIN, JAM ISTIRAHAT
Aku dan June berjalan ke kantin. Hari itu di saku ku hanya ada Rp.1000, tapi June mengajakku makan siang. Aku melirik pada June.
"Yang bener aja kamu, terus aku pulang naik apa."
June menghela napas lalu menjawab, "prasaan hampir tiap hari, Mik, aku traktir kamu makan, lagaknyaaa sekarang mau bayar sendiri, haha."
June mendorong kepalaku dengan keras. Kami pun tertawa.
Al dan Yoan datang saat kami hendak menyuap soto panas di mangkok.
"Aaaakkk!!!" kata Yoan. "Aku minta dong, aku lapar banget nih."
Al pun sama, dia seketika duduk berhadapan dengan June, melakukan hal yang sama dengan Yoan, minta disuapin soto panas. Sudah terlalu biasa bagi kami untuk berbagi makanan, berbagi tugas, berbagi uang, dan berbagi cerita tentu saja.
Tak lama kemudian, gerombolan kakak kelas yang berseragam acak-acakan itu memasuki kantin. Pandanganku menatapi mereka satu persatu. Memang benar rupanya pendapat June tentang mereka. Mereka menyebut dirinya Genk Roxette. Entah, alasan mendasar apa mereka menggunakan nama band ternama sekelas internasional sebagai nama genk mereka.
Mereka memasuki kantin, hanya memesan satu es teh, dan berbagi satu sama lain. Kemudian salah satu dari mereka ada yang berbuat usil dengan menyiram teman mereka dengan es teh tersebut. Es teh itu tumpah, membasahi seragam, dan menjadikan gerombolan itu bermain siram-siraman air satu sama lain.
"Ihh kaan, gak faedah banget becandanya, gitu itu kalo ketauan pak Men, mampus semua tuh pada," kata June pada kami bertiga.
"Udah lah, bukan urusan kita, ntar lagi mereka lulus, sekolah juga bakalan sepi," jawab Al seadanya dengan mulut penuh nasi dan kuah soto.
Ada salah satu dari anggota genk itu yang menyita perhatianku. Berbadan lebih tinggi dari aku, perawakannya tidak terlalu kurus, dengan seragam kedodoran. Namanya Boy. Aku rasa, Boy paling dominan di banding teman-temannya. Nampak dari ide-ide konyolnya, salah satunya yaitu menurunkan celana seragam seorang dari mereka. Teman-teman Boy mengiyakan ide konyol itu, dan lagi-lagi berujung pada tawa gemuruh mereka semua.
Dibalik rasa acuh mereka terhadap siswa lain, Boy sepertinya menaruh curiga karena aku sering mengamati dia dari jauh. Diam-diam, aku ikut tertawa kecil tiap kali melihat keisengan teman-teman Boy. Dalam diam, aku berharap, semoga Boy tak pernah menatapku balik karena bisa saja aku dianggap menyukainya.
Mereka adalah perwujudan genk teroris di sekolah ini, suka ribut, berisik, populer dengan gayanya yang jetset, sering dipanggil ke ruang BK, beberapa ada yang senang berkelahi, dan mungkin saja mereka adalah genk playboy. Aku tak berniat untuk dekat dengan pergaulan semacam itu. Bisa hancur nilaiku, bisa jelek imej-ku, bisa bolak-balik masuk ruang BK aku, haha.. kekhawatiran yang tak perlu dikhawatirkan sebenarnya.
Aku melamun sembari memainkan nasi soto yang mulai dingin. "Heh! Nglamun kamu. Sini sotonya, aku habisin aja." Tiba-tiba Yohan menarik mangkok ku.
"Mikirin apaaa hayo, apa yang kemarin lagi?" tanya Yohan berbisik pelan sedangkan June dan Al tidak mempedulikan obrolan kami.
"Enggak Yo, santai, aku udah gak mikirin dia lagi, putus ya putus," jawabku datar.
Kami pun menyudahi sesi makan siang di kantin. Sekali lagi aku menoleh ke arah Boy, sebelum beranjak keluar. Rasanya kepalaku bergerak begitu saja seperti ingin memastikan apa yang terjadi pada Boy sebelum aku pergi.
Aku menatapnya seolah tatapan berpamitan karena aku hendak kembali ke kelas. Jam istirahat telah usai, bel berbunyi nyaring selama semenit. Seluruh siswa di seantero sudut Smasa Amerta bergerak menuju kelas masing-masing.
Mendadak pandangan Boy pun tertaut padaku. Bersamaan. Kita saling menatap, dengan jarak kita sekitar 3 meter tanpa penghalang apapun.
1 detik
2 detik
3 detik
4 detik
5 det..
Dengan sedikit terpelanting, aku langsung berbalik badan karena June menarik tanganku.
"Bu Sari udah masuk kelas Mik, lari Mik, ayoo!"
Tak sempat aku berkata apapun. Di rok ku terdapat sedikit cipratan kuah soto karena aku sempat menyenggol meja yang menyebabkan mangkok soto terguncang. Aku menunduk melihat rok ku yang agak kekuningan, dan ku sempatkan menoleh lagi ke belakang. Di sana ku lihat Boy masih menatapku.
***