Sehari setelah kepalaku terkena hantaman bola basket, aku masih belum baik-baik saja. Sesekali nyeri di pelipisku masih terasa. Aku memang tidak menceritakan yang sebenarnya kepada Mama karena aku khawatir orang tuaku mencemaskan aku dengan berlebihan. Aku hanya berkata jika kepalaku terbentur sudut jendela kelas tanpa sengaja.
Malam itu, Mas Doni tengah meneleponku via ponsel. Dengan memutar-mutar pensil, aku menemaninya berbincang. "Tapi masih bisa dipake buat mikir gak sih, haha.." canda Mas Doni saat ku bilang, kepalaku masih terasa sakit.
"Ya bisa, tapi kecuali PR matematika, haha." jawabku sekenanya.
"Oiya, bab apa emang? Coba gimana soalnya?"
"Mm.. ini yang bab variabel XY itu."
"Di eja coba soalnya, aku mau tau."
Mas Doni memang anak jurusan IPA. Pernah aku tahu, dia sempat mengikuti olimpiade MIPA tahun lalu mewakili Smasa Amerta. Meski sebenarnya dia bergaul dengan teman-teman yang tergolong urakan, tapi dia lumayan berprestasi dalam bidang akademik.
"Jadi ini, 6 dalam kurung X plus Y kurung tutup, plus 2 X..." aku tengah mengeja satu persatu huruf dan simbol dalam soal matematika ku.
"Tulis bawahnya, 6X plus 6Y.." Mas Doni menimpali pernyataanku seketika. Jujur detik itu aku mulai menikmati mendengarkan suara Mas Doni. Terdengar ringan, tidak terlalu berat, terasa merdu meski hanya sekedar berbicara sepatah dua patah kata. Meski hanya mendengar suaranya, aku seperti dapat melihat Mas Doni duduk di hadapanku.
Aku menulis huruf demi huruf sesuai arahan Mas Doni. Beberapa detik kemudian, "Done. Hasil akhirnya X plus Y." jawab Mas Doni.
"Wah, beneran ini jawabannya, ternyata simpel ya caranya. Lucky Me! Haha.."
Tiba-tiba Papa mengetuk dan membuka pintu kamarku, "Mika gak makan? Daritadi papa panggil gak dengar?"
"Iya pa, masi ngerjakan PR. Susah banget ini."
Lalu papa mengambil buku tugasku, "Oh, PR math lagi? Lho tapi ini sudah bisa kan."
"Iya Pa, diajari temen ini." jawabku dengan tersipu.
"Ya udah setelah ini langsung makan." sahut papa meninggalkan kamarku.
Aku tahu, di seberang sana, Mas Doni mendengarkan percakapanku dengan Papa. Dia terdiam lama, meski aku memanggilnya, "Halo Mas Doni."
"Mika, kamu gak bilang ke papa mu, kalo kita pacaran?" tanya Mas Doni tiba-tiba.
"Oh, anu, belum berani, Mas," aku tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Mas Doni. Dari nada bicaranya, mungkin Mas Doni sedikit tersinggung karena aku menyebutnya sekedar teman.
"Ya gak papa kalo gitu, udah dulu ya. See you, Mika."
Tut. Panggilan telepon terputus. Dalam hatiku, apakah Mas Doni kesal dengan perkataanku. Tapi semoga saja tidak. Aku beranjak menuju meja makan. Ku lemparkan ponselku ke kasur begitu saja.
***
Tit.. Tit.. Tit..
Pukul 00.03
1 Message Received
[MY DONY]
"SELAMAT TIDUR, SAYANGKU"
***
Jam istirahat di sekolah, tiba-tiba banyak siswa berkerumun di kelas 2-5, yang letaknya terpaut dua kelas dengan kelasku. Berada di sisi timur tangga, dan berada lurus dengan ring basket di lapangan bawah. Sekilas aku melongok dari jendela tempat dudukku, "Rame bener, ada apaan ya Jun," tanyaku pada June. Saat itu dia sedang tergesa menyalin PR matematika ku semalam.
Tiba-tiba Al berlari masuk kelas dan menghampiriku. Dia menarik tanganku, dengan napas tak beraturan, "Mik.. a.. cep.. etan.. ikut.. aku!"
Badanku membusung ke depan, tanganku erat di pegang Al, dan ditariknya aku setengah berlari menuju kelas 2-5. Semakin dekat, aku semakin penasaran, ada apa gerangan. Pintu kelas 2-5 tertutup rapat, semua siswa berkerumun di luar. Aku diam, menoleh ke kanan dan ke kiri, teman-teman memandangku sinis.
"Mik, kamu buka pintunya, aku gak berani," kata Al sembari mengatur napasnya kembali. Aku sama sekali tak tahu, ada apa di dalam sana. Perlahan aku mendorong daun pintu berwarna coklat muda itu. Tulisan Kelas 2-5 tergantung di kayu atas pintu tersebut.
"Kreekk, Jedaakk!"
Suara pintu terbuka sedikit. Pemandangan yang tak biasa, tepat berada di depanku. Teman-teman lain berkerumun di belakangku, berusaha mengintip mencari tahu ada apa di dalam sana. Mereka saling dorong berjejalan namun tetap menjaga jarak denganku.
"Yaaa ampun! Kalian gila!" spontan teriakku sesaat setelah pintu ku buka. Aku meringsek masuk dan mendapati Titok terduduk di sebuah bangku dengan tulang pipi sedikit membiru. Di sekitarnya, aku melihat Dior, Gading, dan beberapa anak genk Roxette berada di situ, dengan seragam yang berantakan. Tak lupa, ada Boy yang duduk tepat di hadapan Titok. Tampak raut muka kesakitan dari ekspresi Titok, namun dia hanya terdiam bahkan memandangku pun dia tak berani.
Aku memegang bahu Titok, membopongnya hendak berdiri menuju keluar kelas. Sungguh, aku merasa malu pada Titok saat itu. Begini akibatnya jika aku bergaul dengan genk Roxette. Apa yang menurut mereka tidak sesuai, menentang, atau menantang, maka mereka akan melawan dan menyingkirkan, siapapun itu.
Boy menghalangi langkahku, menarik dan melepaskan tanganku dari bahu Titok. Pintu kembali di tutup dari dalam oleh Dior. Suasana di dalam kelas itu begitu tegang dan gelap. Tirai ditutup rapat. Teman-teman diluar sana tak dapat mengintip ke dalam. Namun masih ku dengar suara riuh, dan beberapa siswa menyeret kursi agar bisa menaikinya untuk mengintip dari lubang ventilasi.
Titok berdiri dengan lemas. Aku menoleh dengan penuh amarah pada semua genk Roxette yang berada di situ. "Kalian gak waras ya. Siapa yang suruh? Doni? Mana Doni? Gak berani ikut? Pengecut!" Aku berteriak lantang meneriaki semuanya, menatap wajah mereka satu persatu. Tak kudapati Mas Doni berada di antara mereka.
Boy mendekat seperti hendak menyampaikan sesuatu padaku. Dalam jarak yang kurasa cukup dekat, aku tampar pipi Boy sekeras mungkin.
[PLAKK!]
"Kurang ajar kamu. Kalian semua!"
Aku memicingkan mata. Kembali membopong badan Titok untuk keluar dari kelas.
"Minggir, aku bilang!" aku membentak Dior yang berdiri tepat menghalangi pintu.
Entah kekuatan darimana yang merasuki ku, hingga aku berani membentak dan melawan mereka semua, para kakak kelas, anak genk teroris, genk Roxette yang ditakuti. Ditambah pula, bagaimana bisa aku menampar Boy sekeras itu. Aku seperti orang lupa diri, karena tak tega melihat Titok dengan wajah lebam menanggung kesakitan.
Berada di luar kelas, Titok disambut beberapa temannya lalu berjalan bersama menuju UKS. Teman-teman mencibirku, meneriaki ku dengan seruan-seruan seperti "Huuu..." dan aku tak memperdulikan mereka sama sekali.
June, Al, dan Yohan berdiri di dekat tangga menungguku, seolah ingin meyakinkan apakah aku baik-baik saja atas kejadian tadi.
"Mik.. Mika..," June memanggilku seraya hendak menyentuh tanganku. Seketika aku hempaskan tangan June, dengan napas menderu aku menyusuri tangga turun ke bawah.
Aku berlari menuruni tangga, menerobos teman-teman yang berdiri berbincang satu sama lain. Aku terus berlari memasuki kelas 3 IPA 1 yang berada di dekat bawah tangga, mengedarkan pandangan namun tak ku temukan yang ku cari. Aku berbalik arah, berlari keluar. Aku tak tahu hendak mencari kemana, hingga tiba-tiba pergelangan tanganku seperti dicengkeram sesuatu dengan sangat erat.
Mas Doni berdiri tepat di belakangku. Memegang dengan kuat pergelangan tanganku dan menatapku lekat, "Aku sungguh tak tahu apa-apa, Mika."
Aku diam menatap ke dalam matanya. Sorot mataku saat itu penuh amarah. Rasanya ingin sekali aku menamparnya, sama halnya seperti yang kulakukan terhadap Boy. Namun cengkeraman tangannya begitu kuat. Bulu tipis di tangannya berkilau diterpa cahaya matahari. "Aku beneran tak terlibat, Mika," ucapnya lirih berusaha meyakinkanku.
"Lalu bagaimana bisa teman-temanmu seperti itu pada Titok, kalo bukan karena kamu yang nyuruh. Ya kan!" teriakku dengan nada tinggi, menahan marah.
Tanpa kusadari, Boy dan yang lain sudah berada tepat di depanku, mengitari kami dan nyaris tidak memberi ruang pada siswa lain untuk menguping perdebatan kami saat itu. Aku berusaha menahan diri ketika ku lihat Boy.
"Don, pacarmu ini, nampar aku tadi, haha," seru Boy seraya tertawa memegangi pipinya. Tak ada rasa sakit yang dia rasakan, dia bahkan menertawakanku, meremehkan pembelaanku atas perbuatannya pada Titok. Mas Doni terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin seorang Mika berbadan kurus tinggi kecil berani melawan senior yang berbadan lebih besar darinya.
"Dah lah, Don. Ayo cabut," Dior berusaha menarik ujung seragam Mas Doni agar menjauh dariku.
Mas Doni memilih mengikuti teman-temannya pergi menjauhi dari ku dengan rasa amarah yang jelas masih tersisa dari raut muka ku. Berjalan semakin jauh, mereka dengan ringan, tertawa terbahak-bahak dan ku lihat Mas Doni hanya tersenyum menanggapinya.
Lalu aku berinisitif menjenguk Titok di ruang UKS. Dengan tetap memandangi Mas Doni dari kejauhan, aku berjalan mengambil jalur timur depan lab fisika. Ku dapati Titok sudah duduk dan sesekali tersenyum meski wajahnya masih pucat. Perlahan aku memasuki ruang UKS, menyapanya, "Titok, gimana? Aku minta maaf ya."
Sungguh besar hati Titok mau memaafkan aku. Dia merasa semua ini tak lain karena ulahnya yang ceroboh melempar bola saat bermain basket kemarin hingga mengenai kepalaku. Aku duduk mendekati Titok, "Tapi mereka gak perlu membalas kamu kayak gini. Lagipula kamu kan gak sengaja. Toh aku juga baik-baik saja. Aku betul-betul minta maaf ya, Tok."
"Ya, Mika. Besok sudah bisa sembuh, aku yakin. Makasih tadi sudah tolongin aku, Mik." Titok berusaha menenangkan ku dengan senyumannya. Meski aku tahu, luka di tulang pipinya itu pasti ngilu sekali.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku menuruni tangga dengan June berjalan di sampingku. Ku lihat Mas Doni menunggu tepat di bawah tangga. Seketika aku membuang muka, berusaha tak menatapnya, dan menganggap tak ada siapapun disitu. June mempercepat langkahnya, setengah berlari mendahuluiku, memberiku kesempatan setidaknya untuk berbicara empat mata dengan Mas Doni.
"Mika!"
Tak ku hiraukan panggilannya. Aku tetap berjalan menghadap ke depan.
"Mika, tunggu!" Sekali lagi, Mas Doni mencengkeram erat pergelangan tanganku dan menariknya sedikit mendekati tubuhnya. Aroma tubuhnya bercampur dengan bau keringat siang itu, menimbulkan sensasi yang berbeda dalam penciumanku. Seperti tusukan dalam ulu hatiku, aroma maskulin tubuh Mas Doni menjadikan tulang-tulangku seperti layu dan lemas.
"Aku minta maaf ya. Aku sayang sama kamu, Mik. Aku gak bisa lihat ada yang nyakitin kamu."
"Tapi tidak dengan cara kotor seperti itu! Titok itu gak salah, Mas. Dia gak sengaja. Kamu tahu itu!" Aku menghardiknya dengan keras. Tampak rona penyesalan dalam matanya.
"Iya, aku minta maaf ya." Tangannya berusaha meraih tanganku kembali, karena sebelumnya aku memaksa menarik tanganku. Aku hanya membuang muka, dan berbalik badan, berjalan menuju gerbang.
"Mikaa!" Teriak Mas Doni sekali lagi.
Aku menghentikan langkahku dan mendengus kesal. "Apa lagi sih?"
"Aku antar pulang. Ayo!"
Aku menatap matanya yang teduh memohon ampunanku, sejenak aku berpikir.
"Gak perlu!" Jawabku singkat lalu segera pergi dari hadapannya.
***
DI KAMAR DONI
Suara gitar dipetik diikuti alunan lirih sebuah lagu dari band kenamaan terdengar.
"
Pernah berpikir 'tuk pergi
Dan terlintas tinggalkan kau sendiri
Sempat ingin sudahi sampai di sini
Coba lari dari kenyataan
Tapi 'ku tak bisa
Jauh ...
Jauh darimu
'Ku tak bisa
Jauh ...
Jauh darimu
"