webnovel

Mimpi

Eryk tidak mempercayai akan diterima begitu saja tanpa usaha, tentu ia bersyukur namun di sisi lain merasa disepelekan Kervyn seperti penembakan tadi pagi.

Eryk berterima kasih pada Johnny dan keluar untuk kembali ke tempat saudaranya berada, tak lupa saat di lift, ia menelepon Carla untuk mengurus sisanya.

Eryk menatap kosong lift, tidak tahu motif Kervyn apa menyerangnya, menculik Katherine dan sekarang membuka peluang lebar untuknya masuk ke tempat dia.

Eryk bisa saja menilai sebuah perangkap untuknya, tujuan Kervyn mungkin dirinya seorang, ia sendiri tak apa asalkan orang yang penting baginya tak terluka biarlah ia saja.

Mungkin di kapal pesiar ini akan menjadi pertarungan terakhirnya harus menyiapkan diri matang-matang sebabfs yakin akan ada pemeriksaan senjata.

Jika benar targetnya dirinya mengingat ialah saksi pembunuhan yang dilakukan Kervyn, Eryk memutuskan untuk ke sana sendirian.

Masalahnya yang lain, bagaimana bila itu bukan dirinya? Melainkan orang lain?

Eryk segera membantahnya, tidak ada yang berpeluang besar selain dirinya di antara saudaranya, memang ada Gaea, tetapi dia kan hanya wanita biasa, Kervyn hanya bertemu sekali dengan saat menyamar menjadi dirinya mengelabui Gaea yang masih kecil.

Eryk bahkan belum memastikan motif Kervyn menyamar menjadinya.

***

Flashback

***

Kervyn bersandar santai di dinding setelah mereka mengantar Gaea ke kamar, "Jadi? Ada yang mau kau tanyakan, bro?"

"Kau untuk apa ke sini? Bagaimana bisa tahu?" tanya Eryk terheran-heran yang sudah rapih dan teliti agar Kervyn dan yang lain tidak menyadari pekerjaan ini.

"Aw, aku hanya rindu bermain denganmu, kau bukanlah tipe yang mudah dekat dengan seseorang apalagi Rainer keluarga baru kita, jadi kurasa ada sesuatu yang membuat kalian terpaksa bermain-main bersama," jelas Kervyn sebelum tertawa lepas, "aku kira sesuatu yang menyenangkan, nyatanya kau bertugas melindungi anak kecil haha ... seorang Tuan Muda sepertimu main dengan gadis berumur sembilan tahun, jelas kau menyembunyikan itu dari kami, pasti itu melukai harga dirimu hey, Mister Enzo." Ia menepuk bahu Eryk main-main.

Erykmenyingkirkan tangan Kervyn dari bahunya kasar ikut menyandar ke dinding di samping saudaranya, "Pak Tua itu yang memintaku, aku melakukan ini demi mobil baru yang akan dia berikan padaku nanti."

Kervyn tertawa lagi, "Bukankah karena kau menyukai Gaea?" Ia menebak yang sukses membuat rona merah di pipi Eryk, "kau itu jelas sekali cemburu aku mendapat perhatian Gaea, dan apa pula membawa buket bunga segala untuk dia? Hahaha ...."

"Hey! Aku bukan pedofil!" Eryk membantah keras, "aku memberikan buket bunga anggrek karena kemarin berjanji akan membawanya, gadis kecil ini tidak mau pulang, ingin terus main di taman bunga, terpaksa aku berjanji padanya."

"Oh," Kervyn menjawab singkat, "tetap tidak mengubah pikiranku bahwa kau cemburu, bro."

Eryk mengembuskan napasnya, "Iya, iya, tertawalah, tertawa sepuasmu sebelum aku menutup mulutmu dengan sepatuku!"

Kervyn segera melenggang pergi, "Kau takkan bisa melakukannya, Eryk."

"Hey!" Eryk segera mengejar Kervyn, sebuah senyum samar terukir di bibirnya, ia sudah lama tidak bermain dengan Kervyn jadi jauh di lubuk hatinya aenang saudaranya itu kemari meskipun diejek.

***

Flashback Selesai

***

Eryk mengembuskan napas bersamaan dengan pintu lift yang terbuka dan berjalan ke tempat ruangan tunggu tamu berada, matanya sedikit melebar melihat Rainer tertidur bersandar pada bahu Gaea, sementara wanita itu mengobrol pelan dengan Ferdinand, berbicara samar-samar mengenai film yang tertangkap di telinganya.

Bagaimana pun, bukan film yang Eryk pedulikan, fakta melihat Gaea membiarkan Rainer bersandar membuat darahnya mendidih. Ia menghampiri wanita itu, "Bahumu pasti nyaman sekali, iya? Sudah dua kali dia bersandar di sana, belum terpikirkan olehmu untuk membuatnya menjadi ladang bisnis, Gaea?" katanya tanpa menyembunyikan nada sinis di suaranya.

Gaea dan Ferdinand tentu terkejut mendengarnya lalu terheran-heran dengan Eryk tiba-tiba datang dan berkata dengan kata-kata tajam seperti itu.

Ferdinand bangkit berdiri, meletakkan tangannya di kening Eryk sementara tangan yang lain ke keningnya sendiri, "Hm ... kau tidak panas ...."

Eryk segera menyingkirkan tangan Ferdinand di keningnya, "Kau apa-apaan, sih?"

"Aku hanya memastikan apakah kau sakit atau kepalamu terbentur hingga berkata menyakitkan seperti itu," Ferdinand menyahut santai, memperhatikan Eryk lagi, "jangan bilang padaku kau cemburu!?"

Eryk berbalik membelakangi Alex, berdecak pinggang jengkel, "Mana mungkin Ferdinand, aku hanya memberikan saran pada Gaea, dia seharusnya memanfaatkan situasi agar bisa mendapatkan uang lebih."

Gaea marah sekali, menyingkirkan Rainer dari bahunya membuat pria itu bangun tiba-tiba, namun tidak dipedulikannya, "Maaf iya Bos, tak semuanya itu bisa diuangkan. Kau tahu tidak kebaikan? Aku sedang melakukannya karena kau sudah membuat Rainer bekerja ekstra!" jelasnya tak kalah tajam, "Eryk bodoh!" serunya berapi-api dan pergi dengan kaki dihentak-hentakkan.

"Apa yang terjadi di sini?" Rainer bertanya sambil memegangi kepalanya yang pusing akibat dibangunkan tiba-tiba.

Ferdinand melirik Eryk dengan pandangan penuh kekecewaan sebelum mengejar Gaea, "Tunggu aku!"

Rainer bangkit berdiri, "Bertengkar masalah apa lagi?"

Eryk memutar bola matanya, "Kau—"

Raine langsung memotong, "Kau tahu, Eryk? Lupakan aku bertanya tadi, aku mau istirahat lagi," jelasnya, melenggang pergi dengan lesu.

Eryk mengembuskan napasnya, "Apa yang terjadi padaku ...?"

Kenapa setiap kali melihat Gaea berdekatan dengan Rainer, amarahnya langsung naik drastis? Sesuatu yang tidak terjadi bila Gaea berdekatan dengan Alex maupun Ferdinand.

Tidak mungkin Eryk masih menyimpan sisa perasaannya pada Gaea.

Tetapi perilakunya saat ini hampir sama dengan dulu.

***

Flashback

***

Eryk memandang dari bawah pohon dua insan yang sedang asyik bermain ayunan bersama-sama.

Eryk tidak menyangka Rainer mudah beradaptasi dengan keadaan ataukah saudara barunya itu menyukai anak kecil?

Eryk melirik ponselnya.

Siapa yang peduli, dengan adanya Rainer, tugasnya semakin ringan sekarang walau Gaea belum mau mengeluarkan suaranya.

"Hahaha ...."

Eryk kembali memfokuskan matanya ke mereka lagi setelah mendengar suara tawa perempuan, matanya melebar mengetahui itu dari bibir Gaea. Alisnya menyatu, marah.

Eryk berusaha keras kemarin, tapi tidak membuahkan hasil sementara Rainer hanya dengan mengayunkan ayunan untuk Gaea selama beberapa jam bisa mengeluarkan tawa gadis kecil itu?

Tidak bisa dibiarkan.

Eryk mengantungkan ponselnya kemudian berjalan menghampiri mereka yang sedang bahagia seakan dunia milik berdua itu, dan menggeser Rainer yang mau mengayunkan ayunan Gaea lagi, "Kurasa sudah cukup biarkan aku saja."

"Eh?" Rainer kebingungan. Bukankah tadi bilang tidak tertarik bermain permainan anak-anak? "kenapa kau berubah?"

Pipi Eryk lantas merona, "Aku hanya bosan! Juga kasihan kau sepertinya kelelahan, Rai."

Itu tidak benar, jadi Rainer berkata, "Sejujurnya aku tidak—"

"Sudahlah istirahat saja," Eryk memotong ucapan Rainer dengan dingin kemudian tersenyum kecil pada Gaea, "tak apa aku menggantikan Rai?" tanyanya lembut.

Gaea mengangguk dengan polosnya.

Rainer yang melihat respon Gaea pun tidak memprotes, berjalan ke tempat Eryk berdiri memperhatikan mereka.

Eryk mulai mengayun dengan pelan, tidak ada respon, lantas menaikan sedikit lagi kecepatannya, dan Gaea mulai berseru riang yang sukses memberikan sesuatu yang aneh di hatinya.

***

Flashback Selesai

***

"Kenapa aku terpikir itu?" Eryk bertanya-tanya sebelum akhirnya mengejar Gaea dan saudaranya keluar gedung, di sana sudah ada mobil miliknya lengkap dengan mereka semua di dalam.

"Bisa kita tidak ke rumah dulu?" Gaea bertanya.

"Untuk apa? Kemana juga?" tanya Ferdinand.

Gaea tertunduk, "Terserah kemana, aku hanya sedang tidak ingin di rumah cepat-cepat."

Eryk berpikir sesaat, pasti ada hubungannya dengan Lola mengingat tadi Gaea keluar dari kamar Lola dengan ekspresi wajah sedih seakan mau menangis, "Kita ke tengah kota, Ferdinand. Ini juga sebagai permintaan maafnya.

"Baiklah, tengah kota ke mana tepatnya?" Ferdinand bertanya.

"Pusat perbelanjaan."

"Tapi kenapa tempat pusat perbelanjaan?" Gaea bertanya, tentu senang Eryk mau mengerti dirinya tanpa perlu bertengkar, namun di antara tempat bagus, Eryk milih pusat perbelanjaan dan bukankah sudah tutup di hari natal begini?

"Bukankah jelas? Gayamu memalukan," sahut Eryk santai.

"Hey!" Gaea tidak menerimanya begitu saja, "tidak semua orang bisa membeli pakaian bagus sepertimu, Eryk."

"Karena itu kita berbelanja," kata Eryk, "kau tunanganku, memakai pakaian sederhana begitu melukai harga diriku."

"Apa?"

Pakaian yang dikenakannya memang sederhana hanya celana jeans panjang dan jaket pink tebal serta syal dan topi agar tidak kedinginan, salahkan Eryk juga yang langsung mengajaknya tanpa ganti baju.

"Aku punya sense fashion, bisakah kita ke tempat lain? Taman kota misalnya," kata Gaea merayu.

"Aku tidak tahu dari mana menyenangkannya ke taman kota. Tetapi kita ke sana Ferdinand," kata Eryk.

Gaea bertepuk tangan bahagia mendengarnya.

"Baiklah," kata Ferdinand.

***

Eryk yang lelah berjalan di bawah pohon taman, merebahkan tubuhnya dan memakai kacamata, "Kalau tahu begini jadinya, aku seharusnya membawa sunblock."

Ferdinand duduk di samping Eryk berkata, "Mana ada orang yang berjemur jam segini, Eryk. Ini musim dingin."

"Sial!" Eryk baru ingat dan segera pindah ke tempat yang lebih aman tepat di bawah pohon, bersandar di sana, "Kenapa juga aku harus mengikuti kemauan dia?" Ia melirik Gaea yang sedang berjalan ke tepi sungai.

Ferdinand mengikuti arah mata Eryk, "Hm, karena kau lemah sama wanita?" tebaknya, "kau tidak marah mereka berduaan? Aku bakalan marah jika Gaea pacarku."

Eryk hanya memandang Gaea dan Rainer yang sedang berjalan beriringan, "Biarkan, aku tidak punya waktu memikirkan hal tak penting begitu."

"Sekarang kau kembali ke Eryk yang aku kenal," kata Ferdinand.

"Aku selalu seperti ini," kata Eryk, dan menggosokkan kedua tangannya, "dingin sekali, beli kopi hangat, Ferdinand?"

"Benar jadi Eryk yang dulu lagi," Ferdinand mengulangi, dan pergi membeli minuman kaleng di mesin seberang jalan.

Eryk melirik Gaea dan Rainer yang kini sedang duduk di kursi panjang memandangi sungai hudson, emosinya perlahan naik lagi sebelum kemudian bangkit berdiri mengejar Ferdinand.

***

Gaea memandang sungai yang terlihat bergelombang akibat beberapa kapal lewat.

Inilah yang dimaksud olehnya menenangkan pikiran dari masalahnya bukan kabur dari Lola hanya butuh sedikit waktu menerima.

"Sayang sekali kau tidak bisa merayakan natal bersama keluarga Ava, benar?" tanya Rainer.

Gaea mengangguk, "Aku bertanya-tanya apakah Ava baik-baik saja di sana? Apakah dia marah padaku? Aku sampai sekarang belum bisa menghubungi dia, sepertinya dia sibuk sekali," jelasnya, "dan yang terpenting apakah dia sungguh-sungguh temanku."

Rainer melirik Gaea yang tertunduk dalam, "Ava satu-satunya orang yang tak menipumu Gaea, semua sifat, tingkah lakunya padamu murni dari Ava sendiri."

Gaea melirik Rainer, "Dari mana kau tahu?"

Rainer mengulas senyum kecil, "Tentu saja aku mengecek data Ava, kau ini." Dan lagi ia dan Ava sudah 'berteman' setahun yang lalu.

"Begitu," kata Gaea, "aku senang Ava tidak terkait apa pun, untungnya dia berada di Shanghai sekarang, dia pasti dalam bahaya jika bersamaku."

"Hm ... dia berada di tempat yang aman dari kita semua," Rainer menyetujui.

"Tetapi, sahabat terdekatku adalah Lola, dia yang selalu menjadi penyemangatku ketika kami kesusahan, jadi saat aku tahu dia bukan Lola yang kukenal selama ini, aku ...." Gaea tak menyelesaikan kata-katanya, dadanya sudah terasa sesak.

"Lola akan mendekatimu lagi, dia hanya kesal padamu karena mencuri kesempatan dia bersama Eryk," Rainer berusaha menghibur.

Gaea tersenyum pahit, tentu Lola akan mendekat lagi cuma masalahnya kapan akan terjadinya? Lola mencintai Eryk sejak masih gadis hingga sekarang menjadi wanita muda.

Gaea kembali teringat akan ejekan Lola padanya, berpikir apakah Lola terluka akan ucapan dia sendiri mengingat Lola sering memanggilnya Nyonya Enzo.

"Oh, iya kau sudah mendengarkan lagu klasik rekomendasiku?" Gaea teringat akan tanda pertemanan mereka, terlalu fokus pada Eryk dua hari ini.

"Aku sudah mendengarkan sebelum tidur, lagunya enak-enak bahkan memudahkan aku tertidur lebih cepat," kata Rainer dengan senyum kecilnya, "bagaimana denganmu?"

Gaea tertawa kikuk, "Hahaha ... aku baru mendengarkan sedikit saja, kau tahulah masalah Eryk menyita perhatianku, tapi meskipun sedikit, aku setuju lagunya enak didengarkan."

Rainer bangkit berdiri, berjalan dengan kedua tangan di kantung celananya, membiarkan udara dingin menyentuh kulitnya, "Aku senang kau menikmatinya meskipun aku gagal melindungimu."

"Eh?" Melindungi dirinya? "apa maksudmu?"

"Aku ingin kau tetap hidup layaknya orang normal lainnya, tetapi semakin ke sini jadi membuatmu semakin dalam jatuh sehingga aku tidak bisa menggapaimu ke cahaya."

"Rainer ...."

"Tapi itu keputusanmu, aku juga tidak bisa berbuat banyak, aku lemah terhadap Eryk. Aku bahkan tidak bisa mengubah perasaan dia sejauh apa pun aku membantu dia," kata Rainer, "membuatku terlintas ingin kembali ke Jepang."

Gaea bangkit berdiri, "Kau mau kembali ke Jepang?"

Jika Rainer kembali, mereka takkan bertemu lagi, itu membuat hatinya terluka, sudah cukup kehilangan Lola bila harus Rainer juga, ia tidak tahu apakah kuat menerima hal tersebut.

"Hanya terlintas saja," kata Rainer, "tapi, untuk sekarang aku hanya akan mengikuti langkah Eryk sampai selesai, di saat itulah aku akan menentukan lagi."

Gaea mengembuskan napasnya lega, "Syukurlah, aku masih punya banyak waktu membujukmu untuk tidak pulang."

Rainer menatap Gaea intens, "Selain Eryk, kaulah alasan terbesarku masih di sini ...." Ia mengakuinya.

Mata Gaea melebar.

Rainer bilang dirinya? Alasan tetap tinggal di New York?

Gaea tersentuh tetapi masih ada yang tidak dimengertinya, "Kita baru berteman baik dua hari yang lalu bagaimana bisa aku menjadi alasanmu, Rainer?"

Rainer memamerkan senyum misterius, "Hubungan kita lebih dalam dari yang kau kira, Gaea," jawabnya, "aku rasa kau sudah lupa atau aku yang berhasil melakukan tugasku dengan sempurna."

"Tugas?" Gaea memiringkan kepalanya bingung.

Kenapa keluarga Enzo selalu mengatakan tugas padanya?

Apakah keluarga Enzo termasuk bagian dari kepolisian yang menangani kasus orang tuanya? Tidak mungkin, Gaea tidak ingat pernah bertemu dengan Rainer, mereka pertama bertemu di klub.

Mungkin Rainer salah orang?

"Wajah kalian serius sekali."

Gaea menoleh, melihat Eryk dan Ferdinand menghampiri mereka dengan dua gelas berisi cairan hitam yang ia yakini kopi.

"Untukmu," Eryk mengulurkan salah satu kopi yang dipegang olehnya.

Gaea menerimanya dengan senang hati, meski sejujurnya tidak begitu suka dengan kopi, namun menolak makanan atau minuman gratis adalah suatu kejahatan, "Terima kasih."

Eryk mengangguk dan meminum kopi miliknya.

"Jadi bagaimana kau dapat undangan itu?" Rainer bertanya.

"Aku dapat."

"Jadi sudah tahu dengan siapa kau akan pergi?" tanya Rainer lagi.

Eryk mengangguk, "Aku akan ke sana sendirian."

Gaea hampir saja menjatuhkan gelas kopi miliknya setelah mendengar pengakuan Eryk.

"Kenapa sendiri? Berbahaya Eryk," kata Rainer.

Gaea mengangguk, "Setidaknya ajak kami."

"Sayangnya aku hanya bisa membawa satu orang ke sana, sudah peraturan," kata Eryk.

"Kalau begitu aku ikut!" Gaea menawarkan diri, mana mungkin membiarkan Eryk sendirian ke sana mengingat Aizawa begitu mencurigakan.

Eryk menggelengkan kepalanya, "Aku sudah bertekad untuk sendirian, orang sebanyak itu takkan mungkin ada sesuatu yang parah."

"Kita tidak tahu situasi Eryk di sana, aku mengerti akan banyak orang, tetapi aku tetap tidak setuju kau sendirian, jadi ijinkan aku ikut denganmu," kata Rainer menawarkan diri juga.

Eryk menggelengkan kepalanya lagi, menghampiri Rainer, meletakkan tangannya di bahu saudaranya, "Tugasmu menjaga Gaea, jika terjadi sesuatu padaku, jagalah—"

Rainer menepis tangan Eryk kasar, "Jangan berkata konyol begitu, kalau kau ingin Gaea ada yang jaga itu adalah tugasmu," katanya dingin, "kalau kau hanya ingin berkata tidak masuk akal seperti itu, aku pergi."

Eryk mengembuskan napasnya, "Aku mencoba memperkecil kemungkinan di sini."

"Itu tidak lucu," kata Gaea serius, "keluargamu ada banyak, tapi kau memilih sendiri, kau mau bunuh diri? Aku mengerti kau peduli, setidaknya pikirkan juga dirimu sendiri Eryk."

"Gaea ...," kata Eryk.

Gaea menggelengkan kepalanya, "Jangan berbicara. Dinginkan kepalamu, barulah temui aku lagi setelah kau selesai," katanya sedih dengan lesu menyusul Rainer.

Ferdinand menyentuh bahu Eryk lalu ikut menyusul Gaea dan Rainer.

Eryk mengembuskan napasnya, menatap aliran sungai tenang di depannya ....

***

Mereka kembali ke rumah tanpa ada percakapan sama sekali di dalam mobil.

Gaea sendiri tidak keberatan Eryk belum bicara dengannya, ia menilai itu baik sebab Eryk berpikir mengenai ucapannya dan Rainer tadi.

Yang Gaea cemaskan adalah Lola, ekspresi wajah apa yang harus dipasang ketika mereka tanpa sengaja berpapasan di rumah?

Sedih? Datar? Jijik?

Semuanya buruk, mungkin Gaea mengurung diri saja di kamar hingga malam baru keluar.

Gaea tersenyum jahat.

Ide yang cemerlang, ia bisa melakukan itu, lalu tengah malam bisa nonton film yang belum sempat diselesaikan olehnya tadi.

Gaea berpikir haruskah mengajak Alex? Mengingat tadi mereka menonton bersama.

Mungkin di antara semua keluarga Enzo, Alex yang paling dekat dengannya setelah Lola.

Mobil berhenti, Gaea segera membuka pintu dan keluar berlari ke dalam rumah, di sana untung tidak ada Lola, hanya Sebastian dan Alex di dalam.

"Aku pulang," Gaea menyapa hangat di tengah larinya menuju kamarnya.

"Selamat datang kembali, babe—eh?" Alex yang hendak menyapa syok Gaea hanya melewati dirinya, "hati-hati, babe!"

Gaea terus berlari hingga sampai ke kamar miliknya, membukanya, dan menguncinya dari dalam.

"Meong~"

Gaea tersenyum lebar, membawa Bintang ke pelukannya, seharian ini takkan kesepian di dalam sebab ada kucing peliharaannya.

***

Eryk melepaskan bajunya hanya menyisakan celananya, dan merebahkan tubuhnya di kasur.

Ucapan Gaea dan Rainer kembali melintas di pikirannya.

Eryk sungguh tersentuh akan kepedulian mereka berdua padanya, mungkin memang benar adanya harus membawa seseorang bersamanya, tapi siapa yang cocok?

Kepalanya mulai pening memikirkan itu.

Eryk pun menutup mata birunya perlahan.

***

Dalam Mimpi

***

Eryk membuka matanya perlahan, mendapati dirinya berada di sebuah padang rumput hijau asing tanpa ada siapa-siapa selain dirinya.

"Halo?" Eryk berkata, berharap ada yang menjawab sayangnya tidak ada. Ia pun mulai berjalan untuk mencari orang lain di sini. Matanya melirik ke sana ke mari tetapi hanya ada hamparan rumput hijau yang luas.

Kakinya mulai kelelahan hingga akhirnya membuatnya terjatuh di rerumputan dengan napas yang memburu.

"Eryk."

Eryk segera menoleh ke belakang, tempat arah suara itu berasal, tidak jauh darinya, Gaea dan Katherine berdiri berdampingan dengan tangan mereka berada di belakang.

"Kenapa kalian di sini?" Eryk bertanya-tanya, mencoba untuk bangun namun kakinya yang lelah menolak menuruti perintahnya, "ayolah, mereka ada di depanmu," Ia menyemangati dirinya masih mencoba bangun merasakan tepukan di bahunya.

"Eryk, Eryk."

Mata Eryk melebar mendengar suara dingin tersebut.

Kervyn tersenyum lebar, "Kau tetap lelaki yang tidak berdaya," ejeknya.

"Kau berbicara pada dirimu sendiri?" Eryk membalas balik ketus masih mencoba lagi menggerakan kakinya; kenapa begitu berat?

Kervyn menghampiri Gaea dan Katherine yang masih belum bergerak. Ia berdiri di belakang mereka, "Kau hanya lelaki lemah Eryk."

"Apa yang kau lalukan!?" seru Eryk.

Senyum Kervyn kian melebar, mengeluarkan dua pistol di sakunya, "Kau takkan bisa menyelamatkan mereka berdua, seperti kau tidak bisa menyelamatkan Ayah kita ...," katanya dingin yang kemudian dua pistol di tangannya ia arahkan ke punggung Gaea dan Katherine, "jadi, pilih adikku yang menyedihkan. Cinta atau kesetiaan?"

Eryk tidak menjawab, dengan sekuat tenaga bangkit memaksakan kakinya bergerak—dan berhasil juga berdiri, tinggal berjalan ke tempat Gaea dan Katherine, menghentikan Kervyn.

Kervyn mulai kehilangan kesabarannya, "Jadi? Katherine atau Gaea?" tanyanya lagi, kali ini sambil menarik pelatuk pistolnya.

Eryk tidak menjawab.

Siapa yang harus diselamatkan? Dengan kaki yang seperti orang lumpuh begini.

Eryk mencoba melangkah, yang gagal lagi.

Kenapa langkahnya begitu berat!? Tadi baik-baik saja!

"Hmph," Kervyn mendecih, "tipikal Eryk, tidak mau memilih huh? Kau menyakiti hati mereka kau tahu?" tanyanya dengan raut wajah yang sedih hanya sebentar sebelum kembali berubah ekspresinya dingin lagi, "aku rasa kau suka mereka terluka, huh?"

Mata Eryk melebar, "Tunggu! Aku akan memilih—!"

Kervyn menyeringai, dan menekan pacu pistolnya, "Katakan goodbye ...."

***

Mimpi Selesai

***

"Hentikan!" seru Eryk keras.

Hening ....

Eryk melihat ke seluruh ruangan, tidak pernah sekali pun merasa senang bisa berada di kamar tidurnya, menatap kosong dinding kamarnya.

"Mimpi ...?" gumamnya disela-sela napasnya yang memburu.

Mimpi itu terasa nyata sekali.

Eryk bangun dari tidurnya, dan menyalakan pendingin ruangan untuk menghentikan keluarnya keringat yang begitu banyak dari tubuhnya.

Mimpi tadi apakah sebuah pertanda?

Eryk mengembuskan napasnya, berjalan menuju jendela.

Jika benar, membawa Gaea ke pesta adalah suatu yang fatal.

Normalnya ia tidak percaya hal tersebut, namun membawa Gaea ke sana juga buat apa? Hanya akan mengganggu konsentrasi dirinya untuk mencari Kervyn.

Eryk melirik meja lampu sebentar, berpikir haruskah melakukannya?

Ekstra tidak ada salahnya, 'kan?

Eryk menghampiri meja lampunya dan membuka laci di bawahnya yang berisi pistol di dalamnya, membawanya keluar kamar, berjalan menuju kamar Gaea berada, mengetuk pintu kamar wanita itu.

Tok. Tok. Tok.

Eryk sedikit menjaga jaraknya teringat Gaea memelihara kucing di kamarnya.

Cklek.

Gaea membuka pintunya lengkap dengan Bintang dipelukannya.

Hidung Eryk seketika gatal, "Hatchi! Hatchi!"

Gaea tidak menyangka Eryk yang mengetuk pintunya. Ia segera memasukan Bintang ke kamar dan menutup pintunya, "Kau ini! Setidaknya bersuara saat mengetuk jadi aku tidak perlu membawa Bintang."

"Ganti baju," kata Eryk sambil menjepit hidungnya agar bulu Bintang tidak masuk.

"Hah?"

"Ganti bajumu, Gaea," Eryk mengulangi dengan nada memerintah kali ini.

Gaea yang lelah bertengkar, menurut saja, mengganti bajunya dengan baju tidurnya toh memang berencana tidur sampai malam, "Puas, Bos?" sindirnya halus.

Eryk yang melihatnya perlahan menurunkan tangannya dari hidungnya, memastikan menghirup dengan dalam, reaksinya sudah tidak bersin lagi, "Aku ingin memberikanmu ini," katanya sambil menyerahkan pistol yang tadi dibawanya.

Gaea terbelalak melihat pistol berada di tangannya lagi, "Kenapa aku harus punya!?"

Tadi pagi jelaskah bahwa Gaea belum bisa memegang pistol?

"Aku tidak memintamu memakainya langsung, aku hanya ingin kau menaruhnya buat berjaga-jaga," Eryk menjelaskan, "Kau berada di rumah selama aku tidak ada, Gaea."

Gaea tertunduk. Jadi ia tidak terpilih iya? Tentu saja jika Eryk yang menentukan akan kecil baginya dipilih, seharusnya sudah tahu itu.

Gaea saja yang masih berharap walau kecil.

"Apakah sudah menentukan dengan siapa kau pergi?" tanya Gaea sekalem mungkin.

Eryk bertopang dagu, berpikir, "Antara Alex dan Rainer. Aku butuh Alex karena dia yang paling hebat bernegosiasi, dan Rainer ... kau tahu sendiri bagaimana kemampuan dia."

Gaea mengangguk paham.

"Simpan di tempat yang menurutmu aman, selama aku pergi, kau bisa latihan bersama Ferdinand," Eryk menjelaskan sebelum ia merenggangkan ototnya, "baiklah aku mau berendam di air hangat, aku membutuhkan itu sekali."

Gaea terhenyak dan baru menyadari Eryk hanya mengenakan celana lagi.

Eryk sungguh tidak berbohong ketika berkata suka tidak pakai baju di rumah.

Chapitre suivant