"Gue nyerah kali ini," ucap Bian begitu keluar dari mobil BMW Z4 terbarunya.
"Kenapa? Lo mulai takut?"
Dua sahabat tak terpisahkan itu rupanya baru saja terlibat balapan mobil sebelum sampai di kampus. Hal yang sangat tidak patut di contoh. Ugal-ugalan di jalanan umum. Meskipun selama ini belum terkena sial. Tapi bukan berarti tidak akan terkena.
Berhenti membahas balapan, mata Bian tiba-tiba teralihkan oleh seorang gadis cantik berkemeja putih dengan padu padan jeans Navy dan tak lupa tas cangklong toscanya. Rambutnya di cepol ke atas, tersisa dua linting di kedua sisi pipi kanan dan kirinya. Dia berjalan sembari mendekap beberapa buku di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk memainkan ponsel. Gadis itu adalah Jasmine Arunika.
Aura wajahnya cerah, secerah cuaca hari ini. Meskipun berjalan sambil menunduk karena fokus ke handphone, tapi aura positifnya tetap terpancar.
"Lihat dia. Begitu mempesona. Gadis itu benar-benar mengalihkan duniaku," ucap Bian sebelum menepuk bahu Gino dan meninggalkan temannya itu.
Sementara Gino hanya diam menyaksikan punggung Jasmine yang semakin lama semakin tak terlihat. Dan dilanjut Bian yang membuntuti Jasmine.
Di lorong ruangan sebelum menuju kelas, Jasmine tidak sengaja bertemu dengan Rio. Mereka terlibat perbincangan tentang perkembangan Gino.
"Selamat sore, Pak."
"Hai, Jasmine. Selamat sore. Gimana, Gino?"
"Sejauh ini belum ada masalah Pak. Kita juga baru sekali bimbingan. Tapi dia tidak begitu menyulitkan saya."
"Syukurlah kalau gitu."
Dari kejauhan Bian tiba-tiba datang dengan sedikit berlari, menghentikan langkah Rio dan Jasmine. Seolah tidak mau kalah dengan Gino, Bian juga meminta kepada Rektor Rio agar dirinya mendapatkan pendampingan di beberapa mata kuliah.
"Ya sudah kalau gitu saya permisi dulu, Pak."
"Ok, baik. Selamat belajar Jasmine. Semoga sukses."
Bian menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
"Jadi, gimana Bian? Ada yang bisa saya bantu?"
"Iya Pak. Gini pak. Saya agak kesulitan di mata kuliah statistik. Jadi saya butuh rekomendasi dari bapak, mahasiswi yang bisa bantu saya. Ya anggap saja saya sebagai sahabat Gino yang membutuhkan pertolongan Bapak."
"Tapi setau saya, nggak ada masalah sama sekali dengan nilai-nilai kamu. Semuanya bagus."
"Masa sih Pak? Nggak ada yang harus diperbaiki gitu Pak?"
"Nggak ada Bian. Semuanya udah bagus."
"Oh, yaudah kalau gitu Pak. Berarti nggak perlu bimbingan ya Pak?"
"Kalau perlu kamu yang kasih bimbingan ke teman-teman kamu."
"Oh nggak Pak, nggak usah kalau itu."
Usaha yang sia-sia. Kali ini Bian kurang beruntung. Niatnya ingin dekat dengan Jasmine menemui jalan buntu. Tapi itu tidak menghentikannya. Fabian masih memiliki beribu cara untuk mendekati Jasmine.
***
"Dan si kutu buku kembali ke rumahnya," suaranya mengagetkan Jasmine.
Jasmine menengok dan dia melihat Gino. Ternyata dari tadi laki-laki itu mengikutinya.
"Ya, aku kembali ke sarangku. Dan kamu?"
"Iyaa, aku juga disini."
"Kenapa kita nggak mulai bimbingannya," lanjutnya.
"Nggak bisa. Aku udah ada janji sama temenku sebelum kelas mulai."
"Oke. Gue lupa kalau saat ini gue lagi berhadapan sama orang yang super sibuk," ledek Gino.
"Iya. Aku sangat sibuk. Mangkanya aku nggak ada waktu buat ngeladenin ocehan kamu ini."
"Yaudah si, marah-marah mulu lo."
Gino berbalik badan dan pergi. Tapi baru dua langkah, Jasmine memanggilnya kembali.
"Emm, Gino."
Gino menoleh.
"Kalau kamu ada waktu. Setelah kelas selesai kita bisa lanjut belajarnya."
Gino kembali mendekat ke Jasmine. Entah kenapa wajahnya mendadak ceria dan bersemangat sekali.
"Bisa. Bisa. Hari ini sebenernya gue udah nggak ada kelas sih."
"Oke. Kalau gitu sampai ketemu nanti."
"Ehh, Jasmine, kalau bisa nanti kita ke Cafe aja ya. Baru bentaran doang otakku rasanya mau meledak kalau di sini."
"Cafe?"
"Iya. Kenapa emang? Jangan bilang lo nggak pernah masuk Cafe. Lo manusia purba atau apa?"
Oke. Ternyata Gino benar-benar lupa bahwa Jasmine adalah perempuan yang bekerja di Dark Blue. Perempuan yang motornya diserondol mobil sport miliknya pada waktu itu.
"Ya, oke, baiklah."
Dengan berat hati, Jasmine menyetujui ide Gino. Meskipun tidak yakin, apakah Gino bisa lebih fokus atau malah ambyar saat belajar di Cafe nanti.
Sebenarnya ini bukanlah bimbingan secara resmi. Atau keinginan Gino sendiri. Ini hanya keinginan dari keluarga Gino yang menginginkan agar pewaris kerajaan Abiyaksa itu lebih serius lagi menekuni pendidikannya.
Setelah menemui salah satu temannya, Jasmine masuk ke kelas. Dia duduk di bangku nomor 2 dari depan. Berhadapan langsung dengan meja dosen. Selain berprestasi, Jasmine juga di kenal oleh teman-temannya sebagai mahasiswa yang baik dan peduli terhadap sekitar. Dan memang terbukti. Kepeduliannya itu bukan hanya dia tunjukkan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, tetapi juga kepada hewan dan tumbuhan. Bisa dibilang dia adalah pecinta segala jenis makhluk hidup.
Selain memiliki suara yang lembut. Hati Jasmine juga sangat lembut. Mudah tersentuh akan hal-hal sederhana. Dia bisa menangis hanya karena melihat orang lain sedih padahal tidak mengenalnya secara langsung, dan dia juga bisa tertawa hanya karena hal-hal yang receh. Tetapi disisi lain, dia juga perempuan yang kuat. Dia sangat survive dengan segala alur kehidupannya.
Setelah beberapa jam, akhirnya Jasmine keluar kelas. Betapa terkejutnya dia karena melihat Gino sudah berdiri di depan pintu.
Hari ini sepertinya cukup menyenangkan bagi Gino. Buktinya dia mau berdiam diri selama itu hanya untuk menunggu Jasmine selesai kuliah. Padahal selama ini dia di kenal sebagai orang yang susah untuk diam dalam waktu yang lumayan lama. Karena pasti nggak akan betah.
"Hai," Sapanya. Tawa tipisnya mengembang.
Dan respons Jasmine adalah? Kaget dan heran. Iya, itu hal yang wajar. Dan orang lain yang mengenal Gino pun juga pasti akan bereaksi sama. Tiba-tiba melihat seorang Dean Gino semangat belajar. Pasti akan bertanya-tanya juga. Ada apa ini? Apakah dia mulai keracunan giat belajar? Atau ada motif tertentu.
"Helloo. Woy!" ucap Gino sekali lagi. Kali ini tangannya membuyarkan lamunan Jasmine.
"Hah, iya."
"Napa lo. Mulai naksir lo ya sama gue."
"Dih. Apa sih," jawab Jasmine salah tingkah.
"Ngaku aja lo. Ya kan?"
"Nggak bakal ya," jawab Jasmine pasti.
"Lo pasti suka sama gue, ntar. Liat aja," ucap Gino jauh lebih yakin.
"Jadi belajar nggak?" Jasmine mengalihkan pembicaraan untuk kembali ke topik dan rencana awal.
"Gue dari tadi udah siap. Udah nungguin elo. Lama banget!"
Jasmine hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Gino. Orang yang aneh. Tadi tiba-tiba bikin kaget, dan sekarang bikin kesel. Tapi untungnya Jasmine cukup sabar menghadapi Gino.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran. Dan seperti biasa, akan selalu ada mahasiswa-mahasiswa yang melihat mereka dengan tatapan tajam dan bahkan beberapa di antaranya menatap mereka aneh. Terutama melihat Jasmine.
"Udah, cuekin aja," kata Gino seolah tahu apa yang ada di pikiran Jasmine.
Jasmine berhenti sebentar. Mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat. Setelah itu dia kembali berjalan tanpa perasaan risih lagi.
Saat sampai di parkiran, Gino meminta Jasmine untuk naik mobilnya saja. Tapi Jasmine menolak.
"Naik mobil gue aja."
"Nanti motorku gimana? Ditinggal gitu? Nggak mau aku."
"Biar nanti gue suruh orang buat anter ke rumah lo. Udah lo tenang aja. Motor lo pasti aman."
Jasmine tidak langsung setuju. Dia sempat berpikir beberapa detik.
"Lama deh."
"Aku bawa motorku aja lah."
"Enggak. Gue bilang lo sama gue ya sama gue!"
Dengan sangat terpaksa Jasmine akhirnya mau pergi bersama dengan Gino. Laki-laki yang dulu pernah membuat motornya lecet. Yang menganggap semua permasalahan bisa selesai hanya dengan uang. Sekarang, malah ada di dalam satu mobil.
--Takdir memang suka aneh deh. Oh God, sesempit inikah dunia? Dulu aku marah-marah sama dia. Benci banget sama dia. Sekarang dia...--
"Woy. Mikirin apalagi lo?" Gino menjentikkan jarinya di depan wajah Jasmine.
"Oh enggak. Yaudah yuk."
"Kayaknya lo banyak pikiran banget ya."
Ini adalah untuk pertama kalinya Jasmine sedekat ini dengan Gino. Tidak pernah sama sekali terpikirkan olehnya. Bahkan diawal-awal dia masuk Universitas Abiyaksa saja, dia tidak tahu siapa itu Dean Gino Abiyaksa. Seberapa populer dia. Dan seberapa banyak perempuan yang ingin dekat dengannya. Bisa dibilang, posisinya saat ini adalah yang diinginkan perempuan-perempuan itu. Tapi jujur, Jasmine tidak menginginkannya. Satu-satunya tujuannya adalah menolong. Karena tidak enak menolak perintah Pak Rio.
Baru lima menit mobil berjalan. Keheningan sudah tercipta. Mobil berisi dua orang, tapi seperti tak berpenghuni. Selain hanya terdengar suara bising knalpot mobil. Gino fokus melihat ke depan, sementara Jasmine melihat ke arah jendela mobil. Padahal yang dia lihat hanyalah pembatas jalan tol. Dan tidak akan terlihat dengan jelas juga, karena mobil yang terlalu cepat.
Tak ingin membiarkan momen terlalu akward. Gino memutar musik. Dan, lagu favoritnya adalah Lovely – Billie Eilish.
Begitu mendengar lagu itu. Jasmine langsung kaget dan memutar kepalanya ke kanan. Tidak lagi melihat ke jalan. Dia melihat Gino, yang ternyata begitu menikmati alunan musik itu. Lalu dia pun melakukan hal yang sama. Hanya bedanya adalah Jasmine memejamkan matanya. Kepalanya sesekali bergerak ke kanan dan ke kiri pelan-pelan.
Giliran Gino yang melihat ke kiri. Kaget melihat Jasmine yang seperti bernyanyi dalam diam.
Seorang Jasmine bisa sangat menikmati lagu mellow? Ada apa sebenarnya dengan kehidupannya?
"Yaahh, abis."
Kompak. Tanpa sadar mereka berdua kompak mengeluarkan kata yang sama. Lalu saling berpandangan satu sama lain.
"Lagunya enak," kata Gino. Dia putar kembali lagu itu.
Jasmine mengangguk setuju.
"Lo juga suka?"
Jasmine kembali mengangguk.
"Ternyata selera musik kita sama."
"Iya. Masih lama ya?"
"Bentar lagi. Paling 10 menit lagi sampe."
*7 menit kemudian.*
Ternyata waktu sepuluh menit yang dibilang Gino bisa ditempuh hanya dalam waktu tujuh menit. Gino dan Jasmine sudah sampai di tempat yang dituju. Sebuah Cafe bernama Benjiro Cafe. Tidak jauh beda dengan cafe-cafe pada umumnya.
Mereka keluar berbarengan. Berjalan beriringan. Persis seperti sepasang kekasih yang lagi menghabiskan waktu berdua.
Begitu masuk. Kekagetan Jasmine berlanjut. Ternyata Gino sudah reservasi tempat. Meja nomor 11.
"Lo mau pesen apa?" tanyanya setelah memanggil waiters.
"Apa aja."
"Itu bukan jawaban. Buruan pesen." Gino memperlihatkan daftar menunya.
"Emm, strawberry milkshake."
"Gue Latte Macchiato, Mas."
"Apalagi Kak?"
"Sama onion ring, boleh nggak?"
"Ya. Pesen aja apa yang lo mau."
"Udah itu aja, Mas. Makasih ya."
Sembari menunggu pesanan datang, Jasmine memulai bimbingannya. Lima menit setelah itu makanan datang. Tapi disaat yang bersamaan pula, Jasmine mendapatkan telepon dari Bude Dharma.
"Iya Bude, kenapa?"
"Anu nduk. Ibu," jawab Bude dari kejauhan. Terdengar sangat panik.
"Ada apa Bude? Mama kenapa?"
"Anu, Ibu..."
"Iya, Mama kenapa? Bikin ulah lagi?"
"Ndak. Ibu hilang. Ndak ada di rumah."
Mendengar kabar Mamanya hilang, Jasmine langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Kok bisa Bude?"
"Tadi katanya mau ngajak genduk ke makam. Tapi Bude bilang kamu ndak bisa karena sibuk. Terus nggak lama setelah itu, Ibu udah ndak ada."
"Yaudah, Bude tenang dulu. Biar aku yang cari Mama. Ok?!"
*Telepon ditutup.*
"Ada apa? Ada masalah?" Tanya Gino yang ternyata sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Jasmine.
"Mama nggak ada di rumah. Maaf ya. Aku harus cari Mamaku dulu."
Jasmine membereskan buku-bukunya, memasukkan lagi ke dalam tas.
"Gue anter."
"Enggak perlu. Aku bisa sendiri kok."
"Tapi gue maksa!"
Gino meninggalkan sejumlah uang di meja dan buru-buru mengikuti Jasmine. Dia bahkan membukakan pintu mobil untuk Jasmine.
Sepanjang jalan, wajah Jasmine tampak gusar. Dia tidak tenang. Memikirkan keadaan Mamanya.
"Mau ke mana ini?"
"Karawang."
Gino menengok.
"San Diego Hills," jawab Jasmine dengan tatapan lurus ke depan. Matanya sudah berair. Dengan satu kedipan saja pasti sudah jatuh butiran-butiran bening itu.
Kali ini Gino tidak mau mengajak Jasmine berbicara atau menanyakan sesuatu. Dia membiarkan Jasmine diam sepanjang perjalanan. Dia juga tidak mau memutar musik. Hanya saja isi kepalanya penuh dengan rasa penasaran terhadap perempuan yang kini ada di sebelahnya itu.
Mobilnya benar-benar di pacu dengan kecepatan tinggi. Gino tidak tahu apa yang terjadi. Tapi saat dia mendengar Jasmine bilang Mamanya hilang. Dan melihat kecemasan bercampur ketakutan di wajah Jasmine. Dia bisa memahami apa yang dirasakan Jasmine.
Setelah sekitar dua jam lebih perjalanan. Mereka sampai.
"Makasih. Kamu bisa balik sekarang. Nanti aku bisa naik taksi," kata Jasmine setelah itu dia langsung lari mencari sang Mama.
Gino hanya bisa diam. Dia tidak benar-benar pergi. Hanya mencari tempat yang strategis untuk memantau Jasmine dari kejauhan. Setelah berjalan agak jauh. Ada seorang perempuan berbaju hitam sedang duduk menghias bunga tabur diatas makam. Jasmine segera memeluk perempuan itu. Rasa khawatir yang sedari tadi terpasang di wajahnya seketika luntur.
Dari kejauhan, Gino terus menyaksikan momen-momen yang diciptakan oleh Ibu dan Anak itu.
"Itu Mamanya Jasmine? Cantik kayak anaknya."
Gino lalu tersenyum tipis. Lalu muncul lagi beberapa pertanyaan dibenaknya.
"Kenapa dia panik banget, ya, waktu tau Mamanya nggak ada di rumah? Padahal kan, cuman ke makam doang."
"Tapi itu makam siapa? Apa Papanya?"
"Ini bukan tempat makam sembarangan. Berarti dia orang kaya. Tapi kenapa dia kuliah sambil kerja?"
Isi kepalanya terus berputar memikirkan jawaban-jawaban yang sekiranya tepat untuk menjawab rasa penasarannya. Tapi dia belum puas.