Hari ini adalah hari ulang tahun Maya. Segala macam dekorasi sudah dipersiapkan untuk perayaan ulang tahunnya. Rumah disulap menjadi tempat pesta. Ruang tamu sudah dihiasi dengan bunga dan sedikit balon berwarna merah dan hitam. Warna kesukaannya. Meskipun sudah 46 tahun, tapi persiapannya tak kalah seperti remaja 17 tahun. Pokoknya heboh. Teman-teman sosialita, teman modelnya dulu, semua diundang. Hanya teman-teman masa kecilnya yang tidak di undang. Bahkan dia seperti enggan mengakui teman-teman masa kecilnya itu. Sejak menjadi seorang model ternama, Sekar Sasmaya seolah lupa dari mana ia berasal. Apalagi setelah masuk ke keluarga Abiyaksa. Semakin lupa bahwa dia masih menginjak bumi.
Dimulai dari pukul 9 malam, para tamu undangan mulai memenuhi rumah berlantai 2 itu. Sedangkan sang pemilik acara baru turun 5 menit setelahnya. Dengan memakai gaun hitam, rambut dikuncir kuda, lipstik merah menyala, Maya berjalan menghampiri Gita. Tak lupa dia memakai kalung berlian berwarna biru yang biasa disebut The Heart of Kingdom. Kalung yang terdiri dari potongan Ruby Burma dan berlian, kado dari suaminya tahun lalu.
Maya menghampiri Gita dan Wilan yang sedang berbincang hangat. Disusul oleh Rio yang nampak baru pulang dari kampus. Mereka bertiga berdiri mengitari meja berbentuk bulat.
"Sekarang aku tau kenapa kamu butuh persiapan lebih lama. Kamu terlihat sangat cantik," ucap Wilan sesaat setelah menyambut kedatangan istrinya.
"Ah, thank you honey," balas Maya.
Semua mata tertuju padanya. Itulah yang diinginkan Maya. Dia suka kalau menjadi pusat perhatian semua orang. Dan Gita sudah hafal betul dengan kelakuan ibu tirinya itu.
Sebentar lagi acara dimulai. Semua berkumpul. Kecuali Gino. Iya, tentu saja dia tidak akan bergabung. Akan menjadi sebuah keajaiban jika Gino mau berbaur dengan Maya, ditambah dengan teman-temannya, yang menurutnya itu combo menyebalkan. Dari pada hadir di acara ulang tahun Maya, Gino lebih memilih kumpul bersama dengan teman-temannya. Dan tidak ada yang bisa mencegah itu. Tapi, sebelum pergi, dia menyempatkan untuk menyapa kakak dan kakak iparnya. Dan, Maya juga.
" Selamat malam semua."
"Hei, Gino. Malam," jawab Rio.
"Kayaknya bajumu nggak masuk tema malam ini."
"Acara ini kayaknya kurang cocok buat aku. Mas Rio pasti ngerti lah."
Rio mengangguk. Memahami maksud Gino tanpa harus berkata apa-apa lagi. Begitu pun dengan yang lain, mereka tidak bisa mendebat atau memaksa Gino agar mau di rumah dan mengikuti rangkaian perayaan ulang tahun Maya. Itu sangat tidak mungkin. Rumah mewah itu sedang banyak tamu, jangan sampai orang-orang melihat seperti apa sebenarnya hubungan antara anak dan ibu tiri itu.
Untuk mengalihkan pembicaraan, Maya memanggil salah satu pelayan.
"Kamu nggak liat? Kami semua perlu minum. Gimana sih," ucap Maya ketus.
"Tolong! Tolong, Tante Maya. Jangan pernah lupa untuk mengucapkan Tolong kalau perlu bantuan sesuatu kepada orang lain."
"Ternyata Prince lebih pintar dari tante," imbuhnya dengan nada lebih pelan.
"Gino..." tegur Gita.
"Ok, kakak ku yang cantik. Tenang saja. Aku akan pergi kok. Gerah lama-lama ada di tempat kayak gini."
Gino berjalan menghampiri Kakaknya. Mencium kepala Gita, menepuk pelan bahu Rio, dan berbisik kepada Maya, "Happy birthday, Tante Maya. Semoga Tante segera sadar, kalau Tante nggak akan bisa mendapatkan apa yang Tante inginkan. Selama ada aku." Disertai dengan senyuman tipis. Wajahnya terlihat jelas sekali dia puas sudah mengatakan itu kepada Maya.
"Baiklah, selamat bersenang-senang semuanya."
"Hati-hati, nak. Jangan ngebut-ngebut," pesan Wilan.
Sebuah pesan yang sering sekali diucapkan oleh Wilan kepada Gino. Wilan tidak ingin kejadian bertahun-tahun lalu itu kembali menimpa putranya.
***
Pesta sudah selesai. Semua berkumpul di ruang keluarga. Sementara Gita sibuk menelepon ke rumah, memastikan putranya apakah sudah tidur atau belum, Maya malah sibuk memainkan perhiasan-perhiasan yang ia kenakan. Sibuk membenarkan cincin dan kalung, seolah salah pakai. Padahal sudah terpasang dengan baik. Malam ini Maya merasa dirinya bak ratu dari kerajaan-kerajaan. Raut wajahnya bahagia sekali.
Wilan dan Rio, terlibat sebuah pembicaraan mengenai mega proyek yang akan dijalankan oleh Abiyaksa Holding Company mulai bulan depan. Besar harapan mereka, proyek itu berjalan dengan lancar tanpa kendala.
Mega proyek ini adalah renovasi besar-besaran salah satu Apartemen di Jakarta Selatan, yang kebetulan 60% sahamnya sudah menjadi milik AHC. Renovasi dilakukan dengan harapan, bisa membawa warna baru, suasana baru dan tampilan yang lebih fresh.
Sebuah kebahagiaan kecil yang nyata. Melihat Wilan hari ini wajahnya dipenuhi dengan senyuman. Bisa berkumpul dengan anak dan menantu, bersenda gurau, membicarakan bisnis keluarga yang semakin berkembang pesat.
Dan tawa-tawa kecil itu terhenti begitu Rio minta ijin untuk sejenak mengangkat telepon.
"Maaf. Aku angkat telepon dulu ya, Pa."
Wilan mempersilakan.
Rio sedikit menjauh dari Wilan dan Gita. Sedangkan Maya, melihat raut muka serius Rio, malah mendekati. Dia penasaran siapa yang sedang berbicara dengan Rio dan apa yang mereka bicarakan. Tapi Rio menyadari hal itu dan segera menutup teleponnya untuk segera kembali menghampiri Wilan dan Gita.
"Aku harus segera pergi sayang," ucapnya kepada Gita.
"Kenapa? Ada apa?"
"Fabian, anaknya Pak Salman mengalami kecelakaan. Dia salah satu mahasiswaku. Aku harus segera ke sana."
"Astaga. Dia temannya Gino, kan? Apa dia sama Gino saat kejadian?" Tanya Gita panik.
"Gita, cepat telepon Gino!" Pinta Wilan.
Gita mengambil ponselnya dan menghubungi Gino. Tapi tidak diangkat. Berkali-kali telepon diulangi, tetap saja tidak diangkat. Kepanikan semakin menjadi. Sampai akhirnya Rio kembali menelepon nomor yang tadi telepon dia untuk menanyakan apakah Bian bersama dengan seseorang atau sendiri. Dan ternyata jawabannya adalah Bian sendirian.
"Papa, Gita, kalian tenang ya. Gino nggak ada di tempat kejadian. Bian sendiri saat kecelakaan itu."
"Syukurlah," ucap Wilan penuh kelegaan.
Mendengar kabar Bian, Wilan teringat sebuah peristiwa saat usia Gino 15 tahun. Kejadian memang sudah lama, tapi masih membekas di ingatannya. Ketika anak bungsunya itu tiba-tiba mengambil kunci mobil dan membawa kabur mobil mercynya. Belum terlalu jauh dari rumah, Gino sudah menabrak seorang pengendara motor. Lebih tepatnya seorang penjual donat keliling. Kecelakaan itu mengakibatkan si pengendara motor terluka parah di bagian kaki kanannya. Sementara Gino hanya luka di pelipis mata kirinya. Luka di wajah Gino saat ini memang sudah hilang, tapi rasa takut akan kejadian itu terulang lagi, terus menghantui Wilan. Meskipun sering berdebat, tapi yang namanya seorang Ayah pasti tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa anaknya. Yang menjadi masalah selama ini adalah, cara Wilan dalam mengingatkan dan memberitahu putranya akan suatu hal. Dan juga terlalu menuntut Gino untuk menjadi seperti yang dia inginkan. Walaupun sebenarnya, jika ditarik kesimpulan, pemicu paling utama pertengkarannya dengan Gino selama ini sebenarnya adalah karena kehadiran Maya.
***
Kegiatan pagi ini di awali dengan pergi ke kantor polisi. Iya. Serena dan Gino diharuskan ke kantor polisi untuk memberikan keterangan mengenai kecelakaan itu. Meskipun tidak ada sangkut pautnya, tapi di ponsel Bian ada tiga nama yang terakhir dihubungi sebelum kecelakaan. Mereka adalah Serena, Gino dan Jasmine.
Jasmine adalah nama yang paling terakhir dihubungi. Lantas apakah kecelakaan itu ada hubungannya dengan Jasmine?
Jadwal pemanggilan Jasmine adalah pukul 11.00 siang ini. Dengan sangat terpaksa, dia harus ijin dari kampus. Sama dengan Gino dan Serena, Jasmine juga akan dimintai keterangan. Barangkali penyidik mendapatkan bukti mengenai kecelakaan itu. Karena polisi menduga ini bukanlah kecelakaan tunggal. Dari olah TKP ada jejak mobil lain yang bannya berbeda dengan ban mobil Bian.
Untuk pertama kalinya Jasmine harus berurusan dengan kepolisian. Tidak seharusnya terlibat dalam masalah ini. Karena dari awal Jasmine tidak mau tahu apa pun tentang Bian. Apalagi setelah kejadian di kampus dan di rumahnya beberapa hari yang lalu. Bahkan Jasmine sangat berharap agar di jauhkan dari orang yang namanya Fabian itu.
Langkahnya gamang saat memasuki gerbang kantor polisi. Ingin rasanya dia marah. Tapi tidak tahu kepada siapa. Kenapa harus terlibat dengan masalah konyol seperti ini? Bukan maksudnya Jasmine tidak berempati atas musibah yang di alami Bian. Tapi kenapa dia harus ikut memberikan keterangan? Memangnya apa hubungannya kecelakaan Bian dengan dirinya? Pikiran Jasmine terus berkecamuk. Dia berharap ada seseorang yang bisa menguatkan mentalnya saat ini. Seseorang yang mengerti seperti apa perasaannya.
Harapan tinggal lah harapan. Memang benar apa kata orang, jangan menaruh harap kepada manusia kalau tidak mau kecewa. Semua sibuk dengan masalah masing-masing. Jadi, yang harus menguatkan adalah diri sendiri. Sebuah mantra ajaib keluar dari mulutnya,
"Jasmin itu hebat. Jasmine kuat. Jasmine orang yang tangguh. Kamu pasti bisa lalui ini. It's oke. Mereka hanya meminta keterangan aja. Nggak lebih. Ayo, kamu bisa menghadapi ini, Jasmine." Dengan satu tarikan napas dan menghembuskannya pelan, dia mantap bertemu dengan tim penyidik kepolisian.
***
*Ruang ICU.*
Setelah mendapatkan penanganan pertama, sekarang Bian ada di ruangan ICU. Bunyi alat-alat medis itu terdengar jelas. Bian masih belum sadar karena luka yang cukup serius di kepala dan lengan kanan. Gino dan Serena menunggu di luar ruangan. Mereka berdua duduk di kursi. Keduanya memasang wajah cemas dan sedikit kelelahan. Iya. Sudah berjam-jam, Gino dan Serena menjaga Bian di Rumah sakit. Kedua orang tua Bian masih ada di Luar Negeri. Belum bisa pulang, karena terkendala cuaca yang buruk. Rencananya, mereka akan pulang ke Indonesia sekaligus membawa Bian ke Singapura untuk menjalani perawatan intensif di sana.
Melihat Serena semakin lesu, Gino berinisiatif untuk membeli air minum. Dia pamit pergi ke kantin sebentar. Tapi baru saja dia berdiri, Bianca datang.
"Kenapa gue jadi orang paling terakhir yang tau masalah ini?" protesnya kepada Serena.
"Bianca..." Serena menarik tangan Bianca untuk dibawa sedikit menjauh. Diikuti oleh Gino.
Setelah mereka bertiga ada di koridor, Bianca melanjutkan ocehannya.
"Jadi, siapa yang mau jelasin ke gue?"
Gino hanya diam, melipat kedua tangannya di dada. Karena dia sadar, jelas ini bukan salahnya. Awal dia tahu kabar tentang Bian, Gino langsung telepon Serena dan meminta Serena untuk memberitahu Bianca juga. Tapi begitu sampai di rumah sakit, ternyata Serena hanya datang sendiri. Masalah kenapa Bianca tidak bersama dengan Serena pada saat itu, entah kenapa Gino lupa menanyakan. Mungkin karena sudah panik dengan kondisi Bian. Pikirannya menjadi kacau.
"Gue sebenernya mau telepon elo, Bi. Tapi gue lupa. Ya, namanya orang panik. Dan gue juga buru-buru. Gue minta maaf deh. Yang penting kan sekarang lo udah tau gimana keadaannya Bian."
"Parah banget ya, lo. Tega," ucap Bianca masih tak terima.
"Gue nggak ada maksud kayak gitu Bianca. Udah deh jangan lebay," jawab Serena enteng.
"Lebay? Jadi menurut lo gue panik dengan kondisi Bian yang kayak gini, itu lebay? Wow, Serena."
Bianca tepuk tangan mendengar kata lebay keluar dari mulut Serena. Sebenarnya Bianca tahu alasan kenapa Serena tidak memberitahunya mengenai kabar Bian pada saat itu juga. Semua itu karena Serena ingin berduaan dengan Gino di rumah sakit. Bianca tahu betul seperti apa jalan pikiran sahabatnya itu. Mau dalam keadaan seperti apa pun kalau ada kesempatan untuk berduaan dengan Gino, pasti akan dia lakukan. Egois.
"Bisa diem nggak kalian berdua. Kepala gue mau pecah dengerin kalian ribut!"
Serena dan Bianca langsung diam. Bibirnya terkunci. Meskipun keduanya masih ingin melanjutkan perdebatan yang sebenarnya sangat tidak perlu dilakukan.
Gino memilih pergi ke balkon rumah sakit dan meninggalkan dua gadis itu dalam keheningan. Setelah seharian ini berkutik dengan masalah Bian dan kantor polisi, membuatnya lelah bukan hanya secara fisik. Dia butuh charge energi. Mungkin dengan melihat suasana langit sore menjelang malam membuat pikirannya sedikit lebih damai.