webnovel

Jeda Sejenak | Pukul 10.01

Sial dan Jasmine sepertinya menjadi sepasang kata yang sangat ideal, kompak dan tak terpisahkan. Bagaimana tidak? Dalam satu minggu pasti ada saja hal aneh yang dialami. Seperti hari ini. Dia lupa kalau kuliahnya libur. Padahal sesaat setelah bangun tidur dia sudah membaca pesan di grup WhatsApp kalau dosennya berhalangan hadir karena lagi berduka. Ibunya berpulang.

"Ufff Jasmine, ufff," gerutunya setelah menyadari keteledorannya.

Dia kembali lagi ke vespa kesayangannya, dan dipakai lagi helm putihnya. Dari pada kembali pulang, Jasmine memilih untuk jalan-jalan keliling kota. Kata orang, ini adalah salah satu cara sederhana untuk membasmi penat dan kegalauan.

Sebenarnya hari ini dia tidak galau. Hanya merasa lelah saja dengan keadaan. Dan tidak apa-apa untuk mengeluh sesaat. Mengeluh bukan berarti lemah. Dan bukan berarti menyerah. Mengeluh adalah tanda ada beban emosional yang perlu dikeluarkan. Dan itu hanyalah jeda sesaat untuk beristirahat sebelum kembali beranjak. Sekedar mengisi energi semangat. Untuk menjadi hebat terkadang kita perlu sambat. Karena berjuang adalah pertarungan antara harapan dan kenyataan.

Selain Tuhan dan Galina, vespa adalah tempatnya berkeluh kesah yang selanjutnya. Jika dulu ada Mama, Papa, dan Kay yang selalu siap siaga menjaga dan melindungi, sekarang dia harus bisa menjaga dirinya sendiri dan juga melindungi sang Mama. Tanpa Papa dan Kay lagi.

"Papa cinta pertamaku. Dan Kay itu my partner, my personal bodyguard. Tapi Karena cinta pertamaku itu, aku sama Mama harus kehilangan Kay."

Tidak pernah terlintas di pikirannya, bahwa anak kecil yang dulu hidupnya diwarnai kebahagiaan dan selalu dimanjakan oleh kemewahan, kini harus berjuang sendiri menghadapi kerasnya kehidupan.

Masalah, ujian, cobaan itu tamu yang tak diundang dalam kehidupan. Terkadang datang dengan tanda-tanda, tak jarang juga secara tiba-tiba. Tugas manusia hanyalah menjalani setiap fase kehidupan yang ditakdirkan. Tanpa menuntut Tuhan agar rancangan-Nya selalu sejalan dengan rencananya.

"Oh my God. Jasmine inget, Tuhan itu udah milih kamu untuk nerima ini semua. Artinya Tuhan percaya kamu mampu. Kamu bisa. Kamu itu orang pilihan."

Motornya terus berjalan, dan isi kepalanya juga terus memutar kejadian demi kejadian yang membawanya sampai pada titik sekarang. Bukan perjalanan yang mudah. Jasmine melalui begitu banyak pergulatan batin. Mulai dari yang awalnya dia protes, menolak, dan mengabaikan, sampai pada akhirnya dia menyadari kesalahan itu dan mencoba untuk berbesar hati menerima. Mengizinkan semua rasa emosionalnya untuk masuk di kehidupannya. Baik itu marah, sedih, kecewa, benci. Setelah itu dia belajar seni untuk melepaskan. Seperti halnya saat dia legowo menerima luka, maka setelah itu dia juga mengizinkan segala bentuk kesedihannya itu untuk pergi. Seperti asap hitam yang keluar dari dalam tubuh ketika menghembuskan napas.

"Mama, oh iya. Aku belum telfon Mama. Udah bangun apa belum ya dia."

Jasmine berhenti sebentar di pinggir jalan. Berteduh di bawah pohon. Sekitar lima menit dia terus mencoba menghubungi Mama Helen. Berkali-kali panggilan teleponnya itu tidak diangkat. Akhirnya dia ganti menelepon Bude Dharma.

"Halo Bude. Iya ini Jasmine. Bude udah ke rumah?"

"Yo uwes tho nduk. La ini kan nomer rumah kamu," jawab Bude yang masih kental dengan logat Jawanya.

"Oh iya ya. Maaf Bude. Aku panik. Soalnya Mama di telfon dari tadi nggak di angkat-angkat."

"Iya mesti ndak diangkat nduk. Wong Mamamu masih tidur."

"Oalah.. Yaudah kalau gitu. Aku bisa tenang kalau Bude udah ke rumah. Abis ini minta tolong bangunin Mama ya Bude. Udah waktunya minum obat soalnya."

"Beres. Serahkan semua sama super Bude."

"Ih, apa sih Bude. Garing tau hahaha."

"Yaudah, Bude tutup teleponnya ya. Mau lanjut beres-beres."

Tut tut tut...

Suara telepon sudah dimatikan. Padahal Jasmine ingin mengucapkan terima kasih.

Bude Dharma sudah dianggap Jasmine seperti keluarganya sendiri. Sebab, sejak kepindahannya ke kontrakan, Bude Dharma adalah orang pertama yang menerima kehadirannya dengan sangat baik. Dan sejak saat itu pula, Bude Dharma mau membantunya menjaga Mama Helen. Berbagi tugas saat Jasmine kerja atau kuliah. Meskipun jarak rumah mereka agak jauh, tapi Bude mau setiap hari bolak-balik.

Helen tidak bisa dibiarkan sendiri di rumah. Karena pasti akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti kasus penyiraman air pel waktu itu. Atau bisa jadi juga, dia akan tidur seharian. Iya, seperti itulah kondisi Mama Jasmine saat ini. Dia mengalami trauma berat akibat kejadian beberapa tahun yang lalu. Dia belum siap menerima kenyataan harus kehilangan dua orang sekaligus dalam hidupnya. Bukan hanya itu, semua aset kekayaannya juga harus lenyap karena disita pihak bank. Dan kedua hal tersebut terjadi secara tiba-tiba.

Semua keadaan berubah drastis. Helen belum siap dan terlalu larut dalam kesedihannya yang mendalam, hingga akhirnya mengalami Prolonged Grief Disorder, yang membuatnya jadi susah tidur di malam hari. Biasanya Helen baru akan tidur dini hari. Yang lebih parahnya lagi, bahkan dia menjadi ketergantungan dengan minuman beralkohol. Satu tahun lalu bahkan kebiasaan itu masih dilakukan. Meskipun Helen tidak pernah mengakui itu, tapi Jasmine sudah hafal apa yang dilakukan Mamanya. Helen menyembunyikan botol-botol minumannya di bawah kolong tempat tidur atau di dalam laci. Dan kalau sudah begitu, Jasmine pasti akan marah.

Ada kalimat yang selalu Jasmine ucapkan saat kondisi Mamanya seperti itu.

"Ma, emangnya Mama mau kayak gini terus? Mama nggak mau sembuh? Jasmine sedih loh kalau Mama nggak mau dengerin apa kata dokter."

Dan apa tanggapan Helen? Dia hanya diam dan menunduk. Seperti anak kecil yang baru saja dimarahi ibunya.

Bagi Jasmine, Bude Dharma adalah malaikat penjaga yang di utus Tuhan untuk sementara waktu menggantikan Helen yang benar-benar tidak bisa melakukan aktivitas seperti Ibu Rumah Tangga pada umumnya. Terbayang seperti apa riweuhhya Jasmine harus membagi waktu untuk kerja, kuliah dan mengurus rumah. Belum lagi tugas-tugas kuliah yang kadang-kadang datang seperti pendemo.

"Oke. Tenang Jasmine. Mama udah aman sama Bude. Sekarang waktunya mikirin perut kamu."

Dia melihat sekeliling. Dan di depan, ada Abang tukang bakso gerobak biru. Ada tulisan, Bakso Malang Mang Ujang. Vespanya berhenti di sebelah gerobak.

"Mang baksonya satu ya."

"Siap. Mau minum sekalian atau gimana teh?" Tanya Mang Ujang.

"Iya. Minumnya es teh aja."

"Siap atuh."

Orang sunda penjual bakso Malang. Sebuah perpaduan yang epic sekali, bukan? Tapi itu bukan masalah. Yang paling penting adalah perut bisa terisi. Karena kalau perutnya keroncongan, dia akan marah-marah.

Selama hampir 15 menit Jasmine menghabiskan waktu untuk makan bakso dan istirahat sejenak. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan tanpa tujuannya itu. Selama perjalanan itu, ada banyak hal yang dia lihat dari sisi yang berbeda.

Di depan ada jembatan penyeberangan. Tidak jauh dari situ ada sepasang suami istri yang mendorong gerobak. Dan di dalam gerobak itu, ada dua anak kecil. Mereka saling bercanda satu sama lain. Tertawa lepas seperti tanpa beban. Jasmine yang melihat kejadian itu, seketika melihat dirinya sendiri. Dua anak kecil itu mungkin tidak seberuntung dirinya yang bisa mengenyam pendidikan sampai kuliah, memiliki tempat tinggal yang layak. Tapi dia juga tidak seberuntung dua anak kecil itu yang masih memiliki keluarga lengkap. Setiap hari di dampingi oleh kedua orang tua. Merasa aman dan terlindungi dengan kehadiran kedua orang tua. Kembali lagi, hidup tidak untuk dibandingkan bukan? Hidup ini ada untuk dijalani. Kuncinya adalah bersyukur. Karena kalau bersyukur, seperti apa pun keadaannya pasti akan selalu baik-baik saja.

Meninggalkan momen 'keluarga bahagia' itu, kini Jasmine membalikkan vespanya ke arah Pondok Indah. Sebuah kawasan perumahan elite. Tempatnya menghabiskan waktu semasa kecil. Dia berkeliling-keliling kompleks. Melihat jajaran rumah mewah dari ujung ke ujung. Dan tak terasa, dia sampai di sebuah sekolahan yang tidak jauh dari perumahan itu. Little Bee Islamic International School. Itu adalah sekolahan Jasmine dulu. Dan tepat di sampingnya ada sebuah taman yang memang sengaja dibuat pihak sekolahan di luar gedung sekolah. Biasanya dipakai untuk khalayak umum di hari libur. Jasmine menghentikan vespanya di taman itu. Dari jauh, ada seorang anak laki-laki yang bermain ayunan. Rambutnya keriting agak panjang. Matanya belok dan kulitnya putih. Lucu sekali. Melihat anak itu sendirian, Jasmine mencoba mendekat. Dia duduk di ayunan sebelahnya.

"Hai," sapanya.

Anak kecil itu hanya diam sambil terus mengayun ayunannya.

"Kamu sendirian? Boleh duduk disini nggak?"

"Kan itu udah duduk," jawabnya singkat.

"Oh iya ya."

"Aku bisa tebak, pasti kamu sekolah di sebelah situ ya. Dan kamu lagi bosen nunggu jemputan, mangkanya kamu main disini."

Anak laki-laki itu merespons tebakan Jasmine dengan mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tapi saat ketahuan, dia buru-buru membuang muka dan lanjut mengayunkan ayunannya.

Melihat tingkah si anak laki-laki itu, Jasmine tertawa kecil. Dan membuatnya semakin ingin bertanya.

"Kamu tuh lucu banget sih."

"Kenapa diem aja dari tadi? Aku nanya loh," Jasmine terus saja membujuk agar si anak mau membuka suaranya.

"Kata Mami aku nggak boleh ngomong sama orang yang nggak di kenal."

"Oh gitu? Iyasih Mami kamu bener. Yaudah, gimana kalau kita kenalan dulu. Biar kita bisa ngobrol."

Jasmine menyodorkan tangannya. Tapi si anak laki-laki tetap tidak mau merespons. Meskipun dari gerak-geriknya dia ingin sekali ngobrol bersama Jasmine.

"Namaku Jasmine. Kamu siapa?"

Jasmine terus menyodorkan tangannya. Sampai akhirnya anak laki-laki itu menerima uluran tangan Jasmine dan mau menjawab meskipun dengan suara lirih.

"Prince."

Setelah itu dia buru-buru melepaskan jabatan tangannya.

"Prince?? Wow keren banget loh nama kamu."

Prince kembali melihat Jasmine. Agak tersenyum sedikit.

"Jadi, kamu lagi nungguin Mami kamu ya? Mungkin dia telat karena ke jebak macet."

"Bukan. Kata siapa aku nungguin Mami. Kali ini tebakanmu salah."

"Yaaa, salah ya. Emm.. Tunggu-tunggu, biar aku tebak lagi."

Prince menghentikan ayunannya. Dia penasaran dengan tebakan Jasmine selanjutnya. Apakah benar atau salah lagi.

"Oh, aku tau. Kamu lagi nungguin Daddy kamu?"

Prince menggeleng.

"Oma?"

Prince menggeleng lagi. Kali ini disertai dengan tawa kecil.

"Opa?"

Lagi-lagi Prince menggeleng. Tawanya semakin lebar sekaligus semakin penasaran dengan tebakan-tebakan Jasmine selanjutnya.

Jasmine mengangkat tangannya. "Oke. Aku nyerah."

"Ah kamu payah. Masa nyerah?"

Prince menunggu Jasmine untuk kembali menebak. Tapi sudah. Jasmine tidak ingin memutar otaknya lagi untuk membuat Prince bersuara. Karena sepertinya dia mulai lupa dengan pesan Maminya.

"Oke. Aku coba sekali lagi ya. Tapi kalau aku bener kita berteman. Gimana?"

"Deal," ucapnya yakin. Sekarang malah dia menyodorkan tangan duluan.

"Ooh, kali ini pasti bener. Kamu lagi nungguin Pak sopir. Iya kan?" ucap Jasmine sedikit berteriak.

"Kok Pak Sopir sih??! Hahaha kamu salah lagi."

"Yah, gagal temenan deh kita."

Dan akhirnya Prince benar-benar tertawa.

"Iya deh nggak apa-apa. Karena kamu baik. Jadi boleh temenan sama aku."

"Bener?"

Prince mengangguk, "Iya, Aunty Disney."

"Aunty Disney??"

"Iya. Nama kamu Jasmine kan? Seperti yang ada di film Disney, Aladin."

Jasmine terkejut tapi dia senang. Bertemu dengan bocah selucu Prince.

"Jadi Aunty Disney sama Prince mulai hari ini berteman."

Prince mengangguk dengan pasti. Tak lupa senyuman manisnya.

"Nah gitu dong. Harus tersenyum biar makin ganteng."

"Uhum. Tau nggak? Hari ini aku dijemput sama Uncle loh." Dia melihat ke sekitar.

"Nah itu dia Uncle udah datang."

Jasmine melihat ke arah dimana tangan Prince menunjuk.

Oh my god. Gino???

"Uncle..."

Prince berlari menghampiri Gino. Dan Gino langsung membentangkan tangannya menyambut kedatangan Prince. Dalam hitungan detik, Prince sudah ada dalam dekapan Gino. Mereka saling memeluk satu sama lain. Gino bahkan berkali-kali mencium kening Prince. Seperti bukan Gino yang selama ini dikenal Jasmine. Sangat jauh berbeda.

Setelah beberapa detik mereka saling memeluk. Prince turun dari gendongan Gino dan menarik tangan Gino untuk mendekat ke Jasmine yang masih duduk di bangku ayunan.

"Ini Uncle ku."

Dua pasang mata terlibat adu pandang tapi dalam keadaan kaku. Tidak menyangka satu sama lain.

"Aunty, nggak mau kenalan juga sama Uncle G? Uncle baik kok Aunty."

Jasmine masih diam. Begitu pun dengan Gino.

"Aunty Disney." panggil Prince sekali lagi.

"Aunty Disney?"

"Uhum, karena namanya Jasmine, jadi Prince manggilnya Aunty Disney, Uncle."

"Yaudah kita pulang yuk, Prince."

"Tapi, Uncle belum kenalan sama Aunty Disney."

"Uncle udah tau. Kan tadi Prince udah bilang. Jadi sekarang kita pulang, karena Mami udah nungguin di rumah. Oke?"

"Oke deh Uncle. Aunty Disney, aku pulang dulu ya."

"Oke sayang. See you. Ingat jangan lupa?"

"Tersenyum," jawab Prince.

Gino kaget melihat kedekatan keponakannya dengan Jasmine. Sejak kapan mereka akrab seperti itu? Sudah berapa lama mereka kenal? Tak habis pikir Gino menyaksikan pemandangan yang baru saja dilihatnya.