webnovel

Family Goals? | Pukul 07.07

Sarapan menjadi salah satu momen penting bagi keluarga untuk berkumpul, sebelum masing-masing beraktivitas. Terlebih bagi keluarga yang memiliki ritme bekerja lebih sibuk dibanding orang-orang yang bekerja pada umumnya.

Keluarga Abiyaksa pun melakukan itu. Tentunya dengan versi mereka. Mereka punya banyak sekali aturan-aturan. Seperti, peraturan pertama saat ada di rumah adalah sarapan bersama. Itu harus. Tidak boleh absen dengan alasan yang tidak jelas. Kecuali harus menghadiri rapat penting secara mendadak. Dan peraturan kedua, tidak boleh meninggalkan meja makan sebelum makanan habis.

Pukul 07.00 Kiki sudah menghidangkan semua menu di meja makan. Ada nasi goreng, mie goreng, udang saus mentega, dan yang tidak boleh ketinggalan, roti beserta dengan selai kacang dan coklat.

Tidak lama setelah itu, semua anggota datang dan duduk di tempat masing-masing. Minggu ini keluarga Abiyaksa full team ada di rumah putih. Sebutan untuk rumah utama milik Abiyaksa. Dan biasanya kebersamaan itu justru membuat Gino malas untuk bergabung dan makan bersama. Meskipun selalu gagal, tapi dia selalu mencari alasan biar bisa menghindari sarapan bersama.

"Gino mana?" Maya tiba-tiba membuka obrolan begitu dia sampai di meja makan.

"Mungkin sebentar lagi dia turun," jawab Gita.

"Kiki, coba kamu ke atas, panggil Gino," pinta Wilan.

"Baik, pak."

Tak lama setelah itu Kiki balik lagi tanpa Gino.

"Maaf, Pak. Sepertinya Mas Gino masih tidur. Kiki udah ketok-ketok pintunya tapi ndak dijawab."

"Ya sudah, biar saya aja yang ke atas. Kamu boleh kembali ke dapur."

Kiki mengangguk.

Wilan beranjak dari tempat duduknya dan hendak membangunkan putranya. Tapi Gita mencegah, "Biar Gita aja Pa."

Kita pasti tahu apa yang akan terjadi jika Wilan berhadapan langsung dengan Gino. Hanya berdua saja.

Dan bujukan Gita selalu berhasil. Gino mau turun dari kamarnya. Meski masih dengan muka bantal, rambut gondrongnya dibiarkan terurai, kaos lekbong abu-abu dan celana pendek hitam. Brewoknya juga terlihat mulai menebal.

Tempat duduknya ada di depan sang kakak. Itu artinya ada di sebelah Sekar Sasmaya.

"Putra Wilantara Abiyaksa kok seperti ini," celetuk Maya.

Gino yang baru saja menyendok nasi goreng kesukaannya pun meletakkan kembali sendoknya. Suara perpaduan antara sendok dan piring terdengar keras.

"Maksudnya apa?!"

"Tante Maya ini masih pagi. Please, jangan mancing keributan."

"Gita, kamu jangan selalu membela adik kamu. Dia itu salah. Harus dikasih tau. Biar dia jadi orang bener."

Gino menghembuskan napasnya cepat, "Kayak hidup lo udah bener aja."

Preenngg...

Pertengkaran dimulai tepat tujuh menit setelah Kiki selesai menyiapkan sarapan. Wilan meletakkan garpu dan sendok secara bersamaan dengan keras. Pandangannya tetap lurus ke depan. Tanpa melihat orang-orang yang ada di sekelilingnya, lantas dia berucap, "Gino. Bicara yang sopan!"

Tak menanggapi ucapan Papanya, Gino malah memundurkan kursinya dan memilih untuk kembali ke kamar.

"Gino stop. Balik lagi. Kita belum selesai sarapan," pinta Gita.

"Udah kenyang."

"Gino, udah. Jangan kayak anak kecil. Kita akan sarapan bareng. Setelah itu terserah kamu mau ngapain."

Dengan wajah terpaksanya, Gino kembali duduk dan melanjutkan sarapannya.

Sementara Rio yang ada di samping Gita, hanya diam dan berusaha menikmati makanannya. Kalau sudah seperti itu dia tidak mau terlalu ikut campur. Karena bagaimana pun juga, dia adalah seorang pendatang di keluarga Abiyaksa. Jadi dia lebih memilih untuk mengamati saja. Dengan selalu ada untuk keluarga Abiyaksa tanpa harus membuat mereka risih atas kehadirannya adalah hal yang paling tepat. Rio sangat menyayangi istrinya, itu lah mengapa dia diam saat Gita sedang berbicara dengan keluarganya. Rio juga sangat menghormati dan menghargai keluarga istrinya. Itu sebabnya dia berusaha untuk tetap jalan dalam koridor yang seharusnya. Tanpa melewati batasan-batasan.

Keluarga Abiyaksa ini bisa dibilang sebagai keluarga konglomerat di Indonesia. Keluarga pebisnis yang sangat terpandang. Di balik hiruk-pikuk permasalahan internal keluarga mereka, keluarga Abiyaksa terkenal sebagai keluarga yang dermawan. Suka menolong dan ramah.

Orang-orang menyematkan julukan 'keluarga impian atau family goals' untuk keluarga Abiyaksa ini.

***

"Gimana kabarnya hari ini Ma?"

Tidak ada jawaban. Hanya terlihat wajah yang melamun. Pandangannya lurus ke depan dengan tatapan mata kosong.

"Mama mau makan apa?" tanyanya sekali lagi.

Masih tidak ada jawaban. Jasmine menghela napas panjang dan menghembuskan perlahan, lalu mengamati wajah ayu sang Mama.

"Maa..." tangannya menyentuh pundak Helen. Membuatnya kaget. "Are you oke, Ma?"

Dia hanya mengangguk pelan lalu tersenyum tipis. Senyum yang sebenarnya tidak mengartikan apa pun. Tapi tidak apa-apa. Paling tidak pagi ini Jasmine melihat bibir Mamanya itu sedikit mengembang.

"Ma, lihat. Hari ini Jasmine masak makanan kesukaan Mama loh."

Jasmine menunjukkan udang sop buntut dan Ayam goreng pedas manis. Helen kembali tersenyum. Pasalnya sop buntut itu adalah masakan dengan resep keluarga. Ada rasa khas yang membuatnya beda sari sop buntut orang-orang. Dan sejauh ini hanya Jasmine yang rasa masakannya sama dengan resep sang nenek. Bahkan Helen sendiri dulu selalu gagal saat memasak makanan itu. Selalu ada rasa yang kurang.

"Mama suka? Ok, kalau gitu sekarang Mama harus makan yang banyak. Biar Mama cepet sehat."

Telaten sekali Jasmine meladeni Mamanya. Dia mengambilkan satu centong nasi beserta dengan udang favorit Helen. Lalu mendekatkan sop buntut ke piring Helen dan dibarengi Ayam.

Helen adalah segalanya bagi Jasmine. Dia akan melakukan apa pun demi Helen. Bahkan dia rela kuliah sambil bekerja juga demi sang Mama. Tidak ada harapan kalau hanya mengandalkan tabungan Mamanya. Kalau tidak ada pemasukan sama sekali, lama-lama akan habis juga.

"Ma, Jasmine mau cerita ke Mama. Jadi, kemarin pas di lampu merah, Jasmine ketemu sama orang yang nyebelin banget. Dia bikin aku kaget, Ma. Masak dia klakson mobilnya kenceng banget. Udah gitu mukanya jutek banget."

Sebelum dia melanjutkan ceritanya, dilihatnya sang Mama, "Kayaknya dia lupa deh Ma, caranya senyum."

Helen tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar dari dua senyum sebelumnya. Bibir Jasmine ikut mengembang. Betapa bahagianya pagi ini. Melihat Mamanya berkali-kali tersenyum. Dia bahkan langsung memeluk dan mencium Helen.

"Mama tau nggak? Jasmine seneng banget kalau lihat Mama senyum. Senyumnya Mama itu seperti pelangi buat Jasmine. Jadi, Mama harus lebih sering senyum ya. Biar hari-hari ini terasa lebih berwarna dan indah. Seindah senyuman Mama."

Setiap hari semangatnya itu bertumpu pada senyuman Helen. Meskipun kadang senyum itu tidak terlihat, tapi Jasmine selalu memiliki secuil harapan akan hal itu. Dia melewati jam demi jam dengan mengiming-imingi dirinya sendiri bahwa saat kembali ke rumah setelah penat bekerja dan kuliah, dia akan melihat Mamanya tersenyum menyambutnya di pintu. Lalu memeluknya dengan hangat. Pelukan yang akan meruntuhkan segala rasa lelah yang menempel di badan. Namun itu hanya seperti sebuah harapan yang tidak menjanjikan. Tidak ada kepastian kapan bisa terwujud. Tapi keyakinan selalu ada.

Keadaan, please jangan mematahkan harapan gadis bersuara lembut itu. Tidak ada salahnya bukan, memiliki harapan yang indah? Lagi pula bukankah kita harus yakin bahwa sesuatu yang baik pasti akan menghampiri kepada siapa yang memiliki harapan? Bukankah pelangi juga akan muncul setelah langit mendung?