webnovel

BAB 4 : RENCANA JOIVANO

"Apa, Dok? Anak saya hamil?" Maharani berdiri dari duduknya hingga membuat kursi itu tergeser kebelakang hampir jatuh.

"Dokter jangan ngada-ngada, Dok, mana mungkin anak saya hamil, dia masih SMA." Teriak Maharani tak percaya dengan kenyataan yang di dengar. Amarahnya sudah memuncak, bahkan dia sudah memikirkan apa yang akan dia lakukan pada Karin setelah ini dalam pikirannya .

"Tapi memang itu yang sebenarnya terjadi bu, hormon remaja akan lebih cepat berkembangnya. Apalagi di masa-masa pubertas. Kita tahu bisa saja anak ibu sudah pernah berhubungan badan." Ujar dokter perempuan itu dengan tanpa jeda sama sekali, hingga membuat Maharani dan Putra semakin di rundung emosi. Mereka berdua akhirnya keluar dari ruangan dokter itu, kembali Maharani hendak menuju ruang tempat Karin di rawar, tapi Putra mencegahnya. Dia tak ingin jika keributan itu akan membuatnya semakin di permalukan. Bahkan sebelum keluar dari ruangan dokter tadi, Putra menyerahkan uang yang cukup banyak kepada Dokter itu, agar dia menutup mulut.

"Tidak sekarang Rani, kau mau reputasi kita hancur gara-gara keributan ini?" Maharani menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan oleh Putra. Maharani akhirnya memilih duduk, tangannya memijat-mijat kepalanya yang pusing sejak tadi.

"Bagaimana pun caranya kita harus gugurkan kandungan itu Pa!" Putra mengangguk dengan sangat yakin, itu adalah keputusan yang sangat tepat menurutnya. Putra memeluk istrinya mencoba menenangkannya agar tidak emosi lagi.

Sebuah telepon kemudian bordering, putra akhirnya mengangkat panggilan itu. Sebelum akhirnya memutuskan pergi bersama Maharani. Pekerjaan adalah nomer satu bagi mereka, bahkan tak ada rasa khawatir sama sekali terhadap Karin. Mereka datang ke rumah sakit hanya demi pencintraan saja. Entah panggilan apa yang sedang mereka terima, wajah mereka seakan cemas dan penuh kekhawatiran, tak sesekhawatir saat Karin di kabarkan mencoba bunuh diri.

****

Sabiru menaiki motor milikinya, mencoba mengikuti sebuah mobil yang keluar dari rumahnya sendiri, mobil yang di kendarai oleh anak-anak buah Joivano, Ayahnya. Dengan sangat hati-hati Sabiru mengikuti laju mobil itu, ia hanya ingin tahu apa yang sedang di rencanakan Ayahnya saat ini.

Mobil itu berhenti di sebuah rumah sakit, rumah sakit tempat Karin di rawat, hanya dua orang yang turun, mereka tak masuk hanya berjaga-jaga di luar. Sabiru paham betul rumah sakit itu di jaga agar ia tidak dapat masuk atau menemui Karin. Kemudian Sabiru kembali mengikuti laju mobil yang menyisakan tiga anak buah ayahnya. Mobil itu terus melaju hingga ketengah-tengah kota.

Apa yang di rencanakan ayahnya masih menjadi misteri bagi Sabiru, bagaimana pun caranya Sabiru harus segera mengetahui rencana itu agar dia bisa merancang Sesuatu juga untuk menyelamatkan atau setidaknya menghalangi tindakan criminal Joivano.

Mobil yang berlalu-lalang semakin banyak, Sabiru sedikit kesusahan untuk mengejar mobil itu, hingga sebuah motor menyebrang di depannya, dengan cepat Sabiru membanting stang motornya hingga terjatuh.

"Anjing!!!" Teriak Sabiru Refleks, tubuhnya dan motor itu sudah terseret jauh ketepi. Sementara yang menabraknya bukannya menolong, ia hanya berhenti sesaat dan akhirnya meninggalkan Sabiru yang tergeletak tertimpa motor besarnya.

"Aghhhh… kalau kayak gini gimana gua bisa tahu rencana Papa. Brengsek!!!" Sabiru memukul tanah dengan emosi, sebelum akhirnya ia berdiri bersamaan dengan orang-orang yang mulai berdatangan menolongnya. Tak ada yang parah, hanya lecet beberapa saja. Namun tetap saja bagi Sabiru hal ini adalah suatu hal yang benar-benar buruk.

Sabiru tak menghiraukan orang-orang yang mengerumuninya, bahkan yang bertanya tentang keadaanya saja tidak ia jawab. Sabiru kembali membawa motornya mengejar mobil itu, ia berharap masih bisa mengejar mereka. Namun setelah setengah perjalanan Sabiru masih belum menemukan jejak mobil itu, mereka hilang. Sabiru benar-benar frustasi, ia berteriak sambal terus melajukan kendaraannya semakin kencang.

****

Malam semakin larut, Sabiru masih mengendarai motornya dijalan, ia sudah menyerah dan akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah. Sebenarnya ia sangat enggan untuk pulang kerumah itu lagi, namun selalu saja Ayahnya ikut campur dengan kehidupan Sabiru. Pernah suatu ketika Sabiru memutuskan untuk tidak pulang kerumah. Tapi anak-anak Joivano menarik paksa Sabiru untuk pulang, bahkan mereka sampai sempat berkelahi, dan Sabiru kalah. Satu lawan empat, mana mungkin Sabiru bisa menang.

Sabiru sudah sampai dirumahnya, ia memarkirkan motornya di tempat biasa, jaket kulit yang ia kenakan dilepas, sikunya ternyata luka, darah segar sudah mulai mongering. Sabiru lantas bergegas masuk kedalam rumah hendak membersihkan tubuhnya, namun pemandangan tak lazim ia lihat.

Joivano sedang menjambak rambut Dewi, Ibu Sabiru. Hal ini mungkin bukan pemandangan pertama yang ia lihat, sudah sering kali Ayahnya berperilaku kasar kepada Ibunya. Dewi bukanlah istri satu-satunya, namun dia adalah Istri pertama yang tidak pernah mendapatkan kebahagian atau perlakuan yang pantas dari Joivano.

"Papa, lepasin Mama!" Teriak Sabiru yang melempar jaketnya dan langsung berlari kearah Dewi dan Joivano.

"Lihat Biru, begini hukuman untuk orang yang membantah omongan Papa." Teriak Joivano yang masih terus menjambak rambut Dewi. Dewi yang merasakan kesakitan dan tangis yang semakin menjadi menahan sakit, mencoba meminta Sabiru untuk menjauh.

"Jangan Sakiti Mama Pa!" Teriak Sabiru, sembari mencengram tangan Ayahnya itu. Joivano yang merasa geram karena di lawan akhirnya melepas rambut Dewi. Namun sekarang Sabiru yang menjadi sasaran. Ia diseret hingga ketepi kolam. Joivano melepas sabuk yang melingkar di pinggangnya. Lantas mencambuk Sabiru berkali-kali. Dewi yang melihat itu langsung belari dengan keadaan yang sudah acak-acakan.

"MAMA BERHENTI DI SANA!" Teriak Sabiru. "Biarkan Biru yang merasakan sakit ini Ma, Mama masuk kekamar sekarang ya!" Suara Sabiru semakin melemah, cambukan itu tiada henti-hentinya Joivano lakukan.

"Jadi laki-laki itu tidak boleh lemah, jangan karena perempuan kamu jadi lemah Sabiru. Kamu harus jadi penerus Papa, laki-laki yang tidak mudah goyah karena perempuan." Ujar Joivano sambil terus melayangkan cambukan ke tubuh Sabiru. Hingga akhirnya Sabiru mengambil sabuk yang melayang itu ke tangannya.

"Tapi dia Mama, Pa. Orang yang melahirkan Sabiru. Bukan orang lain. Sabiru berhak lemah di hadapan orang yang telah memberikan kehidupan untuk Sabiru." Sabiru pun langsung menghempaskan sabuk itu, dan pergi sembari menarik tangan Dewi. Mereka berdua pergi menuju kamar Sabiru. Sementara Joivano berteriak kesal.

"Sabiru! Berhenti kamu!" Teriak Joivano namun tak direspon oleh Sabiru, ia meneruskan jalannya sembari menahan sakit di punggungnya, luka yang tadi ia dapat saat jatuh tadi saja belum kering, sekarang ia sudah mendapatkan luka yang baru.

"Kamu akan menyesal telah melawan Papa Sabiru, lihat saja Papa tidak pernah main-main dengan omongan Papa." Ancam Joivano sambil terus menunjukkan wajah emosinya itu kearah anak-anak buahnya yang sejatinya juga kasihan melihat kondisi Sabiru.

Sabiru hanya tersenyum tipis mendengar ancaman ayahnya itu. Ia tahu ini bukan ancaman pertama, tetapi ia harus tetap waspada. Joivano bukan orang sembarangan.