webnovel

BAB 1 : PERPISAHAN

Plakk….

Sebuah tamparan keras di pipi Sabiru begitu menyakitkan, sedangkan dia masih saja menunduk tak mau melihat lawan bicaranya. Bukannya enggan melawan atau memang kesalahannya. Sabiru tidak bisa berkata-kata lagi, Karin berhak menamparnya begitu keras. Bahkan Karin berhak membunuhnya saat ini juga.

"Aku ngga ngerti lagi sama pikiran kamu Biru, Tiga tahun Biru, tiga tahun itu ngga lama dan sekarang." Karin menghentikan ucapannya, lidahnya kelu, sesak di dadanya begitu menyakitkan. Bagaimana bisa laki-laki yang ada di depannya ini tega mengatakan yang tak seharusnya ia katakan. Karin akhirnya melapas liontin yang berisikin inisial nama mereka berdua, KS, Karina Sabiru.

"Lalu janji ini untuk apa? Bulshit semua perkataan kamu yang mengharuskan kita saling terbuka kalau ada apa-apa. Persetan dengan semua janji-janji kamu yang selama ini aku genggam dan percaya. Lo itu sama aja kayak Anjing-anjing diluar sana. Bangsat lo Biru!" Karin melemparkan Liontin itu tepat mengenai tubuh Sabiru. Sabiru masih saja tetap diam. Padahal beberapa saat lalu dia yang paling banyak bicara.

Sebelum mereka bertemu, Sabiru mengirimkan pesan pada Karin. Ia mengajak Karin untuk jalan-jalan di taman kota sepeti yang biasa mereka lalukan. Karin begitu senang, ia bergegas bersiap-siap dan langsung menemui Sabiru di sana. Dan tiba-tiba saja Sabiru mengatakan jika ia ingin mengakhiri hubungan mereka berdua, tanpa alasan apapun.

"Bilang kalau semua ini hanya candaan lo aja brengsek! Cepetan bilang, lo jangan diem aja. Bilang!!!" Tubuh Sabiru di guncang-guncang sangat keras oleh Karin, ia menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa malam ini Karin mendengarkan perkataan yang begitu menyakitkan itu.

"Cukup Rin, lo itu ngga pantesan sama gua. Hubungan kita selama ini salah besar. Selama ini gua terpaksa jalin hubungan ini sama lo. Gua udah muak, dan gua tetap pengen kita putus, jangan temui gua lagi. Dan jangan berharap lo bisa melihat wajah gua lagi." Sabiru membalikkan badannya, namun sekali lagi Karin mencengkram lengan Sabiru lalu memeluknya dari belakang. Dengan deraian air mata Karin memohon pada Sabiru agar tidak meninggalkannya.

Tak hanya Karin yang bersedih, langit pun seakan mengerti kesedihan yang di alami Karin. Mendung tiba-tiba menyelimuti langit, rintik hujan pun turun siap membasahi semua yang ada di bumi. Karin masih memeluk tubuh Sabiru, tangisnya semakin menjadi.

"Lepasin gua jalang!" Sabiru mendorong tubuh Karin hingga terperosok di tanah yang basah oleh air hujan. Melihat Karin jatuh, Sabiru merasa bahwa dirinya keterlaluan, berkali-kali ia ingin membantu namun urung, dia masih ingat bahwa hubungan mereka harus berakhir malam ini juga.

Hujan sudah benar-benar jatuh kebumi dengan derasnya, Karin melihat kepergian Sabiru, Karin memanggilnya dengan sangat keras. Dia bangkit dan mengejar Sabiru, Karin benar-benar seperti orang gila yang sudah tak peduli lagi dengan orang-orang sekitar yang melihatnya.

"Sabiru, setelah semua ini. Lo benar-benar akan ninggalin gua? Lo udah hancurin masa depan gua. Lo udah bikin gua jijik dengan diri gua sendiri, dan lo seenak jidatnya pergi gitu aja. Bajingan lo Sabiru. Gua nyesel ngenal lo, gua muak dengan hubungan yang pernah kita lalui. Gua benci lo Sabiru berengsek." Teriakan Karin barusan berhasil membuat Sabiru membalikkan badannya dan mendekat kearah Karin. Saat tepat berada di depan Karin, Sabiru menjambak rambut Karin dengan sangat keras.

"Kalau lo muak, lo bisa jauhin gua dari sekarang. Ngga ribet kan? Kecuali lo cewek murahan yang ngejar-ngejar cowok. Berhenti ngejar gua. Pulang lo!" Karin menunduk, air matanya tak henti-hentinya menetes. Hingga akhirnya ia beranikan mengungkap kebenaran yang selama ini ia pendam sendiri.

"Gua ngga bisa jauh dari lo." Karin menghentikan ucapannya, ia kemudian memegang perutnya yang datar itu. "Gua hamil, dan itu adalah anak lo Sabiru." Terbelalak mata Sabiru mendengar kebenaran itu.

"Tidak-tidak mungkin, itu bukan anak gua. Lo cewek murahan, bisa jadi itu anak-anak dari cowok yang pernah tidur bareng lo." Sabiru benar-benar kalap dan terkejut dengan kebenaran itu. Karin tak kalah terkejutnya dengan apa yang di katakana Sabiru, bagaimana mungkin seenteng itu mengatakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak tahu kebenarannya. Karin tidak pernah tidur dengan siapa pun kecuali Sabiru.

Sabiru kini benar-benar pergi meninggalkan Karin yang masih menangis di tengah-tengah Hujan dengan perasaan yang tak karuan. Sabiru tak bisa jika terus-terus berada di sana. Sabiru benar-benar yakin jika itu bukanlah anaknya.

****

Petir menggelegar, hujan masih sangat deras di luar sana. Karin dengan wajahnya yang lesu dan penuh akan kesedihan masuk kedalam rumahnya. Taka da orang saat ini di rumah, semua pergi. Karin langsung masuk ke kamar, duduk di depan cermin riasnya. Keadaannya benar-benar sangat kacau. Dia lihat dirinya di cermin begitu mengenaskan, pikirannya kemana-mana hingga akhirnya timbul pikiran yang nantinya akan ia sesali. Karin mengambil pisau cutter yang berada di meja riasnya. Pelan-pelan ia meletakkan benda tajam itu di pergelangan tangannya. Ada rasa ragu, ia urungkan kegiatannya itu.

"Gua ngga bisa kayak gini terus, gua ngga bisa bertahan tanpa Sabiru. Bagaimana dengan anak ini nanti jika ia lahir. Gua benci lo Biru, Gua benci!!!" Semua alat-alat riasnya ia lempar kesembarang arah, membuat kamar itu menjadi sangat berantakan. Karin kembari menangis, hingga foto dia dan Sabiru itu mengalihkan atensinya. Karin mengambil foto itu, berkali-kali Karin meraba dan mengelus-elus wajah Sabiru di potret itu.

"Kenapa lo tega perlakukan gua seperti sampah sepeti itu Biru? Kenapa?" Emosi Karin semakin memuncak, ia lempar foto berpigura itu ke cermin hingga membuatnya pecah.

Pranggg…..

Beberapa pecahan kaca itu mengenai kulitnya. Karin menatap pecahan kaca itu, aksinya yang tadi sempat tertunda kini kembali terlintas dalam benaknya. Karin mengambil pecahan kaca itu, dengan erat ia menggengamnya hingga darah segar mengalir dari telapak tangannya. Pelan-pelan Karin meletakkan pecahan cermin itu di pergelangan tangannya, ia memejamkan matanya dan merobek tangannya itu sangat dalam. Darah mengalir deras, pandangan Karin mulai buram, perih dan sakit kini menjadi satu. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Entah seperti inikah rasanya menuju kematian.

Karin sudah sangat lemah, hanya satu nama yang kini ada dalam pikirannya, Sabiru. Laki-laki yang saat ini telah meninggalkannya. Sampai kapanpun Karin tidak akan terima jika Sabiru memutuskan hubungannya seperti ini. Air mata Karin masih terus mengalir senada dengan darah yang juga menetes di lantai kamarnya. Pandangannya sudah sangat-sangat kabur, kesadarannya sudah mulai memudar. Karin menyentuh perutnya.

"Maafkan aku." Ujarnya dengan sangat lemah. Ia usap-usap perutnya itu, dan pikirannya tak pernah lepas dari Sabiru. Bahkan di saat ia menutup matanya.

"Sa-sabiru."