Perlahan-lahan, Nea membuka kedua kelopak matanya dan hal pertama yang ia dapati adalah atap-atap kamarnya yang dihiasi oleh kupu-kupu. Sejenak, ia diam. Berusaha mencerna apa yang tengah terjadi.
"Apa di depan Dean tadi, gue pingsan ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Bip … bipp!
"NEA, BURUAN MANDI. KEBO BANGET ELAH, HARI INI KAN ADA KONFERENSI PERS TENTANG PELUNCURAN BAB KOMIK BARU LO."
Suara teriakan itu, begitu tidak asing di telinganya. "Konferensi? Emang, Lion ngajak gue ya—HAH?"
Sontak, Nea langsung terbangun dari tidurnya, ia segera keluar dari kamar dan mencari sumber suara.
Di sana ada dua editornya, tengah memasak sarapan dan dari baunya, itu adalah lauk kesukaannya.
"Rerga? Sindi?!"
Yang diteriaki hanya menoleh singkat.
"Cih, nggak malu sama Rerga! Lo kenapa keluar pakai lingerie gitu sih, Nea? Dodol!" Sindi, wanita yang tempo hari menerornya segera memelototi Nea kesal. "Ganti baju!"
Rerga, editor utamanya yang tengah menyeduh kopi hitam tersebut melirik Nea singkat dan berkata, "lo jadi frustasi mencari inspirasi buat next bab? Tapi, bab yang lo kirim tadi malam, oke juga kok."
"Setuju! Satu-satunya bab pemecah rekor yang sudah dibaca dua juta kali dalam semalam," timpal Sindi kemudian.
Sedangkan Nea, hanya menatap mereka kebingungan. "Hah, bab apa? Gue belum gambar," sanggah Nea cepat.
Melihat tatapan kebingungan Rerga dan Sindi membuat Nea semakin cemas.
Apakah yang ia lalui benar-benar nyata?
Tak ingin menduga-duga, Nea segera berlari cepat menuju kamarnya dan membuka komputernya diikuti oleh kedua editornya itu.
Dengan mulut menganga tak percaya, Nea menggulir layar menggunakan mouse dan membaca setiap adegan demi adegan yang sangat tidak asing.
Yang di mana, dia bangun tidur di ruangannya, membacakan jadwal Lion, istirahat di rumahnya, dan pingsan karena terkejut mendapati perhatian dari Dean.
"Lo benar-benar bikin Dean berubah ya, Nea? Di sinopsis awalnya, Dean itu manusia es yang nggak bisa dicairkan. Eh, sekarang lo buat dia luluh sama tokoh utama ceweknya," kata Sindi bernada bertanya-tanya.
Nea hanya diam, ia bingung untuk mencerna semuanya. ia kira, semua yang ia lakukan di sana tidak akan terekam dan terpublikasikan seperti ini.
Oke, mari kita menjaga sikap~
"Tapi, bagian 'Nea' pingsan di sini tuh nggak like banget deh, mukanya jelek jadi ia banyak dihujat." Sindi menunjuk adegan di mana Nea jatuh pingsan dengan wajah super jelek.
Nea asli hanya menggembungkan kedua pipinya kesal dan memilih beranjak. "Is, biarin sih! Btw, kenapa kalian ke sini? Rame banget, kayak mau ke pasar malam aja!"
Sindi melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah sinis. "Gue udah bilang kan? 'Siap-siap mau ke konferensi pers' Nea!"
Nea segera beranjak dan tidak lupa memasukan pena serta peralatan sketsa yang ia beli ke dalam tasnya.
***
Selama satu jam setengah, Nea dan didampingi oleh kedua editornya yaitu Sindi dan Rerga menghadiri sebuah konferensi pers yang bertujuan untuk mempromosikan bab pada komiknya yang akan diluncurkan versi cetaknya pada satu minggu dari sekarang.
Semua pihak berlomba-lomba mencari perhatian dari para penggemar manga yang dibuat oleh Nea, sebab, sejak tahun lalu manga yang dibuat oleh Nea selalu booming dan menjadi trend oleh anak remaja bahkan orang dewasa. Semua menjadi penggemar Lion dan bercita-cita mendapatkan kekasih sepertinya.
Nea memejamkan matanya erat lalu bersandar pada sofa empuk di ruangan tunggu. Merasa lelah setelah mulutnya tidak berhenti berbicara.
"Walau hari ini ada kegiatan, lo nggak bisa libur, Ne. Besok itu jadwal publish bab baru lagi. Jadi gue harap, hari ini lo gambar sketsanya supaya enggak drawing block besok!" perintah Sindi mengingatkan. "Jangan lupa, cuci rambut lo itu agar warnanya berubah."
"Hmm."
Setelah itu, Sindi pamit keluar untuk memberikan sebuah pidato penutup sedangkan Rerga sudah sampai di alam mimpinya.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal, Nea membuka matanya dengan segera. Ia mengobrak-abrik tasnya untuk mencari sesuatu.
Satu pertanyaan yang tengah hinggap di pikirannya. Bagaimana caranya agar ia dapat kembali ke dunia Lion lagi?
Karena, Nea ingin memastikan sesuatu.
Tetapi, yang ia cari tidak ada, isi tasnya sudah berceceran di meja kaca di ruangan itu.
"Kok enggak ada? Perasaan gue udah masukin benda-benda itu ke dalam tas deh," katanya dengan panik.
Sepertinya, pergerakan Nea membuat Rerga terbangun. Pria yang seusia dengan Nea itu segera menyadarkan diri dan bertanya, "cari apa?"
"Pena."
"Pena? Pena apa?"
Nea menoleh ke arahnya. "Pena antik yang dibentuk seperti tubuh wanita," katanya kemudian.
"Ini?" Rerga mengambil sebuah pena dengan ciri-ciri diberikan Nea dari balik laci.
Nea langsung lega melihat itu. "Iya, astaga! Kenapa lo sembunyikan sih?" kesalnya.
"Kerjaan Sindi. Ia nggak reporter tahu kalau lo punya pena begini terus ada artikel tentang jimat yang berada di dalam pena," jelas Rerga.
Nea hanya menggelengkan kepalanya kecil dan segera mengambil pena dan peralatan lainnya. "Ini namanya Woly, ingat Rerga."
Ah, Nea jadi teringat dengan Bearly.
Tak ingin berbicara dengan Rerga lagi, Nea segera menggambarkan bab selanjutnya.
Bab pembuka yang dibuat olehnya adalah Lion tengah mengajak Nea dinner di tempat romantis agar saat memasuki dunia komik yang dibuatnya, Nea langsung makan.
Baru membuat beberapa adegan, Nea langsung memejamkan mata dan merapalkan beberapa mantra buatannya.
"Bim salabim, ayo masuk! Aku mau ketemu Lion!!!"
Dapat Nea rasakan, sinar menyilaukan matanya yang tengah terpejam saat ini. Ia menunggu beberapa saat sebelum memutuskan membuka matanya.
"AISH," teriaknya kemudian ketika mendapati wajah bengong Rerga yang tepat di depan wajahnya.
"Lo ngapain baca mantra? Masuk ke mana deh?"
Nea mendorong wajah Rerga menggunakan jari telunjuknya, ia menarik napas dalam-dalam. Percobaan pertamanya gagal, ia kembali melakukan seperti tadi dan mengucapkan mantra, saat membuka mata, tetap saja.
Melihat wajah Rerga dan juga Sindi yang terbengong-bengong menatapnya.
"Kenapa sih?" tanya Sindi kebingungan.
"Jangan ganggu!" ketus Nea malas.
"Huft. Sekali lagi, please, percobaan terakhir," ujar Nea kemudian.
Ia menaruh tangan kanannya di depan dada dengan pena tersebut di dalam genggamannya dan tangan kirinya menutupi matanya.
"Lionard … aku mau menyampaikan sesuatu, please, ayo bicara," pinta Nea dengan penuh harap, pikiran dan hatinya saat ini hanya berfokus kepada Lion.
Merasa tidak merasakan apapun, Nea menghembuskan napas dengan kesal. "Huh."
Saat dirinya ingin merebahkan kepalanya di atas meja yang terletak di depannya, Nea langsung terjatuh tertelungkup dengan keras.
"Akh!"
Nea mengusap dahinya yang terasa bengkak, ia masih menunduk dan memejamkan mata. Bersiap untuk menerima omelan dari Sindi yang pasti mengatakan dirinya sangat ceroboh.
Tetapi, sudah beberapa menit ia tidak mendengar apapun, Nea membuka mata. Ia melihat sepasang sepatu hitam berkilat yang berdiri di depannya.
Perlahan, Nea mendongak. "ASTAGA."
"Apa yang mau kamu sampaikan kepada saya, Nea?"
Dan di sana, Lion menatap Nea tanpa ekspresi.