webnovel

Öde

Alde tidak pernah menganggap keahliannya ini adalah sebuah anugerah. Malahan, ia merasa jika dirinya telah terkutuk. Benang-benang merah yang selalu muncul di depan matanya tanpa ia minta, memberitahukan dirinya bagaimana takdir dari hubungan orang-orang disekitarnya. Membuatnya muak melihat kenyataan yang tidak permah ia inginkan. Alde ingin, jika keahlian ini segera menghilang dari hidupnya. Tapi, bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja datang kedalam hidupnya dan membantu Alde merubah pemikiran sempit tersebut? Ketika ia dipertemukan dengan seseorang yang membuatnya ingin tetap memiliki kemampuan tersebut agar bisa melihat benang-benang merah tersebut terikat di antara jari kelingking mereka. Membuatnya berharap jika ia adalah satu-satunya takdir dalam hidup orang tersebut. Dan di saat seperti itu lah, takdir kembali mempermainkannya. — Aku mencintaimu, sangat. Akan tetapi, kau bukanlah takdirku. Benang merahmu, bukanlah benang merah milikku. Cerita kita... tidak bisa berakhir bersama. -Aldelina Jika kau memberikanku satu kesempatan lagi, aku akan melawan benang takdir itu. Tak peduli jika itu malah akan menghancurkanku. Karna... dari awal hingga selamanya, aku hanya akan mencintaimu. -Elio

angst00 · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
34 Chs

19

Elio menyodorkan kaleng minuman manis pada Alde yang saat ini duduk di atas bangku taman. Suara isakan yang tersisa masih terdengar darinya.

"Sudah membaik?" tanyanya.

Sambil menerima kaleng minuman berisikan coklat hangat tersebut, Alde menganggukkan kepalanya. Ia kembali mengelap sudut matanya dengan sapu tangan milik Elio dan berkata, "Terima kasih." suaranya terdengar parau karna tangis sebelumnya. "Maaf merepotkanmu." lanjutnya sambil memperlihatkan wajah yang sembab.

Tawa kecil lolos dari mulut Elio. "Kenapa harus meminta maaf? Kau kan tidak berbuat kesalahan padaku, jadi santai saja."

Kalimat itu membuat Alde tersenyum kecil. Ia kembali menatap kaleng minuman yang saat ini berada di dalam genggamannya, memperhatikan nama brand yang tertulis pada kaleng tersebut.

"Kau tau, terkadang aku bertanya-tanya, kenapa aku dilahirkan ke dunia ini?" manik coklat jernih Alde menatap nanar kaleng minuman di tangannya. "Apakah kehidupanku di dunia ini adalah sebuah kesalahan?" Alde meremat kaleng minuman di tangannya.

Ia tak mengerti, kenapa orang-orang membencinya. Kesalahan apa yang sudah ia lakukan pada mereka hingga mereka memperlakukannya tidak lebih baik dari serangga? Mulai dari bangku sekolah dasar, hingga sekarang, tidak ada satupun dari mereka yang menyukai Alde. Semua selalu menatapnya dengan tatapan tak suka sambil berbisik sesuatu yang tak pernah ia ketahui. Dan dari semua itu, satu-satunya orang yang berteman dengannya dari awal mereka bertemu, hingga saat ini hanyalah Nyla seorang.

Elio menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku taman. Ia mendongakkan kepalanya, menatap langit dengan manik obsidiannya dari balik lensa tebal yang ia gunakan. "Pasti ada alasan kenapa kau bisa terlahir ke dunia ini. Tuhan tidak akan melakukan sesuatu jika hal tersebut tidak memiliki arti." ucapnya.

Alde menoleh. Menatap penuh harap Elio yang berada di sampingnya, "Apa kau tau... alasannya?"

Tiba-tiba Elio bangkit dari duduknya dan berjalan ke hadapan Alde. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur, membuat harapan Alde pupus. "Tapi," ia mengulurkan tangannya ke arah Alde dan berkata, "Aku tahu bagaimana cara mengajakmu menikmati kehidupan ini."

Raut wajah bingung muncul ketika Alde mendengar kalimat itu. "Apa maksudmu?"

Elio tersenyum, "Mau menerima uluran tanganku?"

Walau ragu, Alde melakukannya. Ia menerima uluran tangan Elio dan menggegamnya erat.

"Kerja bagus." ucap pria itu. "Sekarang, ayo kita pergi!"

Dengan satu tarikan kencang Elio menyeret tubuh Alde pergi dari sana. Alde yang bingung dan panik bertanya, "Hei! Kau mau membawaku ke mana?!"

"Tentu saja bersenang-senang!"

"Tapi aku ada kelas sehabis ini." ucap Alde berusaha menolak, namun gagal.

"Lupakan kelas, lupakan hal-hal yang membuarmu stress, untuk hari ini kau akan bersenang-senang denganku." ucap Elio dengan nada yang sangat riang.

"Tu-Tunggu dulu!"

Kali ini Elio tidak mau mendengar lagi Alasan Alde. Dengan motornya, pria itu membawa kabur Alde.

"Kau mau membawaku ke mana?!" tanya Alde panik ketika motor Elio sudah keluar dari wilayah kampus dan memasuki jalan umum. Ia pikir Elio hanya bercanda dengan ucapannya.

"Entahlah, aku tidak tau. Lebih baik kita nikmati saja!" jawabnya sedikit berteriak dari balik helem full face yang ia kenakan.

"Ah! Tunggu- uah!" jerit Alde ketika laju motor tiba-tiba saja kencang dan membuatnya mau tak mau harus memeluk tubuh Elio.

Sang pelaku yang melakukannya tertawa. Alde yang duduk di belakang sudah tak sanggup melakukan apa pun. Tenaganya untuk berteriak sudah hilang, bersamaan dengan tenaganya dan juga pikiran positifnya.

'Jika aku mati, aku akan menghantui pria ini seumur hidupnya!!!'

---

Di dalam salah satu ruang dosen yang tertutup, di balik pintu yang terpampang nama 'Biantara Rysand E.' beserta dengan gelarnya, dua orang pria sedang saling bercumbu. Tidak, lebih tepatnya salah satu pria yang duduk di atas pangkuan pria lainnya tengah berusaha menggoda pasangannya yang tidak terganggu sama sekali.

"Ayo lah Bian, kau tidak mau melakukannya?" rengek pria berwajah manis itu dengan wajah menggoda. Tangannya sudah meraba tubuh Bian, mengajaknya untuk bersenang-senang. Walau begitu, Bian yang saat ini memang sedang tidak mau 'melakukannya' segera membuang wajah dan mendorong pelan pria itu.

"Hentikan Ares, aku tidak mood."

Merasa ada yang aneh dengan pasangannya, Ares menaikkan salah satu alisnya. "Kau kenapa?" tanyanya.

"Bukan urusanmu." jawab Bian singkat.

Kesal karna sikap cuek Bian yang sama sekali tidak pernah berubah, Ares segera bangun dari pangkuan Bian dan merapihkan bajunya. "Kau ini kenapa sih? Susah payah aku meluangkan waktu untuk bertemu denganmu di tengah-tengah kelas, tapi kenapa kau selalu seperti ini?" tanyanya dengan nada agak kesal.

"Aku tidak memintamu untuk datang kemari." acuh Bian lagi, tak peduli jika saat ini wajah kekasihnya sudah terlihat sangat masam.

"Kau.. kau ini kenapa sih? Apa yang kau pikirkan hingga mengacuhkanku seperti ini? Apa kau memikirkan seseorang selain aku?"

Seketika Bian menoleh ke arah Ares. Ia menatap pria itu datar dan berkata, "Lebih baik kau kembali ke kelasmu saja Ares, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."

Ares mengeratkan rahangnya. Tangannya sudah terkepal kencang. "Aku benar-benar sudah tak tahan lagi dengan sikapmu, aku mau kita putus." gertaknya, berharap jika Bian akan menoleh ke arahnya. Namun, seberapa lama ia menunggu, Bian tetap tidak bergerak sama sekali dari tempatnya. Pria itu sama sekali tidak mengubris apalagi mendengarkan ucapan Ares. Dan hal tersebut membuat pria berwajah manis itu menggertakkan giginya penuh akan emosi. "Dasar Brengsek!" serunya dengan sangat kesal sebelum berjalan keluar dari ruang kerja Bian dan membanting tertutup pintunya.

Masih tak peduli jika hubungannya telah kandas, Bian memilih untuk kembali menatap lurus ke arah langit cerah dari balik jendela kantornya. Ia sedari tadi berpikir, bertanya-tanya, kenapa wajah Alde terus muncul di dalam kepalanya? Wajah datar yang tak menunjukkan ekspresi apapun. Tidak ada rasa sakit, sedih, atau apa pun di sana setelah diperlakukan buruk, hanya mata yang menatapnya seakan-akan dia adalah seorang... pengganggu. Ya, seorang pengganggu yang tidak disukai oleh wanita itu.

"Hahaha... pertama kalinya aku dibuat seperti ini oleh seseorang." Kekehan lolos dari mulut Bian. Ia tak bisa mempercayainya. Pertama kalinya seseorang menatap dirinya seperti itu, dan itu mengganggu Bian. Ia tak lagi bisa melepas pandangan mau pun pemikirannya dari Alde.

Wanita yang sangat berbeda dari rumor yang beredar itu benar benar mengambil perhatiannya. Rasa penasaran Bian tiba-tiba saja menggebu. Ia segera membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat. Ketika di buka, amplop tersebut berisi data diri tentang Alde yang sebelumnya ia minta dari beberapa orang yang ia percaya. Ia ingin mencari tahu sedikit tentang wanita yang sudah memenuhi kepalanya sejak mereka pertama kali bertemu itu.

"Setidaknya aku harus mengetahui beberapa hal mendasar tentangmu kan?"