Siluet jingga mulai terlihat memudar perlahan. Tergantikan pekatnya permadani dunia yang menyelimuti sebagian bumi, termasuk Korea Selatan. Kota seribu bunga, sakura yang menawan. Namun kini telah menggugur tergantikan tunas baru berwarna hijau yang tak kalah menenangkan kala mata memandang. Kota Abel Red memang selalu seperti ini. Indah dengan ratusan bola lampu yang menyala pada tiap gantungan tiang yang selain menjadi penerang jalan, juga berfungsi sebagai sumber kehangatan.
Senja baru saja berlalu, dan musim hujan baru saja berlangsung awal bulan. Setiap orang pasti ada yang sangat senang menyambut musim hujan ini, pun juga ada yang tidak senang. Orang-orang di Abel Red memang sangat menghargai segala sesuatu yang terjadi. Mereka lebih senang menyebut semuanya berjalan karena Tuhan, dan mereka selalu menyebutnya sebagai berkah. Pun sekarang hujan lebat sedang melanda kota. Ditengah rapatnya air hujan yang menjatuh, terlihat beberapa orang berlarian sembari membawa barang belanjaan dikedua tangannya, menudungkan mantel hangatnya untuk menutup kepala karena mungkin lupa tidak membawa payung. Ada juga yang sedang berteduh diteras toko yang sudah tutup sejak jam 4 sore tadi. Pun tidak hanya satu dua orang saja yang masih berbelanja didalam toko sambil menunggu hujan sedikit mereda.
Begitulah malam-malam Kim Yerin berlalu. Melewati musim ke musim dengan hanya berdiri dibalik jendela kaca dengan tirai tipis yang sengaja disingkapkan. Kadangkala berdiri sembari memeluk dirinya sendiri, memandang keluar dengan tatapan yang menyiratkan kesepian yang telah mendarah daging. Tidak jarang pula, ia terlihat hanya duduk dikursi dengan buku bacaan yang ia pesan melalui toko online, menyanding secangkir kopi atau teh herbal yang selalu pelayan antarkan kedalam kamarnya.
Kim Yerin, gadis 19 tahun yang selalu merasa bahwa hidupnya sudah tidak lagi berarti untuk siapapun. Kehilangan dua orang yang amat sangat ia cintai dalam satu waktu sekaligus, cukup membuat dirinya terguncang kecemasan dan kehampaan.
Kim Yerin tetaplah akan jadi Kim Yerin, ia tetaplah gadis pecinta hujan, juga pecinta bau tanah yang khas setelah hujan. Namun selama 6 tahun terakhir, ia tak pernah mencium bau tanah yang menyegarkan itu lagi. Ia menutup diri, dari dunia luar, pun juga dari orang terdekat sekalipun, termasuk sang nenek.
Kim Yerin tak lagi memiliki semangat yang membara seperti Kim Yerin yang selalu terlihat dimata semua orang. Ia telah mengilangkan itu semenjak ia pulang dari pemakaman ayah dan ibunya. Ia hancur, melebur bersama kesedihan yang sangatlah berat untuk seorang gadis 13 tahun kala itu. Rasanya, mengingat ataupun teringat kembali saat ia menerima telefon dari nomor asing dan menyatakan bahwa kedua orang tuanya adalah salah dua korban jatuhnya pesawat Air Korean yang terbang dari Seoul menuju Berlin. Ia benci musim hujan tapi ia sangat mencintai tetesan hujan. Tentu saja, mencintai sekaligus membenci, itu bukanlah suatu perkara yang mudah. Dimana seseorang harus membenci, namun ia tak terlanjur mencintai. Ia mencintai hujan, namun ia membenci hujan kala ia datang ke pemakaman orang tuanya bersama neneknya saat musim hujan.
Terkadang Yerin akan menangis, memeluk lututnya sendiri disudut ruangan dengan lampu yang sengaja dimatikan. Menenggelamkan dirinya dalam kegelapan lain yang ia harap bisa menghilangkan kenangan buruk itu agar enyah dari isi kepala. Ia sakit, ia perih, ia tak sanggup. Mengingat bagaimana ia sangat manja, dan bagaimana ayahnya sangat membanggakan dirinya kala mendapat peringkat pertama seolah menyanyi. Dan sekarang Yerin bahkan telah sepenuhnya lupa apa itu note balok dan nada dasar. Ia terlalu lama tenggelam dalam kesunyian. Semuanya telah hilang. Seolah siapa Kim Yerin yang dulu telah mati bersamaan dengan kedua jasad orang tuanya masuk kedalam peti mati. Dan Kim Yerin yang sekarang adalah sisa dari Kim Yerin yang tak lagi hidup walau ia masih bernafas.
"Yerin-ah."
Seketika itu pula Yerin menoleh kearah sumber suara yang memanggil namanya. Suara lirih yang bergetar, neneknya. Yerin selalu mencintai neneknya.
Meskipun begitu, Yerin tetaplah mendapatkan fasilitas sekolah. Neneknya sengaja menjadikan home schooling sebagai jalan terakhir agar cucunya tidak benar-benar meninggalkan peradaban dan dunia modern serta teknologi. Mendengar dulu Yerin sangat menolak mentah-mentah untuk kembali bersekolah, neneknya memiliki inisiatif untuk membuat rumahnya sebagai tempat belajar cucu kesayangannya itu. Dan sekarang mungkin neneknya perlu membicarakan sesuatu, waktunya telah tiba, dan ia merasa ia sudah semakin menua dan rentan terhadap apapun.
Nenek Kim belum terlalu tua, ia masih sehat bugar di umurnya yang ke 55 tahun, namun untuk menangani perusahaan sebesar Kim Group, mungkin akan membebani otaknya yang tak lagi muda. Dan nenek Kim berencana menjadikan cucu satu-satunya itu untuk menjadi penerusnya. Ia tak ada pilihan lain, selain berusaha membuat Yerin kembali pada kehidupannya. Yerin harus kembali hidup dan menjadi Kim Yerin si tangguh yang selalu jadi kebanggaan nenek Kim.
Neneknya berjalan menuju Yerin setelah sebelumnya menutup pintu kamar Yerin rapat-rapat. Berjalan pelan tapi pasti dengan obsidiannya yang tak teralih sedikitpun dari sosok Yerin yang nampak mulai menghampiri dirinya.
"Yerin-ah, nenek ingin berbicara denganmu." ucap nenek Kim sesaat setelah ia merasakan sentuhan dan genggaman dari cucunya yang begitu hangat menyapa lengannya. Nenek Kim merasa Yerin sudah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, tapi tetap saja ia masih kehilangan Yerin nya yang selalu ceria.
Yerin pun membawa neneknya untuk duduk ditepi ranjang, bersiap mendengarkan apa yang akan ia dengar. Sepertinya neneknya akan membicarakan hal penting. Dilihat dari caranya menyambangi kamar cucunya karena biasanya nenek akan menyuruhnya untuk turun ke lantai bawah.
"Ada apa nek?" tanya Yerin hati-hati. Genggamannya masih belum ia lepaskan dari tangan sang nenek. Sesaat setelah Yerin mengatakan itu, ia langsung bisa merasakan kekhawatiran yang terselubung dari dalam manik hazel neneknya, serta tangannya yang bergerak tak tenang membuat Yerin sangat yakin bahwa neneknya memang sedang gelisah dan khawatir pada sesuatu.
Nenek Kim menyembur nafas berat, ia harus benar-benar bisa membuat cucunya berubah. Mulai hari ini, pun hari-hari selanjutnya.
"Nenek hanya ingin mengatakan bahwa nenek mungkin tidak akan bisa lebih lama lagi menemanimu, cucuku."
Sejemang Yerin menjadi stagnan ditempat. Menerka apakah dirinya akan benar-benar sendiri. Tubuhnya bergetar, ia tak sanggup jika harus kehilangan lagi. Ia tidak ingin orang yang ia cintai pergi meninggalkannya satu persatu. Ia menyayanginya, namun kenapa Tuhan lebih menyayanginya. Dan setelah mendengar suara rendah neneknya itu, Yerin menjadi sangat emosional.
Tengorokannya sakit, kelopaknya memanas lalu ia merasakan basah disekitar pipinya karena air matanya telah merebak tak terbantahkan. Ia sedang sangat takut. Takut sekali.
"Nek..." Yerin semakin gencar menggenggam tangan neneknya yang juga semakin mengerat dalam genggaman Yerin. Isakan yang menandakan bahwa Yerin benar-benat takut.
Neneknya hanya tersenyum simpul, kecut dan terkesan dipaksakan. Seketika itu pula Yerin menunduk ragu beberapa saat kemudian menatap kembali, neneknya yang sama sekali tidak berubah semenjak dulu, sangat menyayanginya dan mencintainya sepenuh hati dan jiwanya. Namun malam ini ia menjadi tidak sanggup lagi menatap sepasang manik hazel yang selalu tertangkap ceria sekarang hanya menyisakan keheningan dengan embun yang siap menjatuh kapan saja dari kelopaknya.
"Kau harus belajar ke universitas, Kim Yerin. Nenek sangat ingin kau ceria seperti dulu. Nenek hanya ingin cucu nenek bahagia, menjalani kehidupan normal dan selalu menebar senyuman. Nenek merindukan lesung pipi cucu nenek ini." penjelasan panjang dengan suara yang terdengar bergetar karena meenahan isakan, sukses membuat Yerin kembali mematung pada tempatnya.
Universitas?
Yerin hanya berkedip, tanpa sepatah kata pun menjawab, atau menuntut penjelasan lebih lanjut. Yerin hanya sedang menimbang-nimbang. Ia belum siap keluar dari zona nya, ia masih terlalu takut akan trauma masa lalunya yang mengerikan. Dunia luar tak sebaik kamarnya yang sepetak. Ia tak tahu seperti apa kehidupannya diluar sana. Ia tak tahu apa yang aka terjadi setelah ia memutuskan untuk menjalani kehidupan mahasiswa disebuah universitas. Ia hanya masih--takut.
"Tidak nek. Kurasa aku tak memerlukan itu. Aku ingin bersama nenek." ungkap Yerin pada sang nenek yang langsung disambut senyuman serta gelengan kecil beberapa kali. Seperti nenek ya mengatakan dalam diam bahwa cucunya tidak boleh seperti itu, cucunya harus bisa kembali hidup, setidaknya sebelum ia pergi dari dunia ini. Harapannya adalah; nenek Kim hanya ingin melihat cucu kesayangannya hidup dengan bahagia.
"Cucu nenek harus memiliki pendidikan yang baik." kali ini Yerin menggunakan jurus andalannya. Ia hanya ingin meminta pada neneknya untuk membuatnya bisa bersekolah dirumah dan home schooling seperti biasa. Harapan Yerin tak banyak, ia hanya ingin bersama orang terkasihnya sebelum ia kembali kehilangannya. Namun ia juga takut, ia meyakini bahwa semua orang yang dekat dengan dirinya, pasti Tuhan akan terlalu cepat mengambilnya darinya. Dan ia sangat takut semua itu terjadi pada neneknya. Sekarang Yerim hanya memiliki neneknya, ia tak tahu harus bagaimana lagi hidupnya setelah mungkin ia kehilangan semuanya.
"Aku bisa home schooling. Seperti biasa." ucap Yerin begitu yakin sembari membulatkan matanya berusaha mengemis simpati dari neneknya itu.
Namun neneknya lagi-lagi menggeleng, membujuk cucunya memang bukanlah hal mudah, namun ia akan tetap berusaha sampai cucunya memenuhi permintaannya.
"Kau harus pergi ke universitas, nenek sudah membayar semua biaya juga semua keperluanmu. Ingatlah Kim Yerin, nenek hanya memilikimu untuk menjadi penerus Kim Group yang sudah kakekmu rintis dengan susah payah. Nenek mempercayaimu, cucuku." ucap sang nenek pada akhirnya. Entahlah ia tak tahu apakah kali ini ia berhasil membujuk cucunya atau malah membuat cucunya berpikiran untuk kabur dari mansion besar miliknya ini.
"Nek..." Rengek Yerin lagi. Yerin tidaklah yakin pada dirinya sendiri akan bisa menjalani kehidupan universitasnya atau tidak. Ia masih takut. Selalu ketakutan itu yang menggerus keberaniannya. Ia selalu kalah pada rasa sakit itu, tepatnya ia bukan kalah, tapi mengalah.
"Masih takut?" tanya nenek Kim dan langsung direspon anggukan cepat dari Yerin. dan nenek Kim pun tersenyum simpul sesaat sebelum ia mengulurkan kemari lemahnya pada pipi Yerin yang masih basah. Air matanya masih senantiasa mengalir, namun tidak sederas beberapa menit yang lalu.
"Nenek akan memberimu teman, untuk menjagamu dan melindungimu. Dia tidak akan membuatmu takut lagi."
Neneknya masih senantiasa menebar senyum sesaat kalimatnya selesai. Sedangkan Yerin masih berusaha mencerna tiap kata yang neneknya lontarkan untuknya. Teman? Seseorang yang melindunginya? menjaganya? pikirnya tak habis-habis, hingga pada akhirnya neneknya menyebutkan satu nama.
"Choi Jungkook akan menjadi temanmu."
Yerin seketika langsung melebarkan kelopaknya, pupilnya turut melebar karena ia sangat terkejut. Seorang pria? Baiklah, tapi Yerin masih harus menerima penjelasan lebih lanjut.
"Apa ada yang lebih baik dari ini?" ucap Yerin harap-harap tak pasti. Ia tidak bisa menerima tawaran neneknya ini yang kelewat mendadak. Ia tak pernah mendengar nama seorang pria yang neneknya sebutkan, pun tak pernah melihat seperti apa rupanya. Pun sekarang, ia tak memiliki pengalaman apapun dalam berteman, teman terakhirnya dulu sekali, sekarang telah menghilang setelah dirinya memutuskan mengurung diri.
Neneknya menggeleng lagi, memang tak ada pilihan lain, hanya itu yang terbaik dan jalan terakhir. Pikir neneknya begitu.
"Kau hanya perlu membuat semuanya kembali, Yerin-ah." ucap neneknya sembari beringsut beranjak.
Semula Yerin masih berusaha mencegah neneknya pergi dari kamarnya, berniat kembali melakukan negosisasi, siapa tahu neneknya akan berubah pikiran setelah Yerin memasang tampang memelasnya. Namun lagi-lagi neneknya menggagalkan rencananya. Neneknya dengan lembut melepas genggaman Yerin yang serasa makin menguat, tapi ia berhasil melepaskan tangannya dari cucunya itu, dan mulai melenggang menuju pintu dan meninggalkan Yerin dengan segaka kegundahannya.
Setelah itu, Yerin terus memandangi tubuh neneknya yang mulai menekan kenop pintu lalu menghilang dari sana.
Yerin terus saja menggumamkan nama itu, selepas neneknya benar-benar pergi dari kamarnya. Ia hanya masih tidak percaya bahwa neneknya akan secepat itu membuat burung dalam sangkar ini harus dilepaskan bahkan saat tau burung itu tidak mengetahui sama sekali bagaimana cara untuk terbang.
"Choi Jungkook? Choi? Jungkook?"
[]