webnovel

Perasaan seorang wanita

Aku menatap langit-langit kamarku, Aku masih memikirkan tentang kecelakaan tersebut, Aku masih berpikir bahwa hal tersebut mamang hanya kecelakaan biasa, tapi kenapa Silvi begitu yakin kalau ini adalah pembunuhan.

Apa jangan-jangan dia adalah pembunuhnya, dia juga yang menyarankan untuk pergi memeriksa gedung-gedung di sepanjang jalan, dan dia juga terlalu memaksa kami untuk pergi ke atas bukit, memangnya apa yang ada di atas bukit sana, kenapa Silvi sangat ingin pergi ke atas.

Dia mengatakan kalau dia tidak pernah pergi ke atas sana, tapi apakah dia memang tak pernah pergi ke sana? Apa dia mengetahui sesuatu di atas sana yang tidak diketahui olehku? Tapi apakah memang ada sesuatu di atas sana yang tidak diketahui olehku? Kalau memang ada, Apakah itu? Ini semakin rumit saja.

Silvi juga sangat yakin kalau Ibunya bukan pembunuh Ayahnya, bahkan setelah Aku selesai menjelaskan alasanku, dia masih yakin kalau Ibunya tidak mungkin membunuh Ayahnya, kalau dia mengetahui kalau Ibunya sudah tidak mencintai Ayahnya lagi, Apakah dia akan yakin kalau Ibunya yang membunuh Ayahnya.

Tapi, Apakah memang benar kalau Silvi tak mengetahui pertengkaran mereka? Meskipun kamar mereka berjauhan, Silvi seharusnya pernah mendengar pertengkaran mereka, walau hanya sekali. Apakah Silvi memang tidak pernah naik ke lantai atas dan mendengar pertengkaran mereka? Atau setidaknya dia bisa membaca diari Ibunya, dia mengetahui letak diari Ibunya, jadi kenapa dia tak membacanya. Sebaik apapun sifatnya, seharusnya dia pernah membaca isi diari tersebut, minimal halaman pertama atau terakhir.

Aku bangkit dari kasurku dan memegang kepalaku yang terasa sakit, lalu mengeleng-gelengkannya, mencoba membersihkan pikiranku.

Aku tidak bisa membayangkan kalau Silvi membunuh Ayahnya, bahkan Ibunya sekalipun, Aku tidak bisa membayangkan salah satu dari merekalah yang membunuh Ayah Silvi.

Saat Aku menundukkan kepalaku, sebelum tiba-tiba hand phone-ku berbunyi. Aku mengambil hand phone-ku yang berada di atas meja dan melihat ke layarnya yang hanya menunjukan nomor teleponnya saja tanpa ada nama si penelepon, tapi Aku bisa menebak siapa yang meneleponku.

Aku mengangkat hand phone-ku dan terdengar suara dari orang yang Aku tebak di pikiranku tadi.

"Ya, ada apa?"

"Apa kau sudah menemukan bukti lainnya?"

Silvi, nama si penelepon, langsung menanyankan hal yang bisa Aku tebak juga. Mana mungkin Aku bisa menemukan bukti lainnya kalau Aku saja hanya tiduran di kasurku, tapi Aku jelas tidak bisa mengatakan hal itu.

"Tidak, Aku masih belum menemukan sesuatu! Kenapa kau tidak menghubungi Kate saja, siapa tahu dia telah menemukan sesuatu!"

"Aku sudah menghubunginya, tapi dia tak menemukan sesuatu!"

Tampaknya kami memang tak menemukan kemajuan dalam penyelidikan kami. Ini juga sudah Aku duga, memang bisa apa 3 siswa SMA lakukan di saat seperti ini.

"Tapi, Kazuki..... apa kau.....?"

"Ada apa? katakan saja!"

Silvi nampak ragu untuk mengatakan sesuatu, jadi Aku sedikit memaksanya untuk mengatakan apa yang dipikirkannya.

"Apa kau masih... mencurigai... Ibuku?"

Sepertinya dia masih khawatir tentang Ibunya, Aku mengambil nafas sejenak lalu mengatakannya isi pikiranku.

"Sebetulnya Aku tak bisa membayangkan Ibumu membunuh Ayahmu! Tapi, selama Aku tak menemukan orang lain yang mencurigakan, Ibumu tetap akan menjadi tersangka utamanya!"

Aku bisa membayangkan wajah Silvi yang tampak sedih dengan kepala yang diturunkan di seberang telepon sana.

Setelah beberapa detik jeda, Aku kembali mendengar suara Silvi.

"Aku akan menemukan bukti kalau Ibuku tidak bersalah!"

Dan setelah mengatakan itu dia menutup teleponnya, dia bahkan lupa untuk mengatakan sampai jumpa.

"Memangnya siapa yang memulai penyelidikan ini sampai Ibumu dicurigai!"

Aku mengatakan hal tersebut sambil melihat ke Handphone-ku yang sekarang sudah kembali gelap, tapi setelah dipikirkan kembali yang memulai penyelidikan ini adalah Kate dan Akulah satu-satunya yang mencurigai ibunya.

Aku menghela nafas dan mengembalikan hand phone-ku ke atas meja, kemudian Aku keluar kamar, atau lebih tepatnya ke lantai satu.

Aku melihat Ibu tiriku sedang membaca buku resep, tampaknya dia ingin membuat sesuatu yang baru untuk makan malam kami nanti, atau lebih tepatnya dia dan Ayahku, karena Aku akan berada di rumah Kate malam nanti.

"Ibu, apa kau ingin membuat sesuatu yang lain untuk makan malam?"

Ibu tiriku tampak sedikit terkejut dan dia kemudian melihat ke arahku yang sedang berjalan ke arahnya. Dia memasang senyumnya dan menyapaku.

"Kazuki, Kau sudah bangun rupanya!"

Sebetulnya Aku sama sekali tidak tidur, Aku hanya berbaring di tempat tidurku sambil memikirkan tentang kasus ini, tapi Aku tak menyangka Aku melakukan itu selama hampir 3 jam.

"Ya, Ibu memang ingin membuat sesuatu yang baru, tapi entah kapan akan membuatnya, saat ini Aku hanya memilih menu mana yang gampang dibuat."

Aku kemudian duduk di kursi di dekat Ibu tiriku, kemudian Aku menggeser kursiku menghadap Ibu tiriku, dan mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak Aku katakan kepada Ibu tiriku.

"Ibu, kenapa Kau harus menikah dengan Ayahku!?"

Ibu tiriku tampak terkejut dengan pertanyaanku, tapi dia kemudian memasang senyumnya kembali. Berhentilah tersenyum di saat suasana hatimu sedang tidak senang, itu mengganguku.

"Aku menikah dengan Ayahmu, karena Aku kagum dengan Ayahmu!"

Kagum? Dengan Ayahku? Aku sama sekali tidak menemukan sesuatu yang mengagumkan dari Ayahku, malah Aku mengangapnya hanyalah seorang penakut yang tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya telah meninggal, meskipun Aku bisa dikatakan sama dengannya, tapi Aku tidak sampai sepertinya yang terus saja melarikan diri.

"Kagum? Bagaimana kau bisa kagum dengan Ayahku?"

Ibu tiriku masih memasang senyumnya, dan menjawabku dengan suara yang lembut.

"Kau mungkin saat ini tidak bisa menerimaku sebagai Ibumu, tapi Aku harap kau bisa menerimaku suatu hari nanti sebagai Ibumu... Jadi kau ingin mengetahui alasan Aku kagum dengan Ayahmu, ya?"

Ibu tiriku kemudian mendongakkan kepalanya seolah-olah sedang mengenang sesuatu yang menyenangkan dan membekas dihatinya.

"Aku bertemu pertama kali dengan Ayahmu saat Aku pertama kali kerja di kantor Ayahmu, dia saat itu menjadi seniorku dan mengajariku dengan pelan-pelan dan sangat mudah Aku mengerti, dia juga menjadi teman curhatku... dan tanpa Aku sadari Aku telah jatuh cinta kepada Ayahmu!"

Kemudian Ibu tiriku menundukan kepalanya, seakan dia sedang bersedih karena mengenang sesuatu.

"Tapi, setelah mengetahui kalau dia sudah menikah, hatiku langsung hancur seketika, dan Aku mulai kehilangan semangatku untuk berkerja, tapi Ayahmu terus menemani dan menghiburku, jadi kelamaan Aku kembali semangat berkerja, meskipun Aku masih tidak bisa melupakan cintaku kepada Ayahmu!"

"Begitukah... kau agak menyedihkan..."

Aku hanya menjawabnya datar. Aku masih tidak mengerti kenapa dia masih bisa mencintai Ayahku, meskipun dia sudah tahu kalau Ayah sudah memiliki istri.

"Kurasa kau benar.... Mungkin kau bisa memanggilku seorang yang menyedihkan atau mungkin malah seorang wanita yang jahat, atau mungkin seorang iblis. Karena saat Aku mendengar tentang kematian Ibumu, entah mengapa Aku malah menjadi senang, seolah sebuah harapan baru saja muncul tepat dihadapanku."

Aku kali ini menatapnya dengan pandangan yang tajam dan penuh kebencian, Aku mengepalkan tinjuku sekuat tenagaku, menggeretakan gigiku dan mengeram. Bisa-bisanya dia mengatakan hal tersebut, mengatakan kalau dia senang karena kematian /ibuku, Aku tidak bisa memaafkannya, Aku tidak bisa memaafkan seseorang yang sepertinya.

Ibu tiriku tampak sangat ketakutan melihatku, dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tampak ragu untuk mengatakannya, jadi dia hanya terus membuka tutup mulutnya.

Aku segera masuk ke kamarku, lalu mengambil dua buah tas, dan memasukan semua benda-benda pribadiku, seperti seragam, buku dan benda lainnya.

Setelah itu Aku kembali ke lantai pertama dan melihat Ibu tiriku, dia nampak menangis saat ini.

"Maaf Kazuki.... Maafkan... Ibu!"

"Kau bukan Ibuku!!!"

Aku membentaknya dengan keras, lalu meninggalkan rumah tersebut, Aku mengambil motorku yang seharusnya tidak boleh Aku kendarai sebelum lulus dari SMA atau hanya dalam keadaan darurat saja.

Motor tersebut diberikan oleh kedua orang tua Kate untukku karena mau menemani Kate, dan mereka mengatakan jangan mengunakan motor ini dengan sembarangan, tapi yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa motor ini diberikan oleh orang tua Kate dan bukan oleh orang tuaku sendiri.

Aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi, setidaknya Aku ingin cepat-cepat pergi dari rumah tersebut.

z

"Kau seharusnya tidak mengendari motormu sebelum lulus SMA, bukankah kau sudah berjanji padaku!"

Itulah hal yang pertama kali dikatakan Kate saat melihatku membawa motorku ke rumahnya, saat ini motorku berada di garasi rumahnya.

"Saat ini adalah keadaan darurat, Kau mengizinkanku memakainya saat keadaan darurat, bukan?"

Aku menyadarkan pungungku di sandaran sofa, saat ini Aku berada di ruang dekat dengan garasi dan juga dapur milik Kate.

"Keadaan darurat? Memangnya apa yang terjadi?"

Kate duduk di sofa seberangku, Aku melihatnya sedang menatapku khawatir. Setidaknya dia bisa sangat perhatian di saat-saat seperti ini.

"Aku sedang tak ingin berada di rumahku! Aku ingin pergi sejauh-jauhnya!"

"Apa kau berkelahi dengan Ayahmu, atau justru Ibu tirimu?"

Sepertinya Kate langsung menyadari apa yang terjadi di rumahku.

"Dengan Ibu tiriku! Dia mengatakan dia senang dengan kematiaan Ibuku hanya karena dia mencintai Ayahku, dia tampak senang karena orang yang menghalangi cintanya telah menghilang!"

Kate menurunkan pandanganya, dia sepertinya ikut bersedih dengan keadaanku.

"Apa kau ingin kubuatkan teh atau kopi?"

"Terserah saja, Aku tidak peduli!"

Setelah itu Kate pergi ke dapur, sedangkan Aku menjatuhkan diriku di sofa dan menaruh tanganku di kepalaku, kepalaku benar-benar terasa sangat panas saat ini.

Ruangan ini berukuran kecil, tapi nampak nyaman untuk mengobrol akrab dengan teman-temanmu, karena ruangan ini memang khusus dibuat untuk mengobrol, di sini tak ada TV atau Radio, tapi di sini ada dua buah sofa yang di pisahkan oleh sebuah meja yang biasa sebagai tempat meletakan kue-kue, bahkan di hadapanku saat ini ada banyak toples yang diisi dengan berbagai jenis kue.

Kate kembali ke ruangan ini sambil membawa teko dan dua cangkir, dia meletakan salah satu cangkir di hadapanku dan menuangkan teh pada cangkir tersebut.

Aku kemali ke posisi dudukku dan meminum teh dari cangkir tersebut hingga habis, lalu Kate kembali menuangkan teh pada cangkirku.

"Sepertinya Aku mengerti perasaan Ibu tirimu!"

Sepertinya tadi Aku mendengar sesuatu yang aneh dari mulut Kate, Aku menatap tajam pada Kate.

"Apa yang tadi kau katakan?!"

"Sepertinya Aku mengerti perasaan Ibu tirimu!"

Kate kembali mengulang kata-katanya, dan Aku bisa memastikan bahwa tadi Aku tidak salah dengar.

"Apa yang bisa Kau mengerti dari perasaan wanita sepertinya, bagaimana bisa seseorang senang karena kematian seseorang! Aku sama sekali tidak bisa mengerti hal tersebut!"

Aku menaikan suaraku saat mengatakan hal tersebut, Kate nampak gemetaran saat mendangar suaraku yang mengerikan.

"Dia... dia tidak... dia tidak...."

Kate mengatakan hal tersebut denga suara yang sedikit gemetar, Aku tidak pernah melihat Kate yang tampak ketakutan saat melihatku sebelumnya, Apa saat ini Aku sangat menakutkan.

Beberapa pelayan masuk ke dalam ruangan ini karena mendengar suaraku, tampak padangan cemas dari mata para pelayan.

"Aku tidak apa-apa... kalian bisa pergi!"

Kate mengatakannya sambil berjalan ke pintu masuk dan kemudian mengusir para pelayan, lalu menutup pintu dan menguncinya.

"Apa yang tadi coba kau katakan?"

Aku bertanya tentang Apa yang tadi akan dikatakan olehnya.

Kate berjalan kembali ke tempat duduknya, lalu meminum tehnya dengan tangan yang gemetar.

Keheningan kemudian tercipta di ruangan ini, Aku terus menunggunya sampai dia mengatakan sesuatu tanpa Aku mengatakan sesuatu.

"Dia tidak... dia tidak senang dengan kematian Ibumu! Sama sekali tidak!"

"Lalu Apa?... Apa yang membuatnya senang!? Aku jelas-jelas mendengar kalau dia mengatakan kalau dia senang dengan kematian Ibuku!"

Aku mengatakanya dengan suara datar yang menakutkan, bahkan Aku sendiri tidak percaya bahwa suaraku bisa sangat menakutkan seperti itu.

"Dia senang karena dia memiliki harapan bahwa cintanya yang seharusnya tidak berbalas, menjadi bisa terbalaskan!"

Aku masih tidak mengerti Apa yang dia maksudkan, Aku tidak mengerti tentang cinta, Aku tidak mengerti tentang perasaan wanita.

"Apa yang kau katakan, Aku sama sekali tak mengerti!"

Kate mengusap matanya yang sedikit berair, dia kemudian membuat senyum kecil dan terus memandangiku.

"Saat seorang gadis menemukan cinta sejatinya, dia akan melakukan apapun demi cintanya!"

"Apa maksudmu?.... Apa maksudmu Ibu tiriku yang membunuh Ibuku agar cintanya terbalaskan! Apa kecelakaan yang dialami Ibuku merupakan perbuatannya!"

Kate mengeleng-gelengkan kepalanya, tanda bahwa Aku salah.

"Tidak, tentu saja tidak... saat seorang gadis menemukan cintanya, dia ingin orang yang dicintainya bahagia, dan gadis tersebutlah yang membuatnya bahagia!"

Aku menundukan kepalaku, membuat seseorang yang dicintainya bahagia.

"Apa itu sama seperti Ibuku yang mencoba membuatku bahagia?"

Kali ini Kate menganggukan kepalanya.

"Ya, sama seperti itu!"

Aku memalingkan wajahku dari Kate, Aku mengatur detak jantungku yang tanpa Aku sadari sudah berdetak sangat cepat.

Aku kembali menatap wajah Kate, dia hanya tersenyum kecil sambil memegang cangkirnya.

"Maaf."

"Huh, Apa?"

Kate tampak terkejut karena Aku mengatakannya secara tiba-tiba.

"Maaf karena telah membentakmu!"

Kate kali ini tersenyum lembut, dan tangannya mulai berhenti bergetar.

"Tak apa, Aku justru senang karena Kau mengatakan itu hanya kepadaku!"

Aku mangambil cangkirku dan kembali menghabiskan tehku.

"Bolehkan, Aku tinggal di rumahmu sampai Aku bisa kembali ke rumahku?"

"Ya, tentu saja!"

Setelah itu kami hanya duduk sambil memakan kue, dan menghabiskan teh kami, tanpa mengatakan apapun.

z

"Jawab pertanyaankuuu!!! Apa yang kemarin kau lakukan bersama Silvia dan Katrine, Aku melihat kalian jalan bersama! Apa kalian sedang berkecan!! Dasar kau bajingan, Kau mengencani dua gadis sekaligus!!"

Hal yang paling menyebalkan adalah mendengarkan ocehan seseorang yang sangat berisik di pagi hari, dan itulah apa yang sedang terjadi padaku.

Meskipun keadaan di rumahku menjadi kacau, tapi keadaan di sekolah malah seperti biasanya, dan hal inilah yang paling tak kusuka, kenapa Aku harus selalu mendengarkan ocehan gogoh di pagi hari di saat suasana hatiku seperti ini.

"Bahkan Kau tadi pagi berangkat dengan mobil yang sama dengan Katrine, Apa yang terjadi antara kalian berdua kemarin!! Apa jangan-jangan kalian sudah 'melakukannya'?!"

Aku hanya bisa menutup telingaku mengunakan jariku, tapi tetap saja hal tersebut tidak bisa membuatku tidak mendengarkan ocehannya yang terlalu berisik dan tidak penting, seharusnya kau tahu kalau Aku memang selalu berangkat bersama dengan Kate setiap hari senin, karena kau juga selalu mengocehkan hal tersebut diAhari senin.

"Jawab pertanyaankuuu!!!"

Aku kemudian merobek kertas lalu meremasnya dan menjadikannya seperti bola, dan kemudian Aku menyumpal mulut Gogo menggunakan kertas tersebut.

"Hmph....Hmph....Hmph!"

Gogoh tampak meronta-ronta karena mulutnya Aku sumpal menggunakan kertas.

Kemudian seorang gadis masuk ke dalam kelas dan mencuri pandangan ke setiap orang yang berada di dalam kelas, termasuk diriku, bedanya Aku dengan mereka adalah pandanganku yang terlihat biasa-biasa saja, tidak seperti mereka yang tampak kagum.

"Selamat pagi Kazuki!"

Gadis tersebut menyapaku dengan senyum, dia menebarkan aura keceriaan disekitarnya, berbeda dengan beberapa hari yang lalu.

"Pagi!"

Aku mengatakannya dengan nada datar, kontras dengan nadanya yang terdengar ceria, sebetulnya apa yang terjadi dengannya hari ini.

"Apa kau sudah menemukan bukti lainnya!"

"Tidak, kalau Aku sudah menemukannya Aku akan memberi tahumu, Silvi!"

Gadis tersebut, Silvi, tampak sedikit kecewa, lalu dia kembali lagi dengan senyumnya yang sebelumnya.

"Begitukah, Sayang sekali! Tapi, tak apa-apa, kita pasti akan menemukannya!"

Aku menganggukan kepalaku sebagai respon perkataannya, setelah itu Silvi duduk di kursinya, atau bisa dikatakan di sampingku.

Gogoh kemudian mengunyah kertas yang menyumpal mulutnya lalu menelannya.

"Apa yang dimaksud bukti olehnya? Apa mungkin maksudnya bukti, kalau dia sudah..."

Setidaknya kau bisa membuang kertas yang menyumpal mulutmu, bukannya menelannya, dan lagi apa kelanjutan omonganmu tadi, kau membuat semua ini menjadi semakin rumit, kau tahu.

Bukti yang dimaksud olehnya jelas adalah bukti tentang kecelakaan yang dialami oleh Ayahnya, dan bukan bukti yang sedang Gogoh pikirkan, meskipun Aku tidak tahu apa ynag dipikirkannya.

"Hei! Cepat jawab! Apa yang dimaksud dengan bukti?"

Gogoh kali ini mengatakannya sambil mengocang-goncangkan kerah bajuku, Aku tentu saja langsung mendorong wajahnya dan membuatnya menyingkir dariku.

Setelah Aku menyingkirkan Gogoh dariku, Aku membereskan kembali meja dan bajuku yang berantakan karena ulahnya. Setelah selesai membereskan semuanya, Aku menatap Silvi yang berada di sampingku, dia tampak sangat senang mengobrol dengan temannya, tapi yang menjadi pertanyaanku adalah, kenapa dia bisa sesenang itu? padahal baru beberapa hari yang lalu Aku mengatakan bahwa Ibunya adalah tersangka pembunuhan Ayahnya, tapi kenapa sekarang dia tampak kembali ceria seperti dulu, seperti Silvi yang dulu sebelum kecelakaan Ayahnya terjadi.

Aku memang tak memahami perasaan seorang wanita, tapi setidaknya Aku mengetahui kalau seseorang tidak mungkin berubah tanpa ada yang terjadi sebelumnya.

Silvi yang Aku lihat saat ini adalah Silvi yang ceria dan sangat mudah tersenyum, tidak seperti Silvi yang memintaku menyelidiki kecelakaan Ayahnya dengan memaksa, tidak seperti Silvi yang langsung marah setelah Aku menyatakan kalau Ibunyalah yang menjadi terangka utama dalam kasus ini, dan tidak seperti Silvi yang memaksa untuk pergi ke atas bukit hanya untuk melihat taman bermain untuk anak-anak, tapi justru malah Silvi yang tanpa beban dan menebarkan kegembiraanlah yang kulihat saat ini.

Kate kemudian masuk ke dalam kelas dan duduk tepat di depanku, Aku menyentuh sedikit pundaknya untuk menarik perhartian Kate.

"Ada apa?"

Kate kemudian menolehkan kepalanya dan bertanya dengan suara pelan.

"Apa yang terjadi dengan Silvi?"

Aku bertanya sambil menunjuk ke arah Silvi mengunakan jempolku.

"Aku akan menjelaskannya nanti saat jam istirahat!"

Setelah itu Kate membalikkan kembali tubuhnya dan melihat ke arah papan tulis, setelah itu bel jam pertamapun berbunyi.

z

Setelah jam istirahat berbunyi, Kate langsung menarik tangan Silvi untuk ikut dengannya, sedangkan Aku mengikuti mereka dari belakang, Aku juga mengabaikan Gogoh yang terus berteriak memanggilku.

Aku terus mengikuti mereka sampai di pinggiran pagar pembatas sekolah yang berada di dekat gudang sekolah.

"Kalau kita berbicara di sini, mungkin malah mengundang kecurigaan dari para guru!"

Aku mengatakannya karena khawatir dengan apa yang akan terjadi bila ada guru yang melihat kami di sini.

"Kalau kita ke tempat lain mungkin ada murid yang mendengarnya, lagi pula jarang yang akan pergi ke sini saat jam istirahat..... dan lagi, kalau kita dilihat gurupun, guru pasti mengira kita sedang belajar atau semacamnya, karena mereka sudah mengenal kita!"

Kate menjawabku dengan jawaban yang tidak bisa Aku bantah lagi, tapi memang begitu rahasianya pembicaraan kita kali ini, sampai harus sembunyi-sembunyi.

Setelah kami mengambil posisi duduk masing-masing, Kate kemudian membuka mulutnya.

"Sebetulnya Aku sudah memberitahukan semua yang terjadi padamu kepada Silvi, Aku minta maaf karena tak membari tahumu terlebih dahulu!"

Kate sedikit menunduk saat mengatakannya sebagai tanda meminta maafnya, sekarang Aku mengerti kenapa pembicaraan ini sangat rahasia.

"Aku turut berduka, Aku tidak tahu kalau kau sedang menghadapi masalah rumit seperti ini!"

Jangan mengatakan seolah-olah anggota keluargaku ada yang meninggal, Silvi.

Kate kemudian mengangguk dan melanjutkan ucapanya yang sebelmnya.

"Aku kemudian menyuruh Silvi untuk bersikap lebih baik saat berhadapan denganmu dan juga tidak terlalu memaksamu!"

Silvi mengaggukkan kepalanya membenarkan ucapan Kate tadi.

"Ya, maka dari itu Aku mencoba tersenyum padamu, meskipun Aku sedih karena Kau belum menemukan bukti apapun!"

Ya, kurasa Aku mengerti mengapa Silvi bersikap seperti dirinya yang dulu. Aku mendesah lalu berkata dengan pelan.

"Kau tidak perlu terlalu memaksakan dirimu!"

"Aku tidak memaksa diriku, Aku hanya mencoba menjadi diriku yang sebelumnya, lagi pula Aku yang tampaknya terlalu memaksamu kemarin!"

Meskipun suaraku pelan, tapi tampaknya Silvi bisa mendengarku dengan jelas. Aku kemudian menatap wajah Kate dan Silvi.

"Apa ini juga berasal dari perasaan seorang wanita?"

Baik Silvi maupun Kate mengaggukkan kepalanya dengan sangat yakin.

"Ya, Kau bisa mengatakannya begitu!"

"Seorang wanita yang melihat temannya dalam kesulitan, setidaknya akan mencoba untuk menghiburnya!"

Kate dan Silvi mengatakannya secara bergantian.

Aku sama sekali tidak mengerti perasaan seorang wanita.

"Meskipun Aku adalah orang yang menuduh Ibumu sekalipun, Kau tetap akan menghiburku!"

Aku mengatakan hal tersebut kepada Silvi, seharusnya dia membenciku, itu sudah wajar karena Aku menuduh orang tersanyangnya tanpa bukti yang jelas, dan Aku tidak akan mengeluh jika dia benar-benar membenciku. Tapi Silvi menganggukan kepalanya, tersenyum dan menjawab dengan sangat yakin.

"Tentu saja, karena Kau adalah temanku!"

Aku menundukkan kepalaku, Aku semakin tidak mengerti perasaan seorang wanita. Kenapa Silvi yang seharusnya marah, malah mencoba untuk menghiburku, bukannya bertindak biasa saja atau tidak peduli tentang orang tersebut, tapi dia malah tersenyum padaku, orang yang telah mengatakan yang tidak-tidak.

Jika Ibuku dituduh membunuh seseorang, Aku jelas akan sangat marah dan tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan orang tersebut, meskipun orang tersebut adalah teman dekatku sekalipun. Tapi Slivi berbeda, dia dapat mengesampingkan egonya sendiri dan mencoba menyemangati orang seharusnya dia benci.

"Seorang wanita akan bertindak seperti seorang Ibu secara alami saat melihat seseorang sedang kesusahan!"

Kate mengatakan hal tersebut dengan lembut.

Begitukah. Jadi maksudnya Aku berbeda dengan mereka, wanita akan secara alami bertindak seperti seorang Ibu, karena mereka juga akan menjadi seorang Ibu suatu hari nanti, sedangkan Aku hanya akan menjadi Ayah. Aku mulai mengerti konsepnya.

"Jadi, maksudmu adalah Aku tidak akan mengerti perasaan kalian!"

"Seorang pria tidak akan pernah mengerti perasaan wanita, kecuali mereka bisa menjadi seorang Ibu!"

Kate mengatakannya dengan nada bercanda. Tentu saja itu tidak mungkin, pria tidak akan menjadi Ibu dan juga sebaliknya wanita tidak mungkin menjadi Ayah.

"Tapi, seharusnya ada juga yang hanya bisa dirasakan oleh pria dan tidak bisa dirasakan oleh wanita!"

Aku mengatakannya sambil mendongakkan kepalaku menatap ke arah langit yang cerah.

"Tentu saja ada, contohnya perasaan seorang suami yang khawatir saat istrinya sedang mengandung anaknya!"

Kali ini yang menjawabku adalah Silvi, dia mengatakannya sambil tersenyum ceria. Kemudian Kate menganggukan kepalanya dan melanjutkan yang dikatakan Silvi tadi.

"Ya, banyak wanita yang merasa risih saat suaminya terlalu khawatir dengan kandungan yang sedang dikandungnya, penyebab hal itu terjadi karena wanita tersebut tidak merasakan apa yang dirasakan suaminya saat itu!"

Aku menatap mereka berdua, lalu menundukkan kepalaku dan bergumam dengan suara pelan.

"Kurasa Aku tidak akan terlalu khawatir kalau istriku sedang hamil!"

"Kau bisa mengatakannya saat ini, tapi setelah kau merasakannya sendiri, kau tidak akan bisa mengatakannya!"

Kate mengatakan hal tersebut sambil tersenyum berani, senyum yang seakan menantangku.

"Kita lihat saja nanti!"

Setelah itu Aku bangkit dari dudukku dan meninggalkan mereka berdua.

Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi yang jelas Aku masih tidak bisa mengerti sepenuhnya perasaan seorang wanita, tapi untuk kali ini Aku sudah bisa memahaminya sedikit. Setidaknya Aku tahu, kalau Aku tidak akan pernah memahami perasaan wanita sepenuhnya sampai kapanpun. Itulah kesimpulanku.