webnovel

Penyelidikan dimulai

"Aku ingin meminta bantuanmu, Aku ingin kau membantuku untuk menemukan siapa pembunuh Ayahku!"

Silvi mengulangi kembali permintaannya, Aku menatapnya heran. Kenapa dia bisa berasumsi kalau Ayahnya dibunuh.

"Kenapa kau begitu yakin kalau Ayahmu dibunuh? Bisa saja itu hanya kecelakaan biasa?"

Aku bertanya kepadanya.

Silvi menundukan kepalanya, lalu dia mengangkatnya kembali dan langsung melihat ke arah wajahku.

"Ayahku selalu teliti dan berhati-hati, dia tak mungkin mengalami kecelakaan, bahkan dia belum pernah mengalami kecelakaan kecil seumur hidupnya!"

"Bukankah dia beberapa hari yang lalu mengalami kecelakaan? Dan kehilangan nyawanya?"

"Itu bukan kecelakaan, itu adalah pembunuhan!"

"Kalau itu pembunuhan, kenapa kau tak minta bantuan polisi saja?"

"Aku sudah meminta bantuan mereka... tapi mereka tak percaya kepadaku!"

Saat mengatakan itu Silvi menurunkan suaranya dan juga kepalanya. Sepertinya dia sudah berkata tentang pemikirannya kepada polisi, tapi mereka menolak pemikirannya.

"Apa yang polisi itu katakan?"

"Mereka berkata kalau itu kecelakaan!"

"Kalau begitu, itu memang kecelakaan!"

"Meskipun mereka polisi, tapi merka juga bisa salah... dan Aku yakin kalau mereka salah kali ini!"

"Begitu juga Ayahmu, meskipun dia sangat teliti dan berhati-hati, dia pasti pernah ceroboh dan mengalami kecelakaan, seperti beberapa hari yang lalu!"

Aku heran kenapa Silvi yang Aku kenal selalu lembut dan bisa tersenyum, bisa berubah menjadi keras kepala seperti ini. Apa mungkin ini karena pengaruh dari Kate? Aku akan memastikan kalau Silvi tidak akan terlalu terpengaruh dari Kate lebih dari ini.

"Kenapa kau bisa berasumsi kalau Ayahmu dibunuh?"

"Karena Ayah tidak terlalu disukai oleh teman-temannya di kantornya!"

"Apa maksudmu?"

"Ayah bisa dikatakan sangat tampan, bahkan sampai sekarang... dan banyak temannya di kantornya yang iri dengan wajah tampannya.... belum lagi dengan sifat Ayahku yang bisa dikatakan sangat sopan dan baik!"

Baik, sekarang Aku mengerti kenapa dia bisa dibenci oleh teman sekantornya. Bahkan saat ini Aku merasakan ketidak sukaanku kepadanya setelah mendengar dekripsi tentangnya dari Silvi.

Lelaki tampan dengan sifat sempurna, terlalu menyebalkan dan munafik bagiku.

"Ayah juga sering didekati oleh banyak teman wanitanya di kantor, Aku mengetahuinya karena Ibu sering cerita hal itu padaku!"

Oke, Aku bisa mengerti hal tersebut. Bagaimanapun juga Aku sering mengalami hal yang sama dengan Ayah Silvi, jadi Aku bisa mengerti perasaan Ayahnya.

"Tapi Ayah selalu membalas semua wanita yang dekat denganya dengan tersenyum, dan dia juga bersikap ramah pada orang yang tidak menyukainya... Aku mengetahuinya, karena saat kami pergi berbelanja, Ayah terkadang bertemu dengan teman wanitanya dan menyapanya.... Ayah juga terkadang bertemu teman prianya saat kami sedang makan di luar, Ayah tersenyum kepada temannya, tapi hanya dibalas cemberutan atau palingan wajah dari temannya, seolah dia tak mengenal Ayah!"

Oke, Aku mulai tak mengerti dengan sikap Ayahnya. Kenapa dia bisa bersikap seperti itu, di depan teman-temannya yang tak menyukainya. Kalau Aku menjadi dirinya, Aku pasti juga akan pura-pura tak mengenal temannya dan pergi meninggalkannya.

"Jadi, Aku berasumsi kalau mereka yang tak menyukai Ayah, berkerja sama melakukan pembunuhan terhadap Ayah. Mereka membuat rencana yang sangat sempurna hingga kejahatan mereka hanya dikira kecelakaan biasa!"

"Itu mungkin memang bisa terjadi!"

"Betulkan, kau setuju...."

"Tapi hanya di dalam film!"

"Heee!... Apa maksudmu?"

Aku bisa melihat sebuah kebingungan yang sangat besar dari ekpresinya dengan sangat jelas.

"Dalam kehidupan nyata, mereka mungkin hanya akan meletakan racun di minuman atau makanannya, atau menusuk jatung Ayahmu, atau mungkin memutilasinya! Mereka tidak mungkin melakukan sebuah rencana yang rumit hanya untuk balas dendam mereka!"

"Tapi bisa saja mereka merencanakan ini seperti kecelakaan agar mereka tidak dicurigai!"

"Kalau mereka pembunuh profesional, mereka memang bisa melakukannya. Tapi, mereka hanya pegawai kantoran biasa, mereka hanya akan membuat rencana sederhana. Jika, mereka yang melakukan pembunuhan, yang mereka pikirkan hanyalah cara untuk membunuh orang yang mereka benci, tanpa memikirkan akibatnya!"

"Kalau mereka memikirkan akibatnya?"

"Mereka tak akan membunuh Ayahmu!"

Ya, begitulah cara berpikir manusia, jika mereka diliputi oleh rasa dendam, mereka hanya akan memikirkan cara membalaskan dendam mereka, tanpa memikirkan dampak yang akan mereka terima setelah melakukannya.

Jika mereka memikirkan dampak yang akan mereka terima, mereka tidak akan membunuh, tapi malah akan memaafkan perbuatannya.

Jika mereka melakukan pembunuhan, mereka akan masuk penjara dan di dalam penjara itu sangat membosankan, walaupun kau sudah bebas, kau hanya akan dianggap sebagai pembunuh oleh orang-orang di sekitarmu, dan mungkin keluargamu juga akan ikut menganggapmu sebagai seorang pembunuh, bagaimanapun kau memang pembunuh, jadi jangan salahkan mereka.

Jika kau ingin memulai kehidupan baru, Kau harus pergi ke tempat yang sangat jauh, dimana tak seorangpun mengetahui masa lalumu. Tapi, itu juga berarti kau harus menjauhi keluarga dan orang-orang terkasihmu.

Lagi pula Ayahnya juga tak melakukan hal yang bisa membuat mereka membencinya sampai ada yang ingin membunuhnya, jika ada orang yang membencinya sampai bisa membununya, maka Aku juga pasti akan dibunuh oleh teman sekelasku, karena keadaanku tidaklah jauh berbeda dengan Ayahnya.

Meskipun Aku begini, selalu tidak peduli dengan orang-orang disekitarku, tapi Aku mengetahui kalau Aku ini populer dikalangan gadis-gadis. Aku mengetahuinya karena Kate dan juga Gogoh dengan pasukannya selalu mengatakan kalau Aku sangat populer.

"Jadi maksudmu..."

"Itu hanya kecelakaan!"

Kate juga mengatakan kejadian itu hanyalah kecelakaan, jadi Aku sangat yakin kali ini.

"Apa kau punya bukti kalau ini hanya kecelakaan?"

"Tidak, Aku hanya berasumsi saja! Aku mendengar kalau Ayahmu meninggal karena ada mobil yang menabrak mobil Ayahmu, setelah mobil Ayahmu menabrak pembatas jalan!"

"Ya, memang begitu kejadiaannya!"

"Kalau memang begitu, itu bukanlah rencana pembunuhan, dan hanya sebuah kecelakaan!"

"Maksudmu..?"

"Maksudku, coba kau pikirkan! Apa mereka mengetahui akan ada mobil lain yang akan menabrak mobil Ayahmu setelah mobil Ayahmu menabrak pembatas jalan!"

"Tidak, kurasa itu hanya kebetulan!"

"Tepat sekali! Kalau itu hanya kebetulan saja, itu tidak bisa disebut pembunuhan, tapi hanya kecelakaan!"

Aku melihat Silvi menundukan kepalanya sekali lagi dan berkata dengan lirih.

"Aku hanya ingin mengetahui kebenaran dari kecelakaan itu... Aku yakin kalau Ayahku dibunuh... Aku sangat menyukai Ayahku yang baik dan selalu menyayangiku sepenuh hatinya... Aku tak rela melepaskannya begitu cepat!"

Aku mengerti perasaanya, Aku juga tak rela melepaskan kematian Ibuku, bahkan sampai sekarang.

Kau pasti tak akan semudah itu melepaskan kepergian seseorang, apa lagi orang yang sangat dekat denganmu.

"Aku mengerti perasaanmu itu, Aku juga kehilangan Ibuku 3 tahun yang lalu. Terkadang Aku juga bermimpi tentangnya!"

Silvi mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku.

"Kau juga...!"

"Aku juga merasakan kehilangan yang sangat mendalam saat Ibuku meninggal, bahkan saat ini Aku juga masih merasakan kehilangan!"

"Jadi, Apa Kau mau...?"

"Ya, Aku akan membantumu menemukan kebenaran dibalik kecelakaan Ayahmu!"

z

Saat ini Aku berada di dalam rumah Silvi.

Kenapa Aku bisa berada di dalam rumahnya, alasannya sangatlah mudah. Setelah pulang sekolah Aku langsung memintanya untuk mengajakku ke rumahnya. Untuk apa? Jelas untuk menyelidiki kamar Ayahnya dan aktifitasnya sebelum kecelakaan.

"Apakah Ibumu ada di rumah?"

Karena Khawatir kalau kegiatanku nanti akan mengusik Ibunya, Aku memastikan kalau Ibunya tidak ada di rumah.

"Tidak, saat ini Ibu sedang pergi ke restoran, dia menjadi koki di sana!"

"Jadi, Ibumu adalah seorang koki! Kapan dia akan pulang?"

"Mungkin nanti malam jam 8 atau mungkin lebih malam lagi... kalau restoran sedang sibuk!"

Baguslah, kalau begitu Aku tak perlu khawatir Aku akan mengusiknya atau dia yang malah akan menggangguku.

"Memangnya ada apa? Tiba-tiba menanyakan Ibuku?"

"Aku ingin kau memberitahunya kalau kau akan menginap di rumah seorang teman!"

"Memangnya kenapa? Kenapa tiba-tiba kau mengajakku menginap?"

"Sudah lakukan saja! Jangan banyak tanya!"

Sebetulnya Aku ingin mengajaknya tidur di rumah Kate saat kami selesai melakukan penyelidikan dan mendiskusikan kasus ini bersama dengan Kate. Tapi, jika Aku mengatakan yang sebenarnya Aku hanya akan membuatnya curiga denganku dan terus menanyaiku tentang hal itu. Karena semua itu merepotkan, jadi Aku menyuruhnya untuk menutup mulutnya.

"Baiklah... Aku mengerti!"

Silvi kemudian mengeluarkan Handphone-nya dan mengetik sesuatu di sana, dan setelah selesai, dia meletakan kembali Handphone-nya.

"Sudah... Terus apa yang ingin kau lakukan?"

"Apa Ibu atau Ayahmu menulis diari?"

"Ibuku menulis diari... memangnya ada apa?"

"Apa aku bisa melihat isi diari Ibumu?"

"Karena Ibu tak ada di sini, kurasa Kau bisa melihatnya..... tapi, Kau harus membalikannya dengan keadaan seperti sebelumnya!"

"Hm"

Aku menganguk sebagai tanda persetujuanku. Kemudian Silvi menuju ke lantai atas, lebih tepatnya ke dalam sebuah kamar, saat dia keluar, Aku bisa melihat dia membawa sebuah buku.

Silvi menyerahkan buku tersebut kepadaku, Aku bisa melihat tulisan 'Diary' di depan sampulnya.

Aku membolak-balikkan buku tersebut, sampai pada tanggal malam sebelum kecelakaan Ayah Silvi terjadi.

Kalimat yang tertulis di halaman itu adalah:

Hari yang cerah, Aku melakukan perkerjaanku seperti biasa dan tak ada yang istimewa terjadi hari ini, selain Silvi yang ingin pergi jalan-jalan ke taman bermain saat akhir pekan nanti. Aku hanya bisa mengatakan kalau Ayahnya sedang libur, kami akan pergi ke sana.

Aku tak bisa mengatakan kalau Aku dengan Robert sebetulnya sudah tak harmonis lagi, dan kami tak ingin menghabiskan waktu bersama lagi, tapi karena Silvi sepertinya sangat ingin pergi ke sana, Aku dan Robert sepakat untuk berdamai, sampai kami pergi ke taman hiburan.

Dan setelah pergi ke sana, kami baru akan mengatakan kepada Silvi, kalau kami ingin berpisah.

Semoga Silvi bisa mengerti.

Setelah selesai membaca tulisan dalam halaman tersebut, Aku memasang wajah terkejut. Sepertinya Silvi menyadari perubahan ekspresi wajahku setelah membaca buku itu.

"Ada apa? Memangnya apa yang ditulis di sana?"

Tanya Silvi sambil mencoba melihat buku yang sedang Aku pegang, Aku langsung menutup halaman buku tersebut sebelum Silvi bisa melihat isinya.

Sepertinya Silvi tidak mengetahui tentang pertengkaran orang tuanya. Jadi, lebih baik Aku menutupi masalah orang tuanya untuk saat ini.

"Apa kau meminta kepada orang tuamu untuk pergi ke taman bermain?"

"Ya, Aku memintanya. Kami sudah lama tak pergi berlibur bersama! Jadi Aku meminta orang tuaku untuk pergi ke taman bermain bersamaku!"

"Kau sudah berumur 17 tahun, tapi kau masih ingin pergi ke taman bermain!"

"Memangnya kenapa?!... huft!"

Silvi mengatakan hal tersebut dengan bibir yang cemberut dan mengelembungkan pipinya, mungkin itu terlihat imut bagi sebagian orang, tapi Aku hanya menganggap tingkahnya itu terlalu kekanakan untuk orang seusianya.

"Aku tidak terlalu peduli kau ingin pergi ke mana! Tapi ada hal yang ingin kutanyakan?"

Kataku sambil menyerahkan kembali buku milik Ibunya.

"Ya, Apa?"

Silvi kembali tersenyum seperti biasa, dia tak tampak seperti anak yang baru saja ditinggalkan oleh Ayahnya.

"Wajah Ayahmu terlihat seperti apa?"

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu? Kalau kau ingin tahu wajah Ayahku seperti apa, kau bisa melihatnya di sana!"

Silvi mengatakannya sambil menunjuk sebuah foto yang tergantung di dinding, Aku mengikuti pandangannya dan Aku melihat wajah seseorang yang sangat tampan.

Wajah pria tersebut seperti lelaki yang baru berusia 20 tahun, dia memiliki warna rambut pirang dan mata berwarna biru cerah yang sangat mirip dengan milik Silvi.

Aku bisa mengerti kenapa Silvi bisa memiliki wajah yang sangat cantik dan menawan, tapi Aku tak terlalu suka dengan wajahnya, dia seperti seorang Playboy yang suka mempermainkan wanita di mataku.

"Dia tampan."

Aku mengatakannya bukan sebagai pujian, tapi hanya sebuah respon agar tak menyinggung Silvi. Kalau Kate sampai tahu kalau Aku mengatakan kalau Ayah Silvi tampan, dia pasti akan mengejek dan menertawakanku sampai dia puas.

"Terima kasih! Wajah Ayah memang sangat tampan!"

Senyum Silvi semakin lebar saat menatap foto Ayahnya.

"Apa kau jatuh cinta dengan Ayahmu?"

Aku memandang heran Silvi, kenapa dia bisa tersenyum dengan sangat alami setelah melihat wajah Ayahnya.

"Tentu saja tidak!"

Silvi kembali cemberut dan memalingkan wajahnya, tingkahnya begitu kekanakan. Aku menghela nafas lalu berkata.

"Kau memandang foto Ayahmu dengan pandangan seperti seorang yang sedang jatuh cinta!"

Silvi kembali memandang foto Ayahnya dan tersenyum lembut.

"Mungkin Aku memang jatuh cinta kepadanya, tapi Aku tak mungkin menikah dengannya, jadi Aku memutuskan untuk mencari lelaki lain yang seperti dirinya!"

"Mencari lelaki seperti Ayahmu pasti sangat sulit!"

Jika kau bertanya padaku berapa banyak orang yang mirip dengan Ayah Silvi, Aku akan menjawab tak akan ada lelaki yang mirip dengan Ayahnya.

Itu karena setiap manusia selalu memiliki perbedaan, meskipun mereka adalah saudara kembar identik sekalipun, pasti akan ada satu perbedaan.

"Ya, kau benar. Tapi Kenapa kau tahu kalau Aku memandang foto Ayahku dengan pandang seperti seseorang yang sedang jatuh cinta? Apa kau pernah melihat seorang yang sedang jatuh cinta?"

"Ya, Aku pernah!"

Aku memang pernah melihatnya, lebih tepatnya saat 3 tahun yang lalu, Aku melihatnya dengan sangat jelas. Pandangan dari seorang gadis yang sedang jatuh cinta.

"Hee! Siapa?"

Pandangan kaget dan bingung dengan jelas terlihat melalui ekspresi wajah Silvi, Aku paling malas kalau harus berhubungan dengan sesuatu yang seperti ini.

"Aku tak ingin menjawab! Lagi pula ada hal yang lebih penting untuk kita lakukan!"

Aku segera mengganti topik pembicaraan untuk menghindari diriku menceritakan masa laluku.

"Apa itu?"

"Tentu saja memeriksa kamar orang tuamu! Bisa kau tunjukan dimana kamar mereka!"

"Kamarnya tepat di samping tangga! Kamar yang tadi Aku masuki untuk mengambil diari Ibuku!"

"hm, Aku mengerti!"

Aku melangkahkan kakiku ke tangga dan menuju kamar orang tua Silvi berada, mendahului Silvi.

Aku membuka pintu kamar tersebut. Aku tak dapat melihat apapun karena kamar tersebut sangat gelap.

Silvi segera sampai di sampingku, begitu Aku membuka pintu kamar itu.

"Sebentar, Aku akan menyalahkan lampunya dulu!"

Silvi masuk ke dalam kamar dan menyalahkan lampu kamar tersebut. Tepat setelah lampu menyalah Aku dapat melihat semua interior di dalam kamar tersebut.

Kamar ini tak jauh beda dengan kamar pada umumnya, ada kasur yang berukuran cukup besar, lemari dua pintu dan sebuah meja rias.

Silvi mendekat ke arah meja rias, lalu membuka laci yang ada di meja tersebut dan meletakan buku milik Ibunya.

"Apa kedua orang tuamu tidur di ruangan ini?"

"Ya, mereka tidur di sini. Memangnya kenapa?"

"Aku hanya bertanya!"

Aku melangkahkan kakiku mendekat ke arah lemari dan melihat isinya, isinya terdiri dari pakaian pria di bagian kiri lemari dan pakaian wanita di bagian kanan lemari, tapi sepertinya jumlah pakaian wanitanya jauh lebih banyak dari pakaian prianya, mungkin sekitar dua kali lipatnya atau bahkan lebih.

Aku memang mengetahui kalau pakaian yang dipakai wanita biasanya lebih banyak dari pakaian yang dipakai pria, tapi jumlah pakaian lelakinya terlalu sedikit dibandingkan wanitanya. Itu jelas aneh.

"Silvi! Aku akan memeriksa kamar lainnya, Kau periksalah kamar ini, kalau kau menemukan hal yang mencurigakan panggil Aku!"

"Ya, Aku mengerti!"

Begitu Silvi membalasku, Aku langsung keluar dari kamar tersebut dan menuju kamar di sampingnya.

Aku langsung membuka lemari pakaiannya, setelah Aku masuk ke dalam kamar tersebut.

Aku langsung menemukan benda yang Aku cari begitu Aku membuka lemari tersebut, dan benda yang kucari adalah pakaian pria.

Aku melihat nomor pakaian tersebut, dan nomor tersebut sama dengan nomor pakaian yang ada di lemari kamar orang tua Silvi. Jadi, bisa disimpulkan kalau pakaian ini memang milik Ayah Silvi.

Salain itu di sini juga tak ada pakaian wanitanya, jadi kemungkinan besar Ayah Silvi tidur di kamar ini dan tak ditemani dengan istrinya alias Ibu Silvi.

Aku kembali ke kamar orang tua Silvi.

"Apa kau menemukan sesuatau!"

"Tidak, Aku tak menemukan sesuatu yang mencurigakan!"

Silvi menggelengkan kepalanya sambil mendekatkan ke arahku.

"Aku ingin tahu dimana kamarmu! Apa kau bisa menunjukannya kepadaku?"

"Ya, tentu. Kamarku ada di lantai satu, lihat di sana!"

Silvi menjawab pertanyaanku sambil melangkah keluar kamar, kemudian dia menujuk ke arah sebuah pintu yang bisa dilihat dari lantai dua.

"Kenapa kamarmu ada di lantai pertama?"

"Kamar di lantai dua biasanya digunakan untuk tamu yang menginap, biasanya kakek-nenek, atau saudara-saudaraku yang lainnya akan berkunjung ke sini dan menginap!"

"Begitukah, Apa mereka meninggalkan sedikit pakaiannya di sini?"

"Tidak, mereka biasanya memastikan kalau tidak ada yang ketinggalan sebelum mereka pulang!"

Kalau begitu, pakaian di kamar yang Aku temukan sebelumnya memang pakaian Ayah Silvi, sepertinya setelah Ayah dan Ibu Silvi mulai merasa tak cocok lagi, Ayah Silvi memindahkan sebagian pakaiannya ke kamar di sebelahnya, dan menyisahkan sebagian lainnya di kamar lamanya, agar Silvi tak curiga saat Silvi melihat isi lemari orang tuanya.

"Kalau begitu, Apa kau tahu kapan biasanya orang tuamu pergi tidur?"

"Tidak, biasanya saat jam 8 malam Aku langsung masuk ke kamarku dan belajar, lalu Aku tidak keluar lagi, kecuali ada keperluan mendadak. Jadi, Aku tak mengetahui kapan orang tuaku tidur. Memangnya ada apa? Kenapa kau menanyakan hal seperti itu?"

Tepat seperti yang Aku duga, Karena orang tuanya sudah mengetahui kebiasaan Silvi, mereka bisa dengan tenang untuk berpisah kamar tidur tanpa perlu dicurigai.

"Tidak ada apa-apa, Aku hanya ingin tahu saja!"

Aku kemudian melihat ke arah jam dinding, jam 5.43 sore.

Sepertinya sudah saatnya untuk kami pergi ke rumah Kate.

"Ayo kita pergi!"

"Kemana?"

"Sudah ikut saja, dan jangan lupa mengunci pintu rumahmu!"

z

Setelah menaiki bis selama 10 menit dan berjalan selama 10 menit, kami sampai di depan sebuah gerbang yang sangat besar dari rumah yang jauh lebih besar.

"Apa ini rumahmu?"

Silvi yang tak mengetahui rumah milik siapa yang ada di depannya, bertanya dengan kebingungan, kepalanya sedari tadi terus melihat-lihat sekitar pekarangan rumah yang sangat luas itu.

"Tentu saja bukan!"

Kalau Aku yang memiliki rumah ini, tentu saja Aku hanya akan bermalas-malasan saja di dalam rumah tersebut, dan tidak perlu melakukan pekerjaan yang menyusahkan, hanya tinggal panggil pelayan, dan Aku sudah bisa memenuhi keinginanku.

"Tuan Muda, Sudah lama Anda tak ke sini!"

Seorang penjaga gerbang datang menghampiriku, kemudian membukakan gerbang tersebut agar Kami bisa lewat.

"Ya!"

"Apa nona cantik di samping Anda adalah teman sekelas Tuan Muda?"

"Begitulah!"

"Berarti dia juga teman Tuan Putri!"

"Ya!"

Aku langsung melewati gerbang tersebut, begitu gerbang itu sudah terbuka, Aku juga menarik tangan Silvi yang masih terbengong-bengong.

"Apa Penjaga gerbang tadi memanggilmu Tuan Muda?"

"Ya, tadi Kau bisa mendengarnya sendiri, kan!"

"Kenapa Kau dipanggil Tuan muda, padahal Kau bukan pemilik rumah ini?.... atau jangan-jangan pemilik rumah ini adalah tunanganmu?... sebab tadi dia juga mengatakan kalau Aku teman Tuan Putri!"

Pertanyaan Silvi kali ini mulai membuatku kesal. Kenapa gadis ini selalu bertanya pertanyaan tidak penting sih.

'Tentu saja bukan! Pemilik rumah ini adalah teman dari kecilku, kami sering bermain di sini, jadi para pelayan dan pembantu di sini sering memanggilku Tuan Muda dari Aku masih kecil, dan kebiasaan itu tak hilang bahkan sampai sekarang, bahkan pembantu barupun juga ikutan memanggilku Tuan muda!"

Sepertinya Silvi sudah mengerti sekarang, karena dia terus menganguk setelah mendengar penjelasanku.

"Aku mengerti, jadi teman dari kecilmu itu adalah tunanganmu juga! Sekarang Aku sangat mengerti!"

Apanya yang kau mengerti! Ternyata Aku salah, dia sama sekali tak mengerti dengan penjelasanku tadi.

"Sudah Aku katakan dia bukan tungananku, dia hanya teman dari kecilku!"

"Heh... jadi dia bukan tunanganmu!"

Silvi menampakan wajah bingungnya dan melihatku dengan mata yang melebar. Kenapa Kau menatapku dengan wajah seperti itu.

"Lalu siapa nama pemilik rumah ini?"

Aku mengabaikan pertanyaannya kali ini, Aku langsung mendekati pintu dan memencet tombol interkom di samping pintu tersebut.

"Ini Aku, Kazuki.... cepat buka pintunya, Kate!"

"Hee... Kate. Jadi rumah ini milik Kate! Tapi, Apa Kate yang kau maksud itu memang Katrine Wilson, teman sekelas kita?"

Bisakah Kau berhenti terkejut dan bertanya padaku seperti itu, Kau mulai membuatku semakin kesal, tahu.

Tak berapa lama, pintu besar tersebut terbuka, dan di baliknya ada seorang pembantu yang mengenakan seraganmnya, yang membuatnya terlihat cantik.

"Tuan Muda, Tuan Putri sudah menunggu di ruang keluarga!"

"Terima kasih, Bibi!"

Aku memanggilnya Bibi, karena meskipun wajah dan penampilannya yang terlihat muda, tapi sebenarnya usianya sendiri hampir dua kali lipat usiaku

"Kau tahu, Kau terdengar seperti seorang pangeran yang sedang berkunjung ke rumah Tuan Putrinya!"

Meskipun kelihatannya seperti itu, tapi pada kenyataannya hal tersebut tak seperti yang ada di pikiranmu.

Aku memasuki pintu tersebut, sebelum Silvi bisa mengatakan sesuatu yang lain.

Aku langsung menuju ke tempat yang dimaksud pembantu tadi.

Meskipun ini dikatakan ruang keluarga, luas ruangan ini hampir sama dengan luas ruang Aula pertemuan sekolah kami. Di sini terdapat TV LCD yang sangat besar, lalu ada DVD Player berserta dengan teman-temannya, dan di sini juga terdapat banyak konsol Game.

"Luas sekali ruangan ini!"

Itu adalah respon dari Silvi begitu melihat ruangan ini, kalau Aku tak terbiasa dengan rumah ini, Aku juga pasti sama terkejutnya dengan Silvi.

Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari pemilik rumah ini, dan Aku melihat sosoknya yang sedang duduk di sofa tepat menghadap di depan layar TV raksasa yang sedang menanyangkan sebuah film.

Aku menghampiri pemilik rumah ini, sepertinya pemilik rumah ini juga menyadari kehadiranku dan menyapaku.

"Sudah lama kau tak datang ke rumahku! Terakhir kali Kau hanya mengantarku sampai di depan gerbang dan langsung pulang begitu saja!"

"Aku selalu datang menemanimu di sini setiap malam sabtu dan minggu, ingat!"

Aku memandang malas ke arah Kate, Aku memang selalu menamaninya menonton TV atau bermain Video Game saat malam sabtu dan minggu, Aku melakukannya karena orang tuanya yang memaksaku melakukannya, agar sang tuan putri mereka tidak kesepian.

"He, Kau selalu menemani Kate setiap malam sabtu dan minggu!"

Sepertinya Tuan putri kita yang satu lagi mendapatkan pemikiran yang salah dari ucapanku tadi.

"Yang Aku maksud menemaninya tadi! Aku hanya menemaninya menonton film atau bermain game!"

"Begitukah?"

Sepertinya Tuan putri kita yang ini sudah mulai mengerti. Baguslah, Aku tak perlu menjelaskan lebih jauh lagi.

"Ya, meskipun terkadang dia juga melakukan hal aneh terhadapku!"

"Heeeeeee!"

Kate mengatakan hal tersebut dengan senyum iblis di wajahnya, dan hal yang dikatakan oleh Kate sukses membuat Silvi menjerit kaget dengan wajah yang memerah.

"Apa yang kau maksud dengan 'hal aneh'!?"

"Kau pernah memelukku sampai Aku terjatuh!"

"Aku melakukannya karena Aku terpeleset dan Kau tepat berada di depanku, jadi Aku secara repleks langsung memelukmu dan membuatmu ikut terjatuh!"

"Tapi, tetap saja, Kau memelukku hingga Aku terjatuh, dan kau bahkan sampai menekanku juga, bukan!"

"Itu karena Gravitasi... Aku juga sudah minta maaf dan mengatakan itu tak sengaja!"

"Ya, iya... Aku tahu! Aku hanya ingin menggodamu! Jadi ada apa Kau datang kemari bersama dengan Silvi pula?"

"Kau yang membuatku harus menyelidiki kasus ini, Jadi kau juga harus ikut membantu!"

"Bukankah kau bisa memikirkannya sendiri?"

"Aku ingin kau mendiskusikannya bersama kami, ditambah hari ini Aku juga memang harus menemanimu bermain dan menonton TV, jadi kenapa tidak sekalian saja?!"

"Ya, Aku mengerti! Jadi, Apa yang telah kalian temukan?"

Aku menghampiri sofa Silvi lalu duduk dis amping kanannya sedangkan Silvi duduk di samping kananku.

"Kami belum menemukan apapun!"

Silvi mengatakannya dengan suara yang kecil dan hampir tak terdengar olehku, mungkin dia agak sedih karena kami tak bisa menemukan apapun.

"Kalau begitu tak adanya yang harus kita diskusikan!"

Kate berkata sambil menekan sebuah tombol di sebuah remot, tombol tersebut adalah tombol yang digunakan untuk memanggil pelayan. Benar-benar praktis, bukan. Menjadi kaya memang mempermudah dirimu.

"Yang harus Kita diskusikan adalah hasil hipotesisku dari keterangan yang diberikan oleh Silvi!"

"Lalu apa hipotesismu?"

Tuk tuk tuk

Terdengar suara ketukan pintu saat Aku ingin menjelaskan hipotesisku.

"Masuk!"

Setelah Kate mempersilahkannya masuk, seorang pelayan membuka pintu dan menghampiri kami.

"Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Kalian ingin minum Apa?"

"Aku seperti biasa!"

"Kalau begitu racun tikus untuk Kazu..."

"Apa kau ingin membunuhku?!!"

Sebelum Kate bisa menyelesaikan perkataannya, Aku segera memprotesnya.

Kate tertawa setelah mendengar protesku dan berkata "Aku hanya bercanda!". Bahkan Silvi kali ini sedikit terkikik. Bisa tidak kalian berhenti menertawaiku.

Aku menatap tajam ke arah Kate, menandakan kalau Aku kali ini sedang marah.

"Baik, Baik. Aku mengerti! Sebotol cola untuk Kazuki! Dan Silvi, Apa yang kau inginkan?"

Silvi menghentikan terkikiknya setelah mendengar pertanyaan Kate

"Ha... Aku teh panas saja!"

Silvi terburu-buru menjawab.

"Kau ingin berapa sendok gula?"

"Satu saja sudah cukup!"

"Oke, kalau begitu teh panas dengan sendok sendok gula untuk Silvi!"

"Baiklah, Akan kami siapkan secepatnya!"

Pelayan tersebut menganguk dan pergi dari ruangan ini.

"Baik Kazuki, bisa kau mulai diskusinya?"

"Ya!"

Aku sedikit menghela nafas dan mulai menjelaskan hipotesisku.

"Kalau Ayah Silvi memang dibunuh, maka dia dibunuh karena rasa cemburu!"

"Begitukah, rasa cemburu, ya! Aku mengerti!"

Kate mengatakannya sambil mengangukkan kepalannya dan tangan di dagunya.

"Tapi, bukankah kalau begitu Kau juga seharusnya lebih berhati-hati agar tak berakhir sama dengan Ayah Silvi!"

Kenapa dia harus membahas itu sekarang, sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas itu.

"Apa maksudmu, Kate?"

Sepertinya Silvi tak mengerti yang dimaksud dengan Kate. Kurasa wajar saja, jika dia tidak mengerti dengan yang dibicarakan Kate.

"Apa Kau tahu kalau Kazuki sangat populer di kalangan para gadis?"

"Tidak! Aku tidak mengetahuinya sama sekali!"

Silvi menggelengkan kepalanya. Seperti yang Aku duga, Gadis murni seperti Silvi pasti tak mengetahui gosip yang beredar di sekolah.

"Banyak gadis di SMP-ku dan Kazuki dulu yang menuliskan surat cinta kepada Kazuki, tapi Kazuki sama sekali tak mempedulikannya!"

"Kenapa Kazuki tak memperdulikannya sama sekali?"

"Entahlah, mungkin dia seorang gay!"

"Aku bukan orang gay!"

Aku segera memprotes Kate setelah dia mengataiku gay dan lebih baik kalian berhenti menggosip di depanku sebelum Aku mengamuk.

"Apa kau tahu, kalau di sekolah kita juga banyak rumor yang beredar kalau banyak gadis yang menyukai Kazuki!"

"Benarkah? Siapa saja mereka?"

"Ada banyak, salah satunya adalah kita berdua!"

"Hee... kita berdua! Kenapa kita berdua?"

"Karena kita anggota 3 master, ada rumor mengatakan kalau anggota 3 master terjebak cinta segitiga!"

"Cinta segitiga? Ini seperti di dalam novel!"

Sayang sekali Silvi, ini bukan didalam novel dan kita tak terlibat cinta segitiga. Aku menghela nafas lalu mengalihkan pandanganku ke arah TV dengan telingaku yang masih mendengarkan mereka.

"Benar, tapi bukan hanya itu... bahkan katanya Ibu wali kelas kita, Bu Rina juga menyukai Kazuki!"

"Bahkan Bu Rina! Aku tak menyangka hal tersebut!"

Aku juga sama terkejutnya dengan Silvi, Aku tak tahu kalau Ibu guru kita itu menyukaiku juga, kuharap itu hanya rumor dan dia tidak benar-benar menyukaiku.

"Bahkan para teman sekelas kita juga dikabarkan menyukainya, seperti Shinta, Rini, Yulia, Jasmine dan masih banyak lagi!"

"Sebanyak itukah! Aku tak menyangka Kazuki yang pendiam dan seperti menutup dirinya, bisa sepopuler itu!"

Ya, Aku juga tak menyangkanya. Kenapa mereka semua bisa menyukaiku, kalau saja yang mereka sukai itu Gogoh, sudah pasti cinta mereka terbalaskan.

"Ya, dan itu hanya di sekolah kita, bahkan ada beberapa gadis dari sekolah lain yang ikutan menyukai Kazuki!"

"Heeee! Bahkan sampai keluar sekolah?!"

Baik sakarang Aku mungkin lebih terkejut dari pada Silvi yang berteriak, Aku tidak tahu kalau Aku juga disukai oleh banyak orang di luar sekolahku.

"Kazuki! Kenapa Kau tak memberitahuku kalau Kau begitu populer!"

Silvi memandangku dengan mata penuh dengan kekaguman. Aku juga tak mengetahui kalau Aku sebegitu populernya, jadi jangan menatapku dengan mata penuh kekagumanmu.

Tuk tuk tuk

Suara pintu diketuk kembali terdengar. Baguslah, sekarang Silvi tidak menatapku lagi dengan pandangan kekagumannya, dia sekarang memindahkan pandangannya ke arah pintu

"Masuk!"

Setelah Kate menyuruhnya masuk, seorang pelayan masuk sambil membawa nampan berisi segelas teh dan sebotol cola.

"Maaf menunggu lama, Karena kami kehabisan cola, jadi kami harus membelinya dulu!"

Pelayan tersebut meletakan teh di depan Silvi dan Aku langsung mengambil botol Cola tersebut sebelum sang pelayan menyerahkannya padaku.

Aku langsung membuka tutupnya dan meminumnya sampai setengah botol. Entah kenapa Aku merasa tenggorokanku sangat kering.

Setelah pelayan tersebut keluar, Aku memandang wajah Kate dan membuka suaraku untuk bertanya kepadanya.

"Kenapa mereka bisa menyukaiku?"

"Jangan tanya padaku! Tanya saja pada mereka!"

Kate mengatakan hal tersebut sambil mengangkat kedua bahunya dan menampakan wajah tak pedulinya.

Kate membenarkan posisi duduknya lalu dia mengganti ekspresinya yang tadi bercanda menjadi serius.

"Jadi, Apa ada hal lain yang kalian temukan!"

"Aku tak menemukan apapun yang mencurigakan! Tapi sepertinya Kazuki menemukan sesuatu!"

Silvi menjawab terlebih dahulu sebelum Aku sempat menjelaskan teoriku, sekarang kedua gadis yang berada di samping kiri dan kananku memandang wajahku. Bisa kalian tak memandang wajahku, itu membuatku risih.

Aku mengambil nafas sejenak dan memberikan penjelasanku.

"Jika ini memang pembunuhan, kemungkinan yang menjadi tersangka utamanya saat ini adalah... Ibunya Silvi!"

Setelah Aku mengatakan siapa tersangka utamanya, baik Silvi maupun Kate menampakan wajah kaget mereka.

"Kenapa Ibuku? Dia tak mungkin membunuh Ayah! Bagaimanapun juga tak mungkin ibu membunuh Ayah!"

"Tenanglah dulu Silvi! Aku belum selesai menjelaskan semua teoriku!"

"Tapi, Aku yakin kalau Ibu tak mungkin membunuh Ayahku, bagaimanapun juga Ibuku mencintai Ayahku, jadi tak mungkin Ibu membunuh Ayah!"

"Silvi!... tenanglah dan dengarkan penjelasan Kazuki dulu! Lagi pula Kazuki baru mengatakan kemungkinannya saja!"

Aku mengangukkan kepalaku untuk membenarkan pernyataan Kate, dan setelah itu Silvi bisa tenang kembali.

"Dengarkan baik-baik Silvi! Ada beberapa alasan kenapa Aku mengatakan kalau tersangka utamanya adalah ibumu. Pertama: kau mengatakan kalau Ayahmu sangat populer dikalangan wanita di kantornya, kan!"

"Ya, memang!"

"Dan siapa yang kau pikir adalah orang yang paling cemburu!"

"Teman pria sekantor Ayah!"

"Salah! Yang paling cemburu adalah Ibumu!"

Setelah Aku mengatakan hal tersebut, barulah Silvi menunjukan wajah terkejut yang menandakan kalau dia baru menyadarinya.

Kate meletakan tanganya di dagunya lalu mengatakan.

"Jadi, begitu. Karena Ibunya Silvi sudah pasti mencintai Ayahnya Silvi, jadi bisa dipastikan kalau dialah yang akan paling cemburu kalau suaminya didekati wanita lain. Tapi, kalau seperti itu, Kau juga harus berhati-hati, Kazuki!"

Meskipun Aku tak terlalu setuju dengan bagian akhir yang dikatakan Kate, Aku mengangukkan kepalaku membenarkan pernyataan Kate.

"Tapi, Aku tak akan sama seperti Ayahnya Silvi, jika ada gadis yang mendekatiku Aku hanya akan mengabaikannya dan pergi begitu saja!"

"Kalau begitu malah akan membuat keadaan semakin parah!"

"Apa maksudmu?"

Aku mengalihkan padanganku dari TV ke wajah Kate dengan memasang wajah serius.

Kate sedikit mendesah sambil menjelaskannya kepadaku.

"Kalau Kau terus mengabaikan mereka, mereka hanya akan membencimu. Mereka mungkin juga bekerja sama untuk 'menghancurkanmu'. Dan Aku ingatkan kali ini, Aku sangat serius soal ini!"

"Kenapa Kau sangat serius mengenai hal itu?"

Aku memandang bingung ke arah Kate. Kenapa gadis ini bisa sangat serius mengenai hal sepele seperti itu.

Sebelum Kate bisa menjawab pertanyaanku, Aku merasakan pundakku digoyang-goyangkan oleh seseorang, jadi Aku menolehkan kepalaku ke arah sang pelaku.

"Saat ini Aku tak ingin mendengar hal itu. Aku hanya ingin tahu alasanmu yang lainnya, Kenapa Kau menuduh Ibuku membunuh Ayahku?"

"Aku tak menuduh Ibumu! Aku hanya memperkirakan siapa pelakunya dari apa yang Aku simpulkan dari informasi yang Aku dapatkan!"

Sepertinya Silvi masih marah karena Aku menuduh Ibunya seorang pembunuh. Aku membenarkan posisi dudukku sebelum Aku menjelaskan alasan Aku yang lain.

"Alasanku yang lain adalah karena Ibumu memiliki banyak kesempatan untuk membunuh Ayahmu!"

"Apa maksudmu?"

Sepertinya Silvi tak langsung mengerti setelah Aku mengatakan alasanku yang kedua. Aku memandang ke arah Kate memintanya menjelaskan alasanku, karena Aku tak mau repot-repot menjelaskannya panjang lebar.

"Kenapa Kau memndang wajahku?"

Sepertinya Kate malah marah karena Aku terus memandang wajahnya, tapi dia tampaknya menyadari kalau Aku memintanya menjelaskan alasanku, karena dia mendesah dan memindahkan padangannya ke arah Silvi.

"Maksud Kazuki adalah dari semua orang yang ada Ibumu-lah orang yang paling sering bersama Ayahmu, jadi dialah orang memiliki kesempatan terbanyak dari pada orang lain, belum lagi Ibumu pasti mengetahui kebiasaan sehari-hari Ayahmu!"

"Begitukah..."

Silvi sedikit menurunkan pandangannya, dia tampaknya sudah mengerti alasanku.

"Lalu, Apa alasanmu yang lain?"

Silvi memandangku dengan tatapan bertanya.

"Untuk saat ini tak ada!"

Sebetulnya masih ada satu alasanku yang lain, tapi Aku memutuskan untuk tidak mengatakannya.

"Hanya dengan dua alasan saja.... Kau bisa menuduh Ibuku membunuh Ayahku!"

Silvi sekali lagi tampak marah. Sepertinya emosi gadis ini sangat mudah berubah-ubah, tak seperti yang Aku bayangkan.

"Tenanglah dulu Silvi, dua alasan itu sudah cukup bagiku untuk memilih Ibumu untuk menjadi tersangka utamanya. Bagaimanapun juga hanya Ibumu saja, orang yang Aku kenal yang dekat dengan Ayahmu. Kalau Aku sudah bertemu dengan orang yang dekat dengan Ayahmu selain Ibumu, Aku mungkin juga mencurigainya!"

"Jadi Kau menuduh Ibu Silvi seorang pembunuh hanya karena Kau mengenalnya!"

Kate kali ini memandangku dengan mata mengasihani. Jangan pandang Aku dengan mata itu, meskipun Aku memang tak mengenal banyak orang, tapi Aku tak cukup menyedihkan untuk menerima tatap itu darimu.

"Kau benar-benar menyedihkan, kalau semua gadis yang menyukaimu mengetahui hal ini, mereka pasti akan langsung menjauhimu!"

"Aku malah berharap seperti itu! Sudah kita lupakan dulu masalah ini! Silvi, Apa kau besok ada kegitan klub atau semacamnya?"

Aku langsung mengubah arah pembicaraan sebelum Aku terlibat dengan pembicaraan yang merepotkanku dan langsung menanyai Silvi tentang kegiatannya besok.

"Tidak, Aku tak mempunyai kegiatan apapun besok!"

"Bagus, besok kita akan pergi ke tempat terjadinya kecelakaan Ayahmu!"

"Kita? Apa maksudmu Aku juga harus ikut bersama dengan kalian?"

Sepertinya Kate mempunyai sedikit keluhan tentang hal ini.

"Tentu saja, bagaimanapun kaulah penyebab utama kenapa kami melakukan penyelidikikan ini!"

"Baik, Aku mengerti!"

Sepertinya Kate masih enggan untuk ikut bersama kami, karena dia menunjukan ekspresi malasnya. Mungkin dia tak ingin hari liburnya diganggu. Sebetulnya Aku juga tak ingin hari liburku terganggu, tapi orang yang ada di sampingku inilah penyebabnya, jadi dia juga harus ikut bertanggung jawab.

"Apa diskusinya sudah selesai? Kalau sudah selesai Aku bisa menunjukan Silvi kamar yang akan digunakannya malam ini!"

Aku menganggukan kepalaku sebagai jawaban untuk pertanyaan Kate.

Kate kemudian membawa Silvi keluar dari ruangan, sedangkan Aku masih diam di dalam ruangan ini sambil menonton TV dan sekali-sekali meminum colaku.

Cukup lama Aku menunggu sampai Kate kembali ke ruangan ini, sepertinya mereka mengobrol dulu sebelum Kate kembali ke sini.

"Ada yang ingin Aku tanyakan padamu!"

"Aku juga."

Sepertinya yang Aku duga, Kate pasti sudah menyadari kalau Aku masih menyimpan alasanku yang lain.

"Aku tanyakan kembali... Kenapa Aku bisa disukai oleh banyak gadis?"

Sebelum Kate bisa menanyankan pertanyaannya, Aku langsung menanyankan pertanyaanku. Kate tampak enggan untuk menjawab pertanyaanku, tapi dia akhirnya membuka suaranya juga.

"Kau masih ingat saat kita menjuarai cerdas cermat tingkat nasional dan juga olimpiade sains?"

Aku mengangukkan kepalaku sebagai jawaban. Aku masih mengingatnya, itu adalah saat-saat paling menyusahkan bagiku, Aku harus mengeluarkan semua yang Aku ketahui dalam cerdas cermat dan olimpiade tersebut.

"Sejak saat itu, kita menjadi sorotan media... dan nama 3 master mulai terkenal. Bukan hanya Kau saja, Aku dan Silvi juga memiliki banyak penggemar, padahal kami bukan artis!"

"Benarkah?"

"Ya, begitulah. Aku bahkan menemukan website untuk para penggemar Silvi, yang bahkan Silvi saja tak mengetahuinya!"

"Jadi intinya anggota 3 master ini sangat terkenal dan banyak yang menyukainya!"

"Bisa dikatakan begitu! Mungkin Aku tak pantas mengatakannya, tapi selain otak kita yang pintar, kita juga memiliki wajah dan tubuh yang sangat menarik lawan jenis!"

Ya, Aku setuju dengan pendapatnya kali ini, mereka berdua memang memiliki tubuh yang bisa menarik lawan jenis, terutama Silvi.

"Tapi, mereka hanya sebatas menyukai saja dan tak lebih dari itu!'

Kate menambahkan pendapatnya sendiri di akhir. Mungkin dia benar, mereka mungkin hanya menyukai kami dan tak mencintai kami, bagaimanapun mereka hanya melihat kami dari wajah dan otak saja, dan mereka pasti belum mengetahui keseharian kami.

Jika kalian mengatakan tentang cinta pada pandangan pertama, kebayakan dari cinta pada pandangan pertama adalah cinta sesaat dan begitu dia mengetahui sifat sejati dari orang yang dia sukai, dia tak akan lagi yang menyukainya.

Bagiku cinta sejati adalah cinta yang tak akan pudar sampai kapanpun, seperti cinta orang tuamu kepada dirimu dan saudara-saudaramu, mungkin.

"Baik sekarang apa Aku sudah boleh bertanya?"

Aku mengangukkan kepalaku sebagai tanda bahwa dia bisa melontarkan pertanyaannya.

"Kau pasti sudah tahu apa yang akan Aku tanyakan, tapi tetap saja Aku akan menanyakannya padamu!"

Aku menganggukkn kepalaku sebagai tanda bahwa dia benar.

"Kau masih mempunyai alasan lain kenapa Kau menuduh Ibu Silvi sebagai tersangka utamanya, benarkan?"

Aku sekali lagi menganggukan kepalaku.

"Ya, memang ada. Tapi Aku tak menuduhnya, Aku hanya memperkirakannya saja.... alasan lain kenapa Aku memilihnya sebagai tersangka utama adalah.... Aku sudah menemukan bukti kalau hubungan keluarga mereka sudah mulai retak."

"Mulai retak? Apa maksudmu?"

"Aku menemukan bukti kalau mereka akan bercerai dari buku harian Ibunya, dan juga Aku menemukan bukti kalau Ayah dan Ibunya tak tidur di tempat yang sama."

Meskipun ada beberapa keluarga yang Ayah dan Ibunya tidur terpisah karena alasan mereka sendiri, seperti karena mereka mempunyai seorang anak yang masih kecil dan mereka tak memliki kasur yang lain, jadi sang Ayah akan mengalah dan tidur di lantai atau sofa. Tapi kebayakan alasan dari pisah ranjang tersebut adalah Ayah dan Ibunya tak memliki hubungan yang harmonis.

"Apakah Silvi tak mengetahui tentang hal ini?"

"Sepertinya begitu!"

Aku mengatakan hal itu dengan nada yang sedikit mencurigakan.

"Apa maksudmu dengan 'Sepertinya begitu'... Apa jangan-jangan kau juga mencurigainya?"

"Ya, begitulah. Dia adalah tersangka nomor dua!"

Aku mengatakannya sambil mengangkat dua jariku. Kate memandangku dengan pandangan meminta penjelasan.

"Mungkin dia sudah mengetahui tentang hal ini dan merencanakan pembunuhan tersebut. Orang tuanya cukup pintar untuk menutupi perceraian mereka, tapi Ibunya menuliskan hal tersebut di buku hariannya, jadi bisa saja Silvi membacanya dan mengetahui hal tersebut!"

"Alasanmu cukup menarik.... tapi Silvi bukanlah gadis yang seperti itu!"

"Aku tak terlalu mengenal Silvi, jadi bisa kau jelaskan seperti apa dirinya?"

"Dia adalah gadis yang ceria, dia mudah marah jika disinggung dan juga sangat menyukai kisah detektif. Bahkan saat Aku bercerita tentang kemampuanmu, dia nampak antusias dan dia bahkan mengatakan 'Aku ingin sekali melihat aksi Kazuki dengan mata kepalaku sendiri', tapi dia juga menyukai kisah romantis dan tak menyukai kisah sedih... Begitulah Apa yang Aku ketahui tentang Silvia Antoni!"

"Jadi begitulah caramu membujuk Silvi!"

Dia membujuk Silvi dengan menceritakan kisahku memecahkan beberapa kasus di sekolahku.

Kate sepertinya tidak suka dengan apa yang Aku katakan barusan, karena sekarang dia sedang menatapku terus-menerus, tapi akhirnya dia tak mengatakan keluhan apapun.

"Jadi, Apa kau masih mempunyai alasan lainnya!"

Kate mengalihkan pendangannya dari wajahku kembali ke TV, begitu juga denganku.

"Ya, itu karena dia terlalu yakin kalau ini adalah kasus pembunuhan. Dia memaksakan idenya kalau ini adalah kasus pembunuhan, meskipun sudah Aku katakan kalau ini adalah kasus kecelakaan."

"Maksudmu... ini seperti sang pelaku mengarahkan sang detektif pada bukti-bukti yang mengarah pada kebenaran!"

Aku mengagukkan kepalaku sebagai tanda kalau Aku setuju dengannya.

"Sepertinya Kau kebanyakan membaca novel misteri!"

"Sepertinya begitu!"

Aku sekali lagi setuju dengannya. Teoriku memang mirip dengan teori yang ada di dalam novel misteri, jadi Aku tak bisa membantahnya.

"Tapi, kalau seperti itu Aku juga akan menjadi salah satu tersangka!"

Kali ini Aku menggelengkan kepalaku sebagai tanda ketidak setujuanku.

"Tidak, kau bukan salah satu tersangkanya."

"Bagaiman Kau bisa tahu?"

"Aku sudah lama sekali mengenalmu, Kau tak mungkin membunuh orang tua orang lain tanpa alasannya yang jelas dan kau juga tak mempunyai motif yang kuat untuk membunuh Ayah Silvi!"

"Bagaimana kalau alasanku adalah membantumu untuk menemukan arti dari huruf Z. Aku pernah mengatakan kalau kau bisa menemukannya kalau kau memecahkan kasus ini!"

Aku kali ini tersenyum kecut mendengar alasan Kate.

"Kau tak mungkin sebaik itu! Kau pasti akan memilih membunuh orang tuamu atau orang tuaku dari pada orang tua Silvi, kalau memang begitu alasanmu!"

Kali ini Kate ikutan tersenyum bersamaku, sepertinya dia menemukan hal menarik dari pembicaraan ini.

"Kau betul-betul mengenalku, ya!"

"Begitu juga sebaliknya!"

Kami melanjutkan menonton TV tanpa mengucapkan apapun lagi, hanya suara dari TV saja yang memecahkan keheningan di ruangan tersebut. Kami terus menonton TV sampai larut malam, kemudian kami pergi ke kamar kami masing masing.

z

Jam 8.00 pagi.

Setelah kami selesai sarapan, kami langsung ke tempat kecelakaan Ayah Silvi dengan menggunakan mobil Kate.

"Sepertinya mereka sudah membersihkan semua bekas kecelakaannya!"

Benar yang dikatakan oleh Kate, tidak ada tanda-tanda bahwa jalanan ini pernah terjadi kecelakaan kecuali pembatas jalan yang sedikit hancur, selain itu tak nampak adanya bekas kecelakaan.

"Jadi, maksudmu bahwa lokasi kejadiannya yang aneh adalah ini!"

"Ya, benar. Sepertinya kau bisa langsung mengetahuinya!"

"Apa maksud kalian yang aneh? Tempat ini sama sekali tidak aneh!"

Sepertinya Silvi kebingungan dengan isi pembicaraanku dengan Kate.

"Coba kau perhartikan arah mobil Ayahmu melaju!"

Setelah Aku mengatakan hal tersebut Silvi nampak memperhartikan jalan, lalu sedikit berpikir dan kemudian dia mengatakan.

"Sepertinya dia melaju ke arah bukit di sana!"

Begitulah yang dikatakan oleh Silvi sambil menunjuk ke sebuah bukit yang ada jauh di depan sana. Memang benar apa yang dikatakan Silvi tadi, mobil Ayahnya memang sedang melaju ke arah sana, tapi bukan itu masalahnya.

"Bukan itu maksudku! Maksudku adalah Ayahmu tidak melaju ke arah rumahmu, melainkan ke arah yang lain!"

Arah rumah Silvi berada di bagian barat sedangkan arah yang di tuju oleh Ayahnya Silvi berada di arah utara.

Sepertinya sudah mengerti maksudku, Silvi menepuk kedua tangannya sambil berkata "Oh, begitu rupanya."

"Jadi maksudmu yang aneh tadi adalah arah jalan yang ditempuh oleh Ayah dan alasan kenapa Ayah tidak pulang ke rumah dan malah pergi ke tempat yang lainnya setelah pulang berkerja!"

Sepertinya dia cepat tanggap kali ini.

Aku menganggukan kepalaku sebagai tanda bahwa jawaban Silvi kali ini benar.

"Sekarang masalahnya adalah kemana Ayah Silvi pergi?"

Kate mengatakannya sambil meletakkan tangannya di dagunya. Aku juga menganggukan kepalaku tanda setuju dengannya.

"Bukankah Ayah pergi ke arah bukit di sana!"

Kata Silvi sambil menunjuk ke arah bukit yang tadi dia tunjuk.

"Itu mungkin saja, tapi bisa saja Ayahmu pergi ke suatu tempat di arah jalan ke bukit itu!"

"Atau bisa juga dia malah pergi lebih jauh dari yang kita duga!"

Sepertinya Silvi memahami apa yang tadi Aku dan Kae katakan, karena dia terus menganggukan kepalanya sambil berkata "Kalian benar juga!"

"Jadi Apa yang sekarang akan kita lakukan!"

Kate bertanya sambil meletakan kedua tanganya dipinggang.

"Aku sebetulnya ingin pulang dan tidur, tapi hal itu pasti akan membuat kalian marah!"

Aku menjawabnya dengan nada tak peduliku.

"Bagaimana kalau kita menelusuri jalan ini sampai ke bukit sambil melihat tempat mana saja yang mungkin akan Ayah datangi!"

Silvi menyarankan saran yang masuk akal.

"Itu juga yang ada di pikiranku saat ini!"

Aku menganggukan kepalaku tanda setuju yang diikuti oleh Kate yang juga menganggukan kepalanya.

Kami bertiga kembali ke dalam mobil Kate dan mengatakan kepada sang sopir untuk terus jalan sampai ke arah bukit di sana dengan kecepatan pelan.

Kami bertiga melihat toko dan bangunan di sepanjang jalan kami, tapi Aku tak melihat ada bangunan atau toko yang mungkin akan didatangi oleh Ayah Silvi.

Kami sampai di kaki bukit tersebut tanpa kami sadari dan Aku sama sekali tak menemukan bangunan atau toko yang tampaknya akan dimasuki oleh Ayah Silvi, Aku berharap mereka berdua menemukan sesuatu.

"Aku tak menemukan apapun. Apa kalian menemukan sesuatu?"

Aku bertanya kepada Kate dan Silvi setelah kami bertiga keluar dari mobil.

"Aku tidak menemukan apapun!"

Silvi menjawab singkat sambil menggelengkan kepalanya, sedangkan Kate hanya menggelengkan kepalanya, tapi Aku mengerti kalau dia juga tak bisa menemukan apapun.

Sepertinya kasus ini akan semakin lama terpecahkannya, karena kami tak menemukan kemajuan sedikitpun.

"Apakah Aku boleh bertanya apa kebiasaan sehari-hari Ayahmu?"

Karena tak bisa menemukan sesuatu, Aku bertanya tentang kebiasaan Ayah Silvi, mungkin saja kami bisa menemukan tempat yang mungkin dia tuju saat itu dengan menggunakan kebiasaannya.

"Kebiasaan Ayah? Coba kupikir dulu!"

Silvi meletakan tanganya di dagu dan memasang pose berpikir.

"Ayah biasanya bangung pagi lalu sarapan, setelah selesai dia langsung pergi ke kantornya, setelah selesai kerja biasanya Ayah langsung pulang ke rumah, dan makan malam, atau kalau sedang ada uang, Ayah akan mengajak kami makan di restoran keluarga atau jalan-jalan malam."

Kebiasaannya tak jauh beda dengan kebanyakan orang, ini semakin membuat kasus ini sulit dipecahkan, lagi pula apa memang benar Ayah Silvi dibunuh.

"Kalau begitu, Apa yang biasa Ayahmu lakukan saat libur?"

Kate menggantikanku untuk bertanya kepada Silvi kali ini.

Silvi memandang Kate sejenak lalu menjawab.

"Terkadang dia mengajakku atau Ibuku jalan-jalan, tapi biasanya Ayah hanya akan beristrirahat di rumah!"

Aku menyadari ada hal aneh yang diucapkan oleh Silvi tadi.

"Tadi kau bilang 'atau'.... Apa maksudmu?"

Tadi dia mengatakan kalau Ayahnya terkadang mengajaknya atau Ibunya, bukankah seharusnya dia dan Ibunya.

"Ya, Ayah terkadang hanya mengajakku atau Ibu, Aku tak tahu kenapa Ayah hanya mengajakku atau Ibuku saja untuk jalan-jalan. Padahal dulu, saat Aku masih kecil Ayah sering mengajak kami jalan-jalan. Memangnya ada apa?"

Silvi menjawab sambil menganggukan kepalanya.

Seperti yang Aku duga, hubungan keluarga Silvi memang sudah retak. Silvi tampaknya terlalu polos untuk menyadarinya atau dia hanya pura-pura tak menyadarinya.

"Tidak ada apa-apa, Aku hanya ingin tahu saja!"

Aku mengatakannya untuk menutupi apa yang sedang Aku pikirkan.

"Aku tak pernah datang ke sini sebelumnya, tapi boleh Aku mengetahui Apa yang ada diatas bukit sana?"

Silvi mengatakan hal tersebut sambil mendongakkan kepalanya. Tampaknya masih ada orang yang tidak pernah datang ke sini sebelumnya, padahal tempat ini cukup terkenal.

"Yang ada di atas sana? Di atas sana hanya ada taman untuk anak kecil bermain, Aku dan Kazuki biasanya bermain di sana saat kami masih kecil!"

Kate menjawabnya sambil melihat ke arah yang sama ke mana Silvi melihat. Aku memang sering pergi ke taman di atas sana bersama Kate saat kami masih kecil, tapi semenjak Ibuku meninggal Aku tak pernah pergi ke sana lagi.

"Kalian pernah bermain di sana, Aku jadi ingin pergi ke sana!"

Silvi mengatakannya sambil melihat kami lalu pandanganya kembali lagi ke atas bukit.

"Kurasa untuk saat ini kita tak bisa pergi ke sana dulu!"

Aku mengatakanya bukan karena kami memang tidak bisa pergi ke sana, tapi karena Aku yang tidak ingin pergi ke sana lagi.

"Huh? Memangnya kenapa?"

Silvi dengan jelas tampak kecewa.

"Aku setuju dengan Kazuki, karena kita masih harus memecahkan misteri kecelakaan Ayahmu dulu!"

Sepertinya Kate menyadari kalau Aku tak ingin pergi ke sana, jadi dia membantuku untuk membujuk Silvi untuk tidak pergi ke atas sana.

"Tapi bisa saja Ayah ingin pergi ke atas sana waktu itu, dan mungkin juga kita bisa menemukan sesuatu di atas sana!"

Tapi sayangnya, Silvi masih tetap ingin pergi ke atas sana.

"Kurasa Ayahmu tidak mungkin pergi ke atas sana. Lagi pula walaupun kita pergi ke atas kita hanya dapat melihat tamannya saja!"

Silvi nampak semakin kecewa, dia menurunkan pudak dan kepalanya. Meskipun kau menampilkan hal seperti itu, kau tak bisa membuatku pergi ke atas sana, jadi menyerah saja.

"Baiklah Aku mengerti. Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Akhirnya Silvi menyerah juga.

"Karena sekarang hari sudah siang, lebih baik kita pulang saja, lagipula Ibumu juga pasti khawatir kalau kau tidak pulang!"

Aku mengatakannya sambil melihat ke arah matahari yang mulai naik ke atas, Aku menutupi mataku karena sinar matahari yang terik.

"Heee, Kalau kita ingin pulang sekarang, setidaknya kita harus melihat ke atas dulu sebentar saja!"

Tampaknya Silvi masih berkeinginan untuk pergi ke atas sana.

"Kalau kau ingin pergi ke atas, silahkan saja... tapi Aku ingin beristirahat di rumah!"

Mendengar ucapanku, Silvi membuat tatapan tidak puasnya dan langsung diarahkan kepadaku.

"Sudahlah Silvi, Aku juga mulai lelah, lebih baik kita pulang saja saat ini!"

"Tapi bagaimana dengan penyelidikan Ayahku?"

Kali ini pandangan Silvi diarahkan kepada Kate, tampaknya dia masih tidak menyerah untuk mengajak kita ke atas sana, sebetulnya apa yang membuatnya sangat ingin ke atas sana? Aku mengehela nafas sejenak sebelum berkata dengan suara yang pelan.

"Kau menyusahkan saja!"

Aku memegangi kepalaku sebelum memberikan saranku.

"Bagaimana kalau kita lanjutkan penyelidikan kita masing-masing, kalau kita menemukan sesuatu, segera hubungi yang lainnya!"

Kemudian Aku membalikan tubuhku, dan berjalan menuju mobil Kate.

"Tunggu Kazuki..."

Sebelum Aku menyentuh pintu mobil, Aku dihentikan oleh sebuah suara.

"Ada apa?"

Aku membalikkan tubuhku ke arah orang yang memanggilku, Silvi.

"Aku belum mempunyai nomor teleponmu."

Benar juga, Aku memang belum memberikan nomorku kepadanya. Setelah Aku memberikan nomor teleponku kepadanya, kami bertiga langsung memasuki mobil Kate.

Kami memasuki mobil Kate, Aku mengatakan kepada sang Sopir untuk pergi ke rumah Silvi terlebih dahulu untuk mengantarnya pulang dan menjelaskan kenapa Silvi menginap kemarin kepada Ibunya.

"Kazuki, mungkin ini tak ada hubungannya dengan penyelidikan Ayahku, tapi Apa Aku boleh bertanya?"

Saat perjalanan ke rumah Silvi, Silvi tiba-tiba bertanya.

"Ya, silahkan saja!"

Aku tak terlalu keberatan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadaku, asalkan pertanyaannya tidak menyusahkanku.

"Apa kau keturunan orang jepang?"

"Tidak!"

Aku mengerti kenapa Silvi mengatakan hal tersebut, pasti karena namaku yang merupakan nama orang jepang.

"Hee, lalu kenapa namamu?"

Silvi nampak keheranan mendengar jawabanku, Aku memandang sejenak ke arah Silvi, kemudian pandanganku beralih ke arah Kate.

"Kate, Apa Kau bisa menjelaskannya kepada Silvi?"

Aku memohon kepada Kate untuk memberikan penjelasannya kepada Silvi, karena saat ini Aku tak ingin menjawab pertanyaan seperti itu.

"Kenapa harus Aku!?"

Kate tampak mengeluh, tapi setelah melihat tatapanku yang sedang malas untuk menjelaskannya, Kate akhirnya menyerah dan mau menjelaskannya juga.

"Sebetulnya nama Kazuki itu memiliki arti yang panjang!"

"Arti yang panjang? Memang apa artinya?"

Dan kemudian Kate menjelaskan arti namaku secara rinci kepada Silvi.

"Jadi, saat ini Kazuki sedang mencari arti Z di dalam namanya!"

"Ya, begitulah!"

Setelah menjelaskan panjang lebar, akhirnya mereka selesai berbicara dan keheninganpun tercipta, hanya suara mesin mobil saja yang bisa terdengar.

Bahkan sopir mobil yang ada di sampingku hanya diam saja, sepertinya dia tak tertarik dengan isi pembicaraan kami.

"Apa aku boleh mengetahui arti dari huruf Z dari nama Kazuki?"

Setelah sekian lama keheningan, Silvi akhirnya bertanya arti namaku kepada Kate.

"Tidak boleh!"

Dan Kate menolak memberikan arti namaku kepada Silvi.

"Memangnya kenapa?"

"Sebelum Kazuki bisa menebak arti namanya, Aku tak akan memberitahukannya kepada siapapun... karena Aku telah berjanji..... kepada Ibunya!"

Kate memberikan alasan yang sangat masuk akal dan tidak bisa dibantah oleh Silvi, Silvi juga tak nampak ingin mengetahuinya lebih lanjut lagi dan memilih berdiam diri.

Setelah itu keheningan tercipta sekali lagi dan terus berlanjut sampai kami tiba di rumah Silvi, kami bertemu dengan Ibunya dan memberikan alasan kenapa Silvi menginap di rumah Kate kemarin, meskipun kami tak memberitahunya hal yang sebenarnya, terutama bagian kalau kami mencurigainya membunuh suaminya sendiri.

Ibunya nampak senang mendengar alasan yang kami buat-buat, Ibu Silvi sempat menawarkan makan, tapi Aku dan Kate menolaknya dan memilih untuk pulang kerumah kami.

Setelah pamit dengan Ibu Silvi, Aku dan Kate kembali ke dalam mobil, dan penyelidikan kami untuk hari ini berakhir tanpa kemajuan sedikitpun.