webnovel

Gio Pembawa Bencana

Malam ini rasanya tegang sekali. Pertama kali ketegangan dalam hidupku. Mata ayah tajam banget seperti silet. Rasanya aku ingin pergi saja keluar kota. Lalu menabrak lelaki disana, kemudian jadian seperti di FTV. Kepalaku menggeleng menghapus semua hayalan tidak penting itu.

Ehem, jadi tujuan anda kesini mengenai apa?" Tanya ayahku kalem pada keluarga Gio. Lebih tepatnya Gio, yang seenak udelnya mengajak orangtuanya kesini. Bukan masalah sih sebenarnya kalau hanya ingin bersilaturahmi, terlebih aku sudah merindukan Nico yang duduk dipangkuanku dan makan suapan camilan dariku.

"Maaf menggangu waktu anda, kedatangan kami kemari untuk melamar putri anda " jawab papa Gio yang tidak terlalu kuhiraukan karena aku fokus pada Nico yang berceloteh. Mungkin putri yang dimaksud adalah kak Sha, gak mungkin lah aku masih sekolah. Bau kencur, nyuci seragam aja jarang. Makan aja kadang masih diambili, dan kalau manjaku kambuh aku minta disuapin. Ya masa Nico yang harus menyuapi aku?

"Ehm. Benar om, saya ingin meminta Naily untuk menjadi istri saya. Sebenarnya saya sudah meminta terlebih dahulu pada Naily. Namun Naily menyuruh langsung menghadap Om" hei orang gila nyasar!. Minta dilamar ndasmu! Kapan juga aku ngomongnya? Orang ini kalau ngomong suka sak-sake udele! Duh kok keikutan logatnya andelia sih. Kedua orang tuaku shock mendengarnya. Apalagi aku, mataku seakan ingin loncat dan ginjalku seakan mengempis, mengering seperti salah satu adegan di serial kartun spongebob.

"Maaf sebelumnya, saya ingin bertanya pada Naily " Ayah menggenggam tanganku erat namun bunda mencegah menyiratkan pandangan 'aku saja' kemudian ayah melepaskan genggamannya.

Aku seperti tersangka dalam kasus penggelapan uang triliyunan. Duduk dipojokkam ruangan dengan tatapan intimidasi. Badanku bergetar hebat, sangat panas. Padahal suhu AC sudah sangat rendah. Namun tak bisa menusuk kulitku yang meradang ketakutan.

"Ya ampun nak dosa apa bundamu ini, maafkan bunda yang gak bisa menjagamu, harusnya bunda bisa mendidikmu harusnya bun--"

"Bunda ngomong apa sih ily gak ngerti deh" Aku hanya cengo mendengar perkataan bunda. Apasih maksudnya. Ambigu banget.

"Kamu sudah berapa bulan?" Berapa bulan? Mumgkin kenal dengan Gio kali ya.

"Lupa deh bun kayaknya sebulanan. Nah waktu itu ketemu di rumah Gio, awalnya sih ketemu nemenin kak Sha kerumah Gea. Eh ternyata Gea itu adiknya Gio, yaudah dah" tangis bunda pecah, membuatku bingung tak karuan.

"Bunda gak nyangka mau jadi nenek secepat ini" Meskipun Nico hanya anak tiri tapi tetap aja nanti jadi cucunya bunda kalau aku menikah dengan Gio. Ah kenapa seperti aku berharap.

"Sama bun ayah juga gak nyangka mau jadi ibu aja" secara kalau aku jadi nikah sama Nico aku kan jadi ibu. Eh kenapa aku mikirnya gitu? Harusnya aku nolak bodoh.

"mulai sekarang kamu harus makan teratur ya, karena ada kehidupan di perut kamu" siapa yang hidup? Cacing atau ahh jangan-jangan bunda mikir kalau aku..

"Bunda ngomong apasih? Ily tu masih ting-ting 100%"

"Katanya kamu udah jalan sebulan"

"Ya ampun bunda aku kira bunda tanya kapan Ily ngomong ke Gio gitu" tangis bunda langung berhenti. Dan aku tertawa. Yak ini langka kalau perlu di abadikan. Seorang bundaku yang wonder women nangis . Katakanlah aku kurang ajar tapi benar ini langka.

"duh kamu ngeselin, sia-sia bunda ngeluarin butiran kristal" bunda menyeretku ke dalam ruangan. Dan menjawab dengan gelengan saat ayahku menatapnya dengan tatapan 'bagaimana'. Mungkin ini namanya telepati suami-istri. Nanti apakah aku akan seperti ini? Eh.

"Maaf Nak Gio, sekiranya anda bisa menunggu dulu. Karena anak saya masih bersekolah. Dan dia juga masih punya kakak yang tidak mungkin untuk dilangkahi. Kecuali atas izin dulu" dan bodohnya aku melupakan kenyataan itu. Kenyataan aku masih punya kakak perempuan, yang mana mau dia aku langkahi.

"Baiklah saya menghargai keputusan Om. Tapi, izinkanlah saya berbicara 4 mata dengan Naily" mendapat sinyal dari Ayah, Gio menarik tanganku. Dan aku mengekor, Gio mulai kebingungan membawaku kemana. Aku mengajaknya ke halaman belakang.

"Apa sih maksud kamu? Kenal aja nggak. Udah dibantu gak tau diuntung. Pakek ngajakin nikah segala. Udah gila? Ini gak sesuai dengan perjanjian awal kita ya. Ngelunjak banget jadi orang" Gio menutup telingnya.

"Udah marah-marahnya?" Tanyanya dengan santai. Ingin sekali aku mengambil tongkat baseball Aldy dan memukul kepalanya.

"Belum! Belum puas kalau belum lihat kamu, minimal terkapar di rumah sakitlah." Aku tersenyum sinis.

"Mau taruhan gak?" Tanyanya dengan senyum miring. Aku mengerutkan keningku. Ah mungkin saja pertandingan bola nanti malam.

"Apa? MU sama City? Oke, aku pegang City" aku mengulurkan tanganku.

"Bukan, tapi percaya gak aku bisa membuat ayahmu menyuruh kita menikah dengan cepat?" Aku mencium bau-bau tidak enak. Entah rasanya feelingku mengatakan Gio melakukan rencana licik

"Gak usah repot-repot, gak perlu makasih. Tapi emang gimana?" Tanyaku penasaran dan sedikit menantang.

Tiba-tiba nafasku hilang. Dadaku bergemuruh sesak saat benda kenyal itu mencari pasangannya. Bibirnya kini beradu dengan milikku. Ini bahkan bukan ciuman pertamaku tapi bagimana rasanya seperti aku baru kehilangan bibir perawanku. Gugup? Tentu! Bahkan ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku. Rasanya ini sangat begitu menggelitik hatiku.

Sendi-sendi kakiku terasa lemas. Lebih tepatnya tulangku berganti dengan jelly. Tak ingin kehilangan keseimbangan, aku melingkarkan tanganku di lehernya. Dan mulut sialan ini dengan bodohnya membalas ciuman yang semakin menuntut itu. Bodoh Naily, harusnya lu tampar dia kenapa malah hanyut dalam permainannya. Persetan dengan itu ciuman Gio enak sekali mulutnya wangi. Sampai akhirnya suara tegas itu mengusik kami.

"EHMM.. NAILY" sontak aku menjauhkan tubuhku. Aku kenal betul dengan suara itu. Mati, semuanya aku sayang kalian. Mungkin ini malam terakhir aku hidup. Ayahku siap menyembelihku hidup-hidup karena kejadian ini.

"Bunda rasa mereka memang harus menikah yah" Bunda menatapku menggoda. Berbanding 180° dengan ayah yang menatapku tajam , jauh dari wajah bercanda.

"Mau gimana lagi bun. Daripada mereka membuat malu keluarga. Gio ikuti saya. Dan kamu Naily ikuti bundamu, jaga sikap" Gio tersenyum picik. Ah aku benci dengan senyumam itu. Bodoh, harusnya aku menghindar bukan malah membalas.

Benci. Satu kata yang bisa mengutarakan perasaanku pada Gio. Berkat dia, sebentar lagi aku melepas masa lajangku. Mengapa harus aku? Mengapa dia membawaku kedalam masalahnya? Apa aku harus kabur? Gio sialan. Ini tidak sesuai dengan perjanjian itu. Bahkan aku belum menerima hadiah yang dia sepakati. Tolong ya Gio anda manusia sialan, tapi aku lebih tolol lagi kenapa mau juga dicium. Tapi semua ini tetap salah Gio.

Acara malam ini membahas hubungan kami kedepannya. Kenapa harus usai Ujian acara lamaran itu dilaksanakan. Dan rencananya lamaran itu akan dilakukan sekaligus dengan kak Sha. Aku bisa membatalkan rencana itu dengan caraku. Apa aku harus ? Ya tekadku sudah bulat. Aku akan bilang ke semua orang kalau kami hanya pura-pura. Apapun konsekuennsinya. Aku tidak mau menyiakan sisa hidupku untuk tinggal bersama orang asing. Dan aku masih punya janji, aku menunggu kak Billy sampai dia kembali.

"Semuanya.. Maaf saya harus jujur. Sebenarnya kami tid-" Kataku belum selesai sudah dipotong oleh Gio sialan

"Kami tidak sabar untuk segera menikah" Lanjut Gio membuatku frustasi ke ubun-ubun. Gio sialan kau, akan ku kirim kau ke neraka jahanam.