webnovel

12. Rahasia Isam

Sudah lama sejak pertemuan terakhir mereka, akhirnya mereka dipertemukan kembali di sini.

"Kapan kamu balik ke Jakarta?" Juni yang pertama kali berbicara, dia menatap ke arah teman lamanya itu dengan begitu teliti. Mungkin hampir satu tahun berlalu, tepatnya setelah putusnya hubungan perempuan ini dengan sahabatnya Isam. Putusnya hubungan mereka sebab Dara memutuskan untuk ikut ayahnya pergi ke Malang. Katanya dia akan bersekolah di sana, sungguh mengejutkan sekarang ini melihatnya duduk di depannya.

"Minggu lalu mungkin," katanya. Menjawab seadanya. Suaranya masih sama, semuanya tidak ada yang berubah. "Hanya untuk liburan. Papa ada kerjaan di Jakarta selama tiga minggu. Jadi aku memutuskan untuk ikut."

"Sekolah kamu?" tanya Juni menyahut. "Libur?" Jika perhitungannya sama, maka seharusnya sekolahnya masih berjalan. Sebentar lagi akan ujian dan seharusnya dia tidak mengambil libur sebanyak itu. Kecuali Dara memang pandai di atas rata-rata.

Dara manggut-manggut. "Kapan lagi aku bisa balik ke Jakarta?" simpulnya. Dia tersenyum tipis, tetapi cukup untuk membentuk lekukan kecil di kedua sudut pipinya. Dara tergolong manis dan cantik dengan gigi ginsul itu. Wajahnya pun tidak membosankan, meskipun tidak secantik Lyne. Kulitnya putih bersih, matanya sedikit tipis dan sipit, mirip ayahnya.

"Kamu bisa datang ke Jakarta setelah ujian. Akan ada banyak waktu libur." Juni menyimpulkan, menatap Dara, lalu menarik cangkir teh di depannya. Dia dijamu dengan baik, syukurlah ada yang bisa menghangatkan tubuhnya. Jarak rumah Juni dengan kediaman Dara memang tak jauh, hanya cukup lima sampai delapan menit berjalan.

Namun, kalau hujannya menggila begini, itu akan terasa begitu jauh.

"Aku sudah didaftarkan di sebuah universitas di Malaysia, setelah lulus aku langsung ke sana. Lulus ujian," katanya pada Juni, sekadar memberi informasi. Tentu saja temannya ini tidak akan terkejut dengan hal itu. Dara kaya, dia juga pandai dan otaknya mumpuni untuk bersaing di internasional. Seperti dirinya dan Isam, yang hanya mengandalkan fisik untuk meraih mimpinya.

"Wah, keren sekali!" Juni mengacungkan jempolnya tepat di depan wajah Dara. "Aku doakan semoga kamu lulus dengan nilai yang bagus, Ra."

"Tentu! Aku pandai," katanya, bergurau.

Keduanya tertawa ringan kemudian.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Juli? Dia baik-baik saja?" tanyanya pada Juni, mengubah topik pembicaraan mereka.

Juni hanya menaikkan kedua sisi bahunya, dia juga tidak tahu kelanjutan kisah persaudaraannya dengan Juli. "Tidak ada yang berkembang, hampir satu tahun selalu begitu." Juni pasrah, toh juga dia tidak bisa mengalahkan keras kepalanya gadis itu. "Sesekali kita berbicara kalau perlu, sisanya diam dan bertengkar." Dia tertawa kecil, menghina hubungan uniknya dengan Juli.

"Suatu saat nanti dia pasti akan luluh, Jul. Kamu hanya terus berusaha semaksimal mungkin, selalu ada jawaban dibalik semua doa dan harapan. Usaha menyempurnakan itu," kata Dara. Sok bijak.

Juli manggut-manggut lagi. Dia meletakkan cangkir teh di atas meja kembali, melirik ke arah Dara yang mulai fokus dengan ponselnya. Menyambut kedatangan teman lamanya ini bukan bagian dari agenda bersantainya kali ini, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia melihat teman lamanya itu.

"Kamu tidak tanya bagaimana keadaan Isam?" Juni menginterupsi. Nama itu cukup untuk membuat pandangan Dara teralihkan. Tidak lagi menatap layar ponsel yang ada di depannya, tetapi dia fokus dengan sepasang mata bulat milik Juni. "Atau mungkin kamu selalu berkabar dengannya?"

Dara diam, dia hanya bisa tersenyum menanggapi itu. Sebenarnya hubungannya dengan Isam baik-baik saja, sebelum akhirnya tiba-tiba saja dia meminta untuk mengakhiri hubungan mereka. Alasannya? Orang tua Dara tidak setuju dengannya. Isam anak orang biasa, tidak pandai dan tidak punya jaminan di masa depan. Sedangkan dia? Dara adalah anak tunggal, orang tuanya menginginkan yang terbaik untuknya.

"Aku yang meninggalkannya, meskipun waktu itu dia memohon padaku untuk tidak memutuskan hubungan kita dan dia akan berusaha untuk berubah. Meyakinkan orang tuaku seiring berjalannya waktu," katanya. Nostalgia masa lalu yang menyakitkan. "Namun, aku yang kokoh untuk mengakhiri semuanya. Aku juga mau pergi ke Malang, jadi aku harus memulai semuanya dari awal lagi tanpa terbebani apapun di Jakarta."

Juni menangkap senyum penuh kebohongan di sana, Mungkin dia tidak punya pengalaman banyak tentang cinta, seumur-umur dia belum pernah berpacaran dengan siapapun. Setelah sepeninggal sang ayah, hubungannya dan Juli renggang, ibunya jadi jarang pulang ke rumah sebab sibuk bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Dia hanya fokus pada saudari kembarnya dan keluarganya, ditambah fokus meraih mimpi saat duduk di bangku sekolah menengah atas tahun terakhir, itu adalah hal yang sulit untuk dijaga fokusnya.

"Kamu sudah tidak menyukainya lagi?" tanya Juni, mencoba untuk mengulik informasi darinya. "Maksudku adalah ...." Dia terdiam pada akhirnya dan menyerah tidak mau berkata-kata lagi. "Maafkan aku," kata Juni menutup kalimatnya.

"Aku dengar dia juga sudah punya pacar, katanya seorang balerina yang cukup terkenal di sekolah," tukasnya. "Jadi aku yakin dia pasti sudah melupakanku. Untuk apa aku memikirkan dia?"

Lagi-lagi Juni mencium kebohongan dari kata-katanya, mungkin bibirnya bisa berkata demikian tetapi matanya langsung menyanggahnya saat itu juga.

"Kamu yakin, Ra?"

Dara mengangguk sekali. "Tentu saja. Aku tidak akan kembali padanya. Dia sudah punya kebahagiaan sendiri dan aku pun begitu," tukasnya menutup kalimat. Dara mencoba untuk tersenyum senatural mungkin meskipun hatinya memaksa agar dia menangis sejadi-jadinya, dia masih tidak rela dengan keputusan bodohnya itu. Selalu saja menyesal di bagian akhirnya.

••• Young Mama vs Little Daddy •••

"Dara?" Lyne mengerutkan keningnya saat mendapati nama itu ada di depan matanya. "Siapa Dara?" tanyanya lagi. Masih seperti orang kikuk yang tidak tahu apapun.

"Kamu tidak tahu siapa dia?" Temannya yang berdiri di sisinya sembari berkacak pinggang menoleh padanya. "Serius?"

Lyne manggut-manggut. "Dia teman sekolah kita?"

"Pindah di tahun kedua," katanya. "Baru satu tahun bergabung, lalu entah karena apa tiba-tiba saja dia pindah ke luar kota."

Lyne sekarang menganggukan kepalanya mengerti, setidaknya dia mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Yang menarik adalah mereka sedang membicarakan gadis bernama Dara, katanya dia paling populer saat masa pengenalan lingkungan sekolah, aneh saja Lyne terlalu sibuk dengan hobinya ber-balet.

"Ah, benar!" Temannya itu kembali menatap ke arah Lyne yang ambil saja tak acuh dengan pembicaraan mereka. Lyne adalah tipe orang yang tidak akan mau mendengarkan apapun yang tidak berhubungan dengannya.

"Kamu dekat dengan Anggar, Anggar dekat dengan Isam!"

Lyne manggut-manggut lagi. "Lantas?"

"Dara mantan kekasih Isam!"

Lyne membuka matanya lebar-lebar. "Dia mantan kekasihnya? Kapan? Katanya dia pindah di tahun kedua?" Lyne mulai memprotes. Menghentikan ayunan kakinya yang hampir mengikuti irama dan ketukan.

"Di tahun pertama, setelah masa orientasi siswa. Keduanya benar-benar menggemparkan sekolah saat itu! Mereka pasangan yang serasi! Mencuri perhatian!"

"Apanya yang serasi?" pekik Lyne, tiba-tiba saja dia terpancing emosi tanpa sebab. Membentak lawan bicaranya yang terkejut dengan suaranya.

... Bersambung ....