Sudah hampir 1 minggu kehidupan Lucinda sangat tenang. Leon sudah tidak mengganggu hidupnya lagi pikir Lucinda. Pagi ini hari libur yang sangat tenang bagi Lucinda. Dia ingin menghabiskan liburannya hanya bersama kasur kesayangannya. Lucinda masih nyaman bermimpi sekarang. Rasanya dia tidak ingin membuka matanya. Lucinda membalikkan badannya. Namun ada yang aneh. Sepertinya tangannya menyentuh sesuatu.
'Apa ini?' Pikir lucinda
Lucinda meraba "benda" tersebut dengan mata yang masih tertutup.
'Eh? Ini bukan bantal.'
'Ini ta...tangan?'
Demi apapun yang ada dibumi ini, Lucinda sangat ketakutan. Rasanya dia tidak ingin membuka matanya. Dia tidak tahu ini tangan siapa. Bahkan dia tidak tahu apakah yang terjadi jika dia membuta matanya sekarang.
"Hey, kamu ingin terus memegang tanganku Luce?"
Dengan secepat kilat, Lucinda membuka matanya dan melihat Leon tersenyum kearahnya.
"AAAAA!" Teriak Lucinda
BRUK! Lucinda terjatuh kebelakang dari tempat tidurnya. Dia berteriak lalu langsung memundurkan dirinya sehingga dia bisa terjatuh.
"Hahaha, kamu segitu senangnya aku datang Luce?" Leon tertawa sangat lepas melihat kelakuan Lucinda.
'Sangat Tampan.' Pikir Lucinda. 'Eh... Tidak! bukan itu yang harusnya aku pikirkan.'
"Ke... kenapa kamu disini?" Lucinda berusaha bangkit dan memberanikan diri bertanya kepada Leon yang berbaring di kasurnya. Leon terlihat sangat tampan.
"Aku? cuma ingin menemuimu." Jawab Leon sambil tersenyum kepada Lucinda yang berdiri disamping tempat tidur.
"Hah? Kenapa?" Tanya Lucinda.
"Karna aku merindukanmu."
***
Lucinda saat ini sangat kesal. SANGAT KESAL. Hari libur berharganya diganggu oleh manusia gila yang saat ini sedang duduk bersantai sambil menonton tv dan memakan cemilan yang ada didepannya. Lucinda berusaha tidak mengganggap manusia gila itu. Ia lapar. Kejadian tadi pagi sangat menghabiskan energinya. Ia membuka kotak serealnya dan menuangkannya kedalam mangkuk dan menambahkan susu kedalamnya.
Lucinda duduk di meja makan kecilnya sambil memakan serealnya. Dia mengambil handphone dan membuka media sosial. Isi media sosialnya masih dipenuhi tentang pembunuhan seminggu yang lalu.
Identitas mayat di samping restaurant sudah diketahui.
Pemilik saham Raymond Group menjadi korban pembunuhan.
Pembunuhan sadis pemilik saham Raymond Group masih diselidiki polisi.
Identitas pembunuh sadis masih belum diketahui.
Lucinda merasa ngeri saat melihat foto-foto pembunuhan yang tersebar di media sosialnya. Mata mereka yang hancur, lidah yang terpotong, sobekan dari mulut, tangan yang sudah hancur dan semua luka sayatan disekujur tubuh mereka.
Lucinda menatap Leon yang masih fokus menonton televisi sambil memakan cemilan. 'Apa dia yang membunuh mereka juga?" Pikirnya. Tiba-tiba Leon menoleh dan tersenyum kearah Lucinda. Lucinda langsung mengalihkan pandangannya. 'Sial! Apa dia bisa membaca pikiran?' Lucinda pura-pura membaca berita di handphonenya. Ia mendengar langkah kaki Leon yang semakin mendekat.
"Apa aku terlalu tampan sampai kau jadi gugup saat melihatku Luce?" Tanya Leon sambil memberikan senyuman kepada Lucinda.
Tampan.
Lucinda merasa dia sudah gila. Disaat krisis seperti ini dia masih memuji Leon? Leon semakin mendekat dan duduk didepan Lucinda.
"Ti...tidak. Apasih? Bisa ga sih kamu tidak terlalu percaya diri?" Elak Lucinda.
"Benarkah? tapi aku memang merasa diriku tampan Luce-ku sayang." Jawab Leon.
"Tidak, itu hanya perasaanmu saja." Balas Lucinda
'Memang bodoh! sudah tau masih saja bertanya.' jawab Luce didalam hatinya.
"Oh iya?" Tanya Leon sambil menaikkan kedua alisnya. Dan jangan lupakan senyum andalannya.
"Iya." Balas Lucinda singkat sambil memutar matanya malas.
"Yasudah kalau kamu berpikiran seperti itu. Cepat bersiap kita akan pergi." Ajak Leon.
"Kemana?"
"Nanti kuberitahu. Cepat bersiap." Perintah Leon pada Lucinda
"Tidak! Aku tidak mau!" Tolak Lucinda.
"Hmm... apa kamu mau aku ancam dulu Luce?" Ucap Leon dengan penekanan. Dan jujur saja Lucinda saat ini merasa ngeri dengan kata 'ancaman' yang diucapkan oleh Leon.
"Eh... em.. ba..baiklah. Tapi kau harus menjawabku dulu." Tanya Lucinda ragu-ragu.
"Apa?"
"Kita mau kemana?"
Leon tersenyum kearah Lucinda.
"Kencan."
***
Disisi lain, Hannah- ibu Kristal sedang beduka atas kematian saudara dan sepupunya -Mike dan James.
Hannah masih tak tahu apakah yang membunuh mereka. Mereka dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Siapa yang mempunyai dendam kepada mereka sehingga tega membunuh mereka dengan cara yang sangat tidak manusiawi?
Sebenarnya Hannah sudah meminta Raymond untuk menyelidiki kasus ini. Raymond tentu saja menyelidiki kasus ini namun ia masih belum menemukan satu bukti apapun. Pembunuhnya benar-benar cerdik. Semua hal yang bisa digunakan sebagai bukti sudah dimusnahkan. Bahkan gunting yang dibiarkan tertancap dipaha Mike tidak bisa diselidiki lebih jauh. Guntingnya sudah terlalu berkarat, sudah tertumpuk banyak sidik jari. Sepertinya pembunuh itu memungut gunting tersebut dari suatu tempat dan memakainya. Kasus ini benar-benar menemui jalan buntu.
Hasil autopsy juga tidak memiliki hal yang bearti. Hanya menambah kengerian kasus ini. Tangan yang hancur menandakan tangan tersebut dipukul benda seperti palu berulang kali sehingga hancur. Dilengan mereka terdapat seperti corak kemerahan yang menandakan mereka diikat dengan sangat kuat sehingga menimbulkan luka gesek pada lengan mereka. Luka robekan dari mulut keduanya juga sangat mengerikan. Tidak disobek dengan rapi melainkan di tarik secara paksa setelah memotong lidah keduanya. Dan yang terakhir, keduanya berbau alkohol. Sepertinya si pembunuh itu menyiramkan alkohol pada luka-luka disekujur tubuh mereka saat mereka masih sadar. Sangat kejam.
Hannah yang membaca laporan autopsy itu tak kuasa menahan rasa mual saat melihat foto-foto yang dilampirkan. Sangat mengerikan. Siapa yang bisa berbuat sekejam ini? Hal inilah yang selalu berada dipikiran Hannah.
"MOM! Kamu dimana? Aku mau belanja! Bagi uang dong!" Suara Sarah - anak perempuan kesayangannya yang sangat manja membuat Hannah tersadar dari pemikirannya.
"Astaga Sarah! Kamu ini tidak mengerti situasi kita? Kedua pamanmu baru saja meninggal dan kau mau pergi berbelanja?" Hannah tidak habis pikir dengan kelakuan Sarah yang semakin lama semakin diluar kendali.
"Ayolah mom, mereka tidak ada urusannya denganku! Cepat mana uangnya? Teman-temanku sudah menunggu didepan." Ucap Sarah tidak sabar.
"Dasar kamu ini." Ucap Hannah sambil memberikan sebuah kartu kepada Sarah.
"Yeay! Terima kasih mom! Aku pergi dulu."
Hannah menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Sarah yang sudah tak bisa dikendalikannya lagi. Sarah merupakan anak kesayanganya, berbeda dengan Kristal. Menurut Hannah, Sarah tidak kekurangan apapun. Dia memiliki wajah yang cantik meski tidak secantik Kristal. Dan yang paling penting adalah Sarah bisa berbicara. Namun kelakuan dan sifat Sarah sungguh tidak sebaik Kristal. Bahkan sangat berbeda. Tapi tetap saja, Hannah sudah sangat malu atas kekurangan yang Kristal miliki. Sebaik apapun sifat dan perbuatan Kristal tidak akan mengubah pendapat apapun tentang Kristal di mata Hannah. Baginya, Kristal hanyalah beban yang sudah mempermalukan nama baik keluarga Raymond
"Ah, untung saja kau sudah mati Kristal."
***