Aku duduk di dekat rak sepatu sambil melepas sepatu.
[ Semoga orang asing itu tidak berusaha masuk terang-terangan. ]
Tok Tok Tok
Aku terperanjat, hampir jatuh jantung ini mendengar ketukan pintu.
"Masio, kau di dalam?" suara Kenta terdengar dari balik pintu.
Kubuka pintu dan Kenta pun masuk dengan tatapan bingung. "Apa kau merasa ada yang aneh di luar?" tanyaku seraya menyingsing gorden jendela dan ternyata orang itu lenyap.
"Aneh? Aneh bagaimana?"
"Ah, sudahlah! Ada peraturan baru yang berlaku mulai hari ini," ucapku sambil melipat tangan di dada, melihatnya sedang melepas sepatu. "Siapa saja yang masuk atau keluar lebih dulu dari rumah ini, maka setiap itu pula pintu akan dikunci. Masing-masing dari kita akan membawa kunci rumah."
Kenta meletakkan sepatu dan berbalik seolah tak peduli. "Mendadak sekali kau membuat peraturan seperti ini."
<>
Hari telah malam. Kalau tidak salah, saat ini sudah pukul 08.15.
Aku menghabiskan sekitar 4 jam di kamar ayah, mengunci diri bersama beberapa buku tebal jurnal penelitian ayah dan buku yang baru kubeli.
Kamar ayah cukup besar, terdiri atas dua ruang yang hanya disekat oleh rak-rak buku. Pada ruang pertama, ranjang besar ayah tepat di depan pintu masuk, di samping ranjang terdapat meja panjang beserta alat-alat penelitian, di sekitarnya terdapat rak-rak buku yang berisi berbagai jurnal penelitian dan ensiklopedia sains.
Rasa penasaran yang semakin tumbuh menuntutku untuk mencari tahu tentang kandungan formula ayah dalam darahku.
Dari satu buku ke buku lain telah kubaca dalam waktu kurang dari 30 menit. Kecepatan dalam menyerap semua yang kulihat berasal dari ledakan IQ yang telah ditahan selama ini.
Kutarik sarung tangan lateks yang lembab di kulit sehingga terdengar bunyi mengepak. Nyeri terasa akibat aku mengambil beberapa sampel darah dengan jarum suntik. Bekas-bekas jarum menciptakan bercak merah.
Di atas meja panjang terdapat microskop dan layar monitor yang menampilkan mikrograf hasil gambar darahku. Di beberapa tabung kecil ada zat-zat hasil ekperimen.
Sering kali, kucium aroma cairan dalam tabung itu untuk mengenali formula yang pernah dibuat ayah waktu dulu. Siapa tahu beberapa formula lama telah dimodifikasi dengan komposisi baru.
Setelah berhasil memisahkan antigen dari sampel darah, aku mempelajarinya. Hingga tercipta sebuah zat baru yang kuberi nama Plasmacof - B5 (Plasma Cooperatif Fight – Base 5).
Zat baru itu dihasilkan dari penggabungan plasma darahku dengan Alfa micro Sel T yang diciptakan menyerupai sel pembunuh dari satuan sistem imun tubuh. Atau bisa disebut menyerupai sel darah putih pada tubuh manusia.
Kuambil sedikit sampel darah dan meletakkannya di kaca abjek. Selanjutnya diteteskan Plasmacof B5 pada darah itu.
Tangkapan mikrograf menampilkan kinerja zat buatanku sendiri. Sayangnya darah yang digunakan saat ini telah mengalami perubahan dari darah yang pernah diteliti di labulatorium sekolah. Sehingga kinerja dari Plasmacof B5 tak dapat dimutakhirkan dan tidak cukup kuat untuk menonaktifkan antigen dari formula milik ayah.
Punggungku jatuh lemas di sandaran kursi.
Aku duduk sambil memutar kursi, kadang kala menatap pemandangan malam dari jendela kamar yang belum sempat kututup.
"Ini tidak bisa berakhir begitu saja. Aku perlu darah lagi," aku bergumam.
Kuraih jarum suntik dan mengambil sedikit sampel darah dari lenganku. Kumasukkan ke tabung dan menyimpannya di kulkas lab.
Tubuhku mulai berhenti dari rangkaian peradangan akibat sel darah putih yang melawan formula ayah sehingga darah yang diteliti berikutnya menjadi objek tidak valid.
Demamku perlahan turun selama membuat Plasmacof. Itu berarti darah kembali normal dan formula yang masuk ke dalam tubuh ini tak akan terdeteksi lagi.
Darah yang dimasukkan ke kulkas lab diharapkan akan menjadi spesimen terakhir yang masih menganduk sisa formula ayah.
"Masio! Apa yang kau lakukan di kamar Paman Rai? Aku sudah siapkan makanan, cepat keluar!"
"Makanannya akan dingin sebentar lagi. Kau akan melewatkan uap panasnya begitu saja? Ah, aku tak percaya ini, seorang Masio, apa yang lebih penting dari makan?" Kenta terus berteriak memanggilku, sejak tadi.
Mataku menatap cukup lama di layar monitor, yang menampilkan tangkapan mikrograf.
Badan terasa lesu dan otot pundak sebelah kiri begitu tegang sehingga agak ngilu. Rupanya kekuatan otak dan stamina terkuras.
"Aku akan melaporkannya pada Paman Rai. Sudah berapa jam sejak datang dari sekolah dia mengunci diri si sana."
Kudengar Kenta bergumam, telapak kakinya nan kecil mulai menjauh dari kamar ayah.
"Jangan-jangan dia benar-benar melaporkan aku?"
Aku keluar dan memergokinya sedang menekan nomor terakhir. Ia menatapku dengan gagang telepon yang menempel di telinga.
"Sudah kuduga, wajahmu terlihat lelah dan kusut. Apa yang kau lakukan di dalam?" Kenta melempar pertanyaan yang sia-sia. Aku melangkah lebar ke arahnya.
Ketika itu terdengar suara dari telepon, "Halo, ini siapa?"
Panggilan telepon itu terhubung, belum sempat Kenta menyahut, aku berlari dan merebut gagang telepon dari tangannya lalu lekas kututup.
"Jangan memandangi aku dengan mata melotot begitu? Kau marah aku melaporkanmu pada Paman Rai?"
[ Sudah tak perlu dipertanyakan lagi, perang dingin antara aku dan ayah tak akan berakhir sebelum kau keluar dari rumah ini. ] Hampir kuucapkan isi pikiranku, tetapi tertahan di mulut ketika menatap wajahnya yang polos.
[ Tidak mungkin Kenta makan obat itu tanpa efek. Jika memang tidak ada, obatnya patut untuk diuji cobakan pada sampel darahku. ]
"Aku butuh obat yang diberikan paman padamu. Berikan sedikit untukku. Aku perlu sekarang."
Wajahnya nan polos berubah penuh kerutan. "Eh, tiba-tiba sekali. Untuk apa?"
"Sudah jangan banyak tanya, aku perlu itu. Aku hanya minta sedikit saja. Berikan!" aku mendesaknya.
Aku mengikuti arah mata Kenta yang menuju ke kamar, kemudian ia menjawab, "Kata paman, itu hanya untukku dan harus dihabiskan tanpa kurang satu pun."
"Ahh kau letakkan di sana?" Aku beranjak menuju kamar. Mengabaikannya yang mulai meracau.
Kubuka laci nakas serta beberapa tempat. Kemudian sudut mataku menemukan tas sekolah yang tergantung. Tas itu kuacak-acak hingga sebuah tabung jatuh menggelinding di lantai.
Kenta dengan lincah merebut tabung pipih itu dariku. [ Sial, aku kalah cepat! ]
Kekesalan menjalar semakin besar ketika melihatnya memegang tabung obat.
Kudekati dirinya lalu mengangkat tubuh kecilnya dan kubanting di ranjang. Rasanya kurang puas, emosi yang terlanjut keluar membabi buta, mendorongku untuk berdiri di ranjang.
Kenta yang terbaring dengan mimik terkejut, kedua tangannya tersimpan di belakang tubuhnya. Begitu ia hendak turun kutekan lengan atasnya, membiarkannya tetap berbaring. Sementara itu, kuapit lututnya di antara pahaku hingga ia kesulitan bergerak. Ranjang bergoyangan karena Kenta bersikeras keluar dari kungkunganku.
"Ternyata benar apa kata paman ...,"ucapannya menarik mataku untuk menatapnya.
"Kau memang akan merebut ini dariku," lanjut Kenta dengan suara tertahan.
Kulirik kedua tangannya yang tersembunyi di balik tubuhnya.
"Ouh, jadi si tua itu sudah memprediksi ini. Mungkin obatmu jawabannya." Kutarik tubuh Kenta hingga terperanjat duduk, lekas kupeluk hingga kutemukan kedua tangannya sedang memegang tabung itu.
Aku beranjak dari ranjang dengan napas menggebu-gebu. "Wah, aku hampir gila hanya untuk mendapatkan benda kecil ini," ucapku seraya memandangi tabung obat Kenta.
Kenta dengan wajah merengut duduk di tepi ranjang yang berantakan, rambutnya teracak-acak dan kondisi ranjang seolah-olah diterpa badai akibat pergulatan kami.
Seperti ditepuk di pipi, aku tersadar. "Aku ... aku tak bermaksud. Salah sendiri kau pelit. Aku hanya perlu 1 pil saja. Bereskan semua kekacauan ini. Jangan laporkan hal ini pada paman!"
"Apa istimewanya obat itu sampai kau membuat aku berantakan begini?" Gadis Sakit Mental itu mendengus, kesal.
Wajahnya yang merah dengan tangan terkepal membuat aku terdiam. Kuambil satu tablet lalu bersama tabung dan isinya kuletakkan pelan-pelan di lantai kamar. [ Dia seperti akan meledak. ]
Aku bergegas meloncat dari kamar, meninggalkan sejumlah barang yang berhamburan beserta selimut kusut.
"Masio, bodoh!!!"
Si Gadis Sakit Mental itu berteriak dengan lantang. Lekas kututup pintu kamar ayah dan menguncinya.
Aku duduk kembali dikursi dekat meja. Obat Kenta yang terbungkus dari gelatin ditampung pada sebuah tabung baru. Setelah mengekstraksi kandungan dalam obat itu, ku ujicobakan dengan sampel darahku. Namun, tak terjadi hal yang berarti.
"Ah, sampai di mana kepintaran ayah, sehingga sulit sekali membongkar senyawa formulanya."
Beberapa puluh menit berpikir, tumbuh rasa penasaranku terhadap reaksi tubuh Kenta dengan obat itu.
"Mungkin kali ini hal paling memalukan yang pernah kuperbuat terhadap seorang gadis. Siapa tahu ini adalah salah satu kesempatan untuk membuat antisipasi terhadap formula yang akan ayah suntikkan lagi padaku suatu hari nanti. Aku harus mendapatkan setidaknya setetes darah Kenta dan mempelajarinya."
Setelah jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku keluar dari kamar sambil menyembunyikan satu alat suntik. Kubuka pintu kamar dan menemukan target sedang tertidur.
Tangannya jatuh menjuntai ke bawah. Dengan hati-hati aku mendekati Kenta. Bahkan napasku ikut berembus dengan pelan sekali.
"Tidak ada kesempatan kedua setelah ini. Aku harus melakukannya, meski akan menimbulkan keributan di tengah malam," aku berucap pelan, meyakinkan diri.
Kupegang lengannya yang menjuntai, lalu menancapkan jarum pada salah satu jari gadis itu.
"Aaaackkk!!!" Kenta berteriak amat lantang seraya menarik tangannya dariku.
Aku sangat terkejut, sampai-sampai kehilangan jarum suntik itu. "Jatuh di mana? Aduh! Dasar ceroboh."