webnovel

Pulang dan Bersama

"Pulang bareng?" Niken malah balik bertanya.

Juna pun mengangguk meyakinkan, "Pakai motor."

"Aku nggak pernah naik motor."

Juna langsung menoleh dengan wajah tidak percaya, "Terus kamu ke sekolah naik apa?"

"Diantar supir."

"Pulang juga dijemput."

"Tergantung aku neleponnya."

"Ya udah, kalau gitu kamu telepon supir aja."

"Tapi dari dulu aku mau coba naik motor."

Juna tertawa kecil, "Terus maunya gimana?"

"Takut ketahuan."

"Terserah kamu, Ken."

Niken beralih melihat ke depan, tepat Tama ke luar kelas begitu saja. Tanpa mengabari, setidaknya lewat tatapan. Niken pun kembali melihat Juna yang masih menunggu keputusannya, "Aku ikut pulang sama kamu."

Juna mengangkat alisnya, mengajak Niken beranjak dari kursinya. Mereka berdua ke luar kelas bersama. Padahal Niken sudah melambatkan langkahnya karena tidak ingin sejajar dengan Juna, tapi Juna juga seperti melakukan apa yang Niken lakukan. Antara perginya Tama dengan ke luarnya Niken tidak jeda yang lama, namun Tama sudah hilang seutuhnya dari sekolah.

Juna sudah berhenti di depan motornya. Motor yang cukup besar, tapi bukan ninja. Ia mengambil satu helm lagi dari bagasi.

"Ini jadi kayak belajar motor aja kesannya," ujar Juna, "Sini aku pakein."

Niken gugup untuk mengangguk. Ia memajukan dirinya sedikit lebih dekat kepada Juna. Juna pun memakaikan Niken helm, dan saat itu mata Niken menatapnya. Niken juga tidak tahu, kenapa jam pendeteksi jantungnya kembali berbunyi seperti di bawah pohon.

"Kenapa bunyi lagi itunya?" tanya Juna yang ternyata menyadarinya.

"Mmm, nggak tahu."

"Itu pendeteksi jantung kan?"

"Kok kamu tahu?"

"Tahu aja."

Niken mengangguk saja. Dan Juna juga duluan naik ke motor untuk mengeluarkannya di antara motor yang lain. "Ayo naik," ajak Juna.

Niken pun naik di belakangnya.

"Kamu nggak takut kan?" tanya Juna lagi.

Niken menggeleng, "Ng-nggak."

"Pegangan aja."

Niken mengangguk tapi belum melakukannya. Iya, sudah pasti jadi Juna yang harus melakukannya. Ia memegang tangan Niken dan menyimpannya di pinggangnya. "Takutnya belum pernah juga," katanya.

"Oh iya."

Juna tidak berkata lagi. Ia mulai menjalankan motornya. Tidak semua apa yang dilakukan sesuai, tapi tidak berarti salah, Juna hanya melakukan apa yang ingin ia lakukan. Dan Niken juga seperti itu.

Ini kali pertama Niken menghirup udara langsung selama di jalan raya. Bahkan ia melihat lebih jelas bagaimana dunia aslinya yang sedang dihidupi manusia. Niken tersenyum. Senang, pasti. Mungkin nanti akan ada satu hal yang membuatnya merasa beruntung pindah-pindah sekolah, sampai akhirnya menemukan sesuatu juga seseorang.

Di tengah perjalanan, Juna tiba menghentikan motor. Namun, Niken tidak langsung bertanya. Matanya tertarik dengan suasana orang yang meramaikan gerobak makanan. Bahkan ia tersenyum.

"Kamu kan belum ngasih tahu di mana rumah kamu," kata Juna seperti ngomong sendiri karena Niken masih asik melihat suasana. Juna tersenyum, "Kamu belum pernah ke sini juga?"

Niken baru menoleh kepada Juna, dan tersenyum, lalu menggeleng.

"Ya udah, ayo turun. Aku juga lapar," ujar Juna.

Niken pun turun duluan. Juna meminta Niken menunggu selagi ia memarkirkan motor di samping jalan. Juna kembali dengan tangan yang memegang ponsel, seperti sedang membalas pesan. Dan setelah selesai, ia mengajak Niken jalan menyusuri puluhan gerobak makanan.

"Jangan jangan kamu juga belum pernah nyoba makanan yang ada di sini," kata Juna sembari memerhatikan Niken yang sangat serius melihat satu persatu dagangan yang dijual.

"Bubur Ayam pernah."

Juna tertawa dan menggelengkan kepala, "Kamu anak rumahan banget, ya."

"Justru kalau aku anak rumahan, aku juga bisa pesan online apa pun."

"Terus?"

"Aku nggak boleh makan sembarangan."

"Kenapa? Apa jantung kamu?"

Niken berhenti jalan, ia menatap Juna heran, "Kamu nebak atau apa?"

Juna tersenyum, "Nggak, itu pendeteksi jantung kamu buat apa kalau semuanya baik-baik aja?"

"Ya setidaknya kamu nggak harus terus terang juga."

"Nggak enak kalau dipendem sendiri, Ken."

"Ya emang kamu mau dikasih ini?"

Juna hanya menggeleng, "Ayo."

Mereka kembali berjalan. Setiap apa yang kelihatannya menarik, Juna menawarkannya kepada Niken. Tapi Niken selalu membalas dengan masih memikirkan. Sampai akhirnya ia tertarik dengan satu gerobak.

"Gimana kalau itu. Nasi Uduk?" kata Niken sambil menunjuk gerobaknya.

"Kamu belum pernah makan nasi uduk?"

Niken menggeleng, "Tapi buat jantung aku nggak apa-apa, kan?"

"Ken, jantung kamu nggak akan protes kalau kamu nggak capek, apalagi kalau bahagia."

"Tapi, Jun, aku mau hidup lebih lama dengan menghindari apa yang nggak baik."

"Umur nggak ada yang tahu, Ken. Kamu boleh mikirin lima tahun lagi mau gimana, tapi kamu harus lebih mikirin menit selanjutnya mau gimana."

"Kita baru awal kenal lho. Kamu udah kayak yang kenal aku aja."

"Nanti juga kamu ngerti. Ayo!" Juna jalan duluan.

Niken mengikutinya dan duduk lebih dulu, sementara Juna mengajukan diri untuk memesankan menunya–seperti di restaurant saja. Bukan hanya karena makanan atau tempat, bahkan sesuatu yang bebas, tapi Niken sangat ingin hidup seperti apa yang ia inginkan. Bahkan dari sekolah dasar pun, ia sudah diikuti bodyguard yang sangat patuh kepada orang tuanya.

Ternyata tidak harus menunggu lama, Juna lah yang membawa dua piring lalu meletakannya satu untuknya lalu dan satu lagi untuk Niken. Tidak lama juga ibu pedagang memberikan dua gelas air teh tawar hangat juga mengucapkan selamat menikmati.

"Selamat mencoba Nasi Uduk untuk yang pertama kali," ucap Juna sambil tertawa.

Dan mereka tertawa, saling menertawakan. Niken juga sama seperti kebanyakan perempuan, dia menggoyangkan kepala saat sudah mencoba satu sendok nasi uduknya yang ditemani dengan telur rebus balado, gorengan, dan bihun kecap, sama seperti piring Juna.

Niken tidak percaya dia bisa selahap ini makan. Biasanya karena bosan, ia bisa baru menghabiskan makanan sampai tiga puluh menit. Tapi sekarang makan dengan Juna berhadapan, hanya butuh lima belas menit. Juna juga melihat piring Niken sangat bersih, lebih darinya.

"Enak, ya?" tanya Juna yang lalu meneguk minuman.

Niken mengangguk, "Aku kayaknya mau bungkus juga. Kamu aku bayarin, ya."

"Ih, nggak usah. Udah aku bayar."

"Ih kenapa dibayar, nggak bilang-bilang."

"Anggap aja salam perkenalan."

"Ya udah."

Niken pun menemui ibu pedagang untuk membungkus. Ia kembali dengan kantong plastik yang isinya dua bungkus nasi uduk, "Ayo pulang aja."

"Nggak mau keliling lagi?"

"Nggak deh."

"Ya udah."

Mereka pun kembali ke motor, dan pergi meninggalkan tempat pemberhentian tidak sengaja itu. Niken memberitahu alamat rumahnya, ternyata tidak terlalu jauh lagi. Padahal Niken berharapnya akan jauh, untuk saat ini karena ingin menikmati suasana saja, mungkin juga ditambah karena Juna.

Tiba-tiba Niken meminta untuk berhenti, "Udah di sini aja."

"Kenapa, Ken?"

"Nggak apa-apa, nanti aku jalan ke sana dikit lagi."

"Nggak. Kamu dianterin pulang sama aku, aku yang harus tanggung jawab."

"Nggak apa-apa, Jun."

"Nanti kamu capek. Kamu nggak mau sakit, kan?"

Niken diam patuh. Ia tidak tahu Juna bisa berkata seperti itu. Seperti yang khawatir, tapi ini terlalu dini untuk mengkhawatirkan apa yang baru dikenal. Niken tidak tahu, Juna yang tahu.