webnovel

dewi siluman bukit tunggul 19

Di ufuk timur fajar kelihatan sudah menyingsing. Sebentar lagi sang surya penerang jagat

akan memunculkan diri, merenggutkan malam menggantikannya dengan pagi hari yang kemudian

disusul oleh kedatangan siang. Dua titik putih dan biru kelihatan remang-remang bergerak sangat

cepat dari arah tenggara. Ternyata dua titik ini adalah sosok tubuh Inani dan Pendekar 212 Wiro

Sableng. Tengah malam tadi mereka berkemah di tepi rimba belantara dan menjelang pagi baru

meneruskan perjalanan ke Bukit Tunggul. Satu keuntungan bagi Wiro karena dia bersama Inani

sehingga tak usah bersusah payah mencari di mana letaknya Bukit Tunggul. Tepat pada saat

matahari munculkan diri di ufuk timur maka kedua orang itu sudah berada di kaki bukit sebelah

timur. Sementara keduanya mencari mulut terowongan yang akan membawa mereka ke Istana Dewi

Siluman, tiga sosok bayangan biru muncul menghadang mereka.

"Hai Inani! Kau rupanya!" seru salah seorang dan ketiga gadis baju biru yang bukan lain

dari anak-anak buah Dewi Siluman yang habis melakukan perondaan.

"Hai!" seru Inani sambil lambaikan tangan kanan. Dan saat itu juga ketiga gadis baju biru

itu merasakan tubuh mereka kaku tegang tak sanggup lagi bergerak maupun bicara.

"Hebat sekali totokanmu, Inani!" kata Wiro memuji dengan tersenyum.

Inani cepat-cepat keluarkan botol obat hitam lalu dimasukkannya cairan itu masing-masing

setetes ke dalam mulut ketiga gadis itu, kemudian bersama Wiro dia segera tinggalkan tempat itu

Sementara itu di sebuah kamar yang bagus luar biasa di anjungan pertama, Dewi Siluman

masih berbaring bermalas-malasan di atas pembaringan yang hangat lembut. Hari telah siang tapi

malas sekali dia turun dari tempat tidur. Dia tahu bahwa anak-anak buahnya telah menyiapkan

segala sesuatunya untuk keperluan mandi pagi, di kolam dan mereka baru akan muncul jika dia

sudah memanggil.

Dewi Siluman memperhatikan tubuh dan parasnya di kaca dalam kamar itu. Kemudian dia

teringat pada Inani. Jika gadis itu tidak sedang menunaikan tugas, pagi-pagi seperti itu biasanya dia

telah memetik kecapi memberikan hiburan. Dewi Siluman menghitung-hitung hari. Kekhawatiran

untuk kesekian kalinya menyamaki hatinya. Kepergian Inani bersama Sarinten, Wakani dan Laruni

sampai pagi itu tiada kabar beritanya. Apakah telah terjadi pula hal-hal yang tak diinginkan dengan

mereka? Tapi kekhawatirannya itu agak berkurang sedikit kalau dia ingat bahwa Laruni adalah anak

buahnya yang paling tinggi kepandaiannya.

Akhirnya Dewi Siluman juga berbaring berlama-lama. Dia bangun dan duduk sebentar di

tepi tempat tidur, memandang ke kaca, lalu sambil melangkah ke kaca besar itu ditanggalkannya

pakaian tidurnya yang terbuat dari sutera biru halus berbunga-bunga hitam. Tanpa selembar benang pun menutupi badannya sang Dewi berdiri di muka kaca. Betapa indah potongan tubuhnya, betapa

halus mulus kulitnya. Tapi betapa rindunya seluruh tubuh itu akan sentuhan tangan seorang laki-laki.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang.

Dewi Siluman memperhatikan kaca dari mana sekaligus dia dapat melihat pintu kamar itu.

Siapa pula yang mengganggunya, pikir sang Dewi. Mungkin Laruni atau seorang anak buahnya

yang datang membawa kabar tentang Laruni dan kawan-kawannya. Maka Dewi Siluman

mengenakan pakaian tidurnya kembali dan berkata. "Masuk!"

Pintu kamar terbuka.

Dan kagetlah Dewi Siluman. Yang masuk bukanlah Laruni, bukan pula salah seorang anak

buahnya, melainkan seorang pemuda berpakaian putih-putih, berambut gondrong dan berparas

gagah.

Walau bagaimana pun kejam dan jahatnya hati seorang perempuan, namun dalam hal-hal

tertentu dia tak dapat menyembunyikan gerak refleks keperempuannya. Dewi Siluman segera

rapatkan pakaian tidurnya yang tipis lalu membentak marah, meski tidak seratus persen marah.

"Orang muda? Siapa kau yang berani berlaku lancang masuk ke kamarku?!"

Pemuda itu sunggingkan seulas senyum.

"Apakah aku berhadapan dengan Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul?" tanyanya.

"Betul! Lekas terangkan siapa kau! Bagaimana kau bisa masuk ke Istanaku ini?!"

"Kalau aku tidak salah, bukankah Dewi selama ini mencari-cariku...?"

Berdebarlah hati Dewi Siluman.

"Jadi kau adalah pemuda yang tempo hari melarikan diri sewaktu mau ditangkap?!"

"Betul sekali Dewi. Barangkali kau bisa menerangkan salah apa yang kubuat sampai diriku

hendak ditawan oleh orang-orangmu?"

Dewi Siluman tertawa. Sungguh merdu suara tertawanya laksana taburan mutiara yang

berderai di lantai batu pualam.

"Sebelum kujawab pertanyaanmu harap terangkan dulu apa yang telah kau lakukan terhadap

delapan orang anak buahku hingga mereka tidak kembali sampai saat ini. Lalu bagaimana kau bisa

masuk ke tempat ini!"

"Soal delapan anak buahmu itu mana aku tahu. Bagaimana aku sampai ke sini, biasa saja.

Kau mencari-cariku berarti aku sama saja diundang datang ke mari. Malah anak buahmu mengantar

dan menunjukkan kamarmu ini."

Kembali Dewi Siluman tertawa merdu.

"Orang gagah, kuharap kau tahu di mana berada dan dengan siapa kau bicara...."

Pemuda berambut gondrong yang bukan lain dari Pendekar 212 adanya angguk-anggukkan

kepala. "Nama besarmu sudah lama kudengar, Dewi. Namun sayang kebesaran namamu itu bukan

karena pekerjaan baik, tapi akibat kejahatan luar biasa yang tiada taranya!"

Dewi Siluman naikkan hidungnya.

"Apakah maksud kedatanganmu ke Pulau Madura ini sengaja mencari dan menantangku?!"

"Kau bisa katakan demikian...."

Dewi Siluman tertawa panjang.

"Kau andalkan apakah maka berani membuat rencana dernikian?"

Wiro menjawab dengan balas tertawa.

Di atas sebuah meja di dalam kamar itu terletak sebuah patung perempuan menjunjung

kendi yang terbuat dari emas. Beratnya kira-kira tiga kilogram. Dewi Siluman menunjuk pada

patung itu dan berkata. "Kau lihat patung emas itu, orang muda?! Jika kau sanggup melakukan

seperti yang akan kuperbuat baru kau pantas bermulut besar di hadapanku!"

Habis berkata begitu Dewi Siluman gerakkan tangan kanannya ke atas, telapak tangan

menghadap ke patung emas di atas meja. Perlahan-lahan patung di atas meja bergerak, lalu laksana

ada sebuah tangan yang tiada kelihatan mengangkatnya, patung yang beratnya tiga kilo itu naik ke

atas, melayang mendekati tangan Dewi Siluman, berhenti tegak di ujung jari tengah Dewi Siluman,

lalu melayang lagi kembali ke tempatnya di atas meja.

Dengan senyum di bibir Dewi Siluman berpaling pada Wiro Sableng. "Bagaimana?

Sanggupkah kau melakukannya? Jika tidak sebaiknya kau lekas-lekas berlutut minta ampun

kepadaku! Kau tidak terlalu buruk untuk jadi hamba sahayaku!"

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Dewi Siluman tertawa melihat tingkah pemuda ini.

Diam-diam memang Wiro Sableng mengagumi sekali kehebatan tenaga dalam Dewi

Siluman. Meski demikian mana Pendekar 212 mau diremehkan begitu saja.

"Memang meniru seperti yang kau lakukan itu aku tidak bisa Dewi Siluman. Tapi coba kau

lihat. Kau kurang teliti hingga patung itu kembali ke tempatnya dalam keadaan terbalik!"

Dewi Siluman palingkan kepala dengan rasa tak percaya. Ketika matanya membentur

patung di atas meja, terkejutlah sang Dewi. Patung perempuan menjunjung kendi memang berdiri di

atas meja tapi dengan kaki ke atas dan kepala serta kendi di sebelah bawah.

Dewi Siluman putar kepalanya kembali pada Wiro Sableng. Sedikitpun dia tidak melihat

pemuda itu gerakkan tangannya. Tapi bagaimana patung itu bisa terbalik demikian. Tiba-tiba sang

Dewi keluarkan tertawanya yang merdu.

"Tenaga dalammu boleh juga orang muda! Ilmumu cukup tinggi! Aku ada usul bagus

untukmu!" Dewi Siluman melangkah ke tempat tidur. Dalam pakaian yang tipis itu Wiro dapat melihat jelas sekali sekujur tubuh Dewi Siluman. Sang Dewi kemudian duduk di tepi tempat tidur.

"Aku yakin kau akan menyetujui usulku ini. Tapi harap kau terangkan namamu lebih dulu."

"Apakah namaku itu perlu betul bagimu?" tanya Wiro.

"Tentu!" jawab Dewi Siluman seraya matanya memandang penuh gairah ke paras Wiro. Di

mulutnya bermain seulas senyum. Dan dia menambahkan. "Seorang gagah dan berilmu sepertimu

ini musti diketahui dulu namanya!"

Wiro tersenyum. "Manusia dilahirkan tidak bernama," katanya. "Karenanya tak perlu

kuterangkan siapa namaku. Kau boleh panggil aku semaumu. Sekarang coba kau terangkan usul

bagus yang kau katakan itu!"

"Orang muda, kau terlalu jual mahal namamu! Tapi tak apa, aku senang pada laki-laki yang

berhati keras, betul-betul bernyali jantan! Dengar orang muda, walau kau tidak mau beri tahu nama,

namun aku maklum bahwa kau memiliki ilmu yang cukup diandalkan. Setiap orang berilmu tinggi

mempunyai cita-cita besar. Bagaimana kalau kita berdampingan satu sama lain dalam menguasai

dunia persilatan?!"

Wiro merenung macam orang tua lalu manggut-manggut. "Usulmu memang bagus...,"

katanya. Paras Dewi Siluman kelihatan gembira. "Tapi," sambung Wiro pula yang membuat Dewi

Siluman kembali berubah parasnya. "Aku datang ke sini bukan untuk menerima segala macam usul

atau membuat segala macam perjanjian...."

Paras Dewi Siluman menegang. "Lalu?" sentaknya seraya berdiri dari tempat tidur.

Wiro menatap paras jelita itu beberapa lamanya. Pandangan ini membuat sang Dewi

bergetar hatinya.

"Segala sesuatu di dunia ini musti ada akhirnya," Wiro Sableng membuka pembicaraan

kembali. "Diakhiri atau berakhir sendirinya. Demikian pula dengan kejahatan...."

Dewi Siluman hendak membentak memotong ucapan Wiro Sableng. Tapi di bawah sorotan

mata si pemuda mulutnya tak kuasa dibukanya. Dia tegak tak bergerak di tempatnya.

"Setiap tokoh silat adalah wajar kalau mempunyai cita-cita untuk menguasai dunia

persilatan. Namun caranya juga musti cara wajar. Bukan dengan kejahatan tanpa peri kemanusiaan.

Bukan dengan jalan membunuh anak-anak atau perempuan-perempuan atau manusia-manusia tak

berdaya dan tak berdosa. Bukan dengan menipu tokoh-tokoh silat, mengundang mereka ke mari lalu

menjebloskannya di Ruang Penyiksaan...."

Dewi Siluman terkejut amat sangat. Dari mana si pemuda tahu akan hal itu? Tapi untuk

bertanya lagi-lagi mulutnya takluk membisu di bawah pandangan mata Pendekar 212.

"Bukan pula dengan menculik gadis-gadis cantik lalu, meracunnya dengan obat kesetanan!

Hendak menguasai dunia persilatan dengan cara seperti itu bukan saja tak akan berhasil, tapi akan

membawa pelakunya pada satu kehancuran yang mengerikan, Kehancuran itulah suatu akhir.