webnovel

Chapter 2 : Friends and Stalks Life

Jakarta, Juli 2014

Pekerjaan ayah Arya sudah selesai di wilayah terkait. Mereka kembali ke kantor asal untuk melanjutkan pekerjaanya. Sebenarnya, pekerjaan ayahnya sudah selesai sejak April kemarin, tapi berhubung Arya belum menyelesaikan ujian akhirnya, jadi dia harus menunggu sampai selesai.

"Haha, si pembunuh, kenapa gak dia aja yang mati?" beberapa orang yang setelah tau dengan apa yang terjadi, malah menyalahkan Arya dan menutup mata tentang kondisi sebenarnya Dias.

Arya sangat enggan untuk berinteraksi dengan orang dan setiap malam, dia melakukan self harm dan bahkan berencana untuk melompat dari lantai dua rumahnya. Akan tetapi, Rayyes yang selalu peka langsung melarangnya.

Menjelang kepergiannya ke Jakarta, Arya menitipkan bunga ke makamnya Dias, sebelumnya orang tua Arya pun sudah meminta ganti rugi atas perbuatan yang tidak harusnya dipersalahkan, jadi seharusnya masalah ini sudah selesai dan tidak jadi dibawa ke ranah hukum.

******

"Dias, gue izin pergi dulu ya ke Jakarta? Kamu baik-baik terus disana ya, aku janji bakal jadi orang yang lebih baik lagi disana," jawab Arya yang dengan sangat sakit terus mengingat kejadian mengerikan itu sambil mencoba menahan tangisan itu.

Arya menapaki makamnya yang sekarang disekar olehnya, air mawar beserta kembang ditaburi di sekitar makam dengan tujuan agar dia bisa menyampaikan apa yang disebut rasa sakit itu. Dengan itu, dia sekarang bisa sedikit melepaskan rasa sakit itu dari apa yang ia lihat.

"Yuk!" kata Rayyes yang mencoba untuk mendekati adiknya tersebut dan Arya mulai berdiri dan mencoba untuk mengikhlaskan kesekian kalinya, walau nyatanya itu sulit.

Bagi Arya, Dias adalah teman pertama yang ia punya. Berkatnya, dia jadi mengerti tentang sepak bola, jadi ia berjanji dengannya bahwa suatu saat, bahwa dia akan menjadi pemain terbaik di dunia. Jadi, ia akan berpikir bahwa mungkin akan sulit bertransisi pada kebiasaan.

"Maaf dan makasih belum bisa berbuat apapun."

Dia pergi dan Rayyes mengajaknya menuju mobil, tempat dimana mereka akan pergi menuju ke Jakarta dan mereka meninggalkan tempat yang penuh kenangan dan kesuraman itu.

******

Di Jakarta, Juli 2014 semua siswa yang sudah berhasil masuk dalam nominasi teratas siswa yang masuk sekolah akan ditempatkan di sekolah terbaik.

"SMP Kirya nih, Ar!!" kata Rayyes yang sepertinya mendapatkan kabar baik bahwa ia akan masuk nominasi sekolah terbaik.

Dia sangat bangga dengan pencapaiannya dan kini ia resmi memulainya dengan sangat baik, tapi yang jelas dia akan melakukan hal yang sama dengan kesepian dan tidak ada teman, karena dia tidak berani berinteraksi lagi.

******

Hari pertama di sekolah, dia datang disaat pagi matahari menyambutnya dan pohon menyapanya dengan semilir angin kebaikan, dia berjalan masuk dan mencari papan penguguman kelas nya.

"Wah, kelas 7-2," kata salah satu dari mereka yang senang akan mendapatkan kelas yang sama.

Arya akan dimasukkan di kelas 7-5, kelas paling akhir. Mungkin ini akan didasarkan pada nilai raport yang diraihnya, tapi baginya ini adalah diskriminasi kelas sosial yang membuatnya berpikir bahwa itu tidak akan mendapatkan ketenangan.

Dia dengan segera masuk ke kelas 7-2 dan tidak ada seorangpun yang ia kenal, bahkan sekolah lamanya pun tidak. Padahal, rumah lama dengan rumah barunya itu tidak terpaut cukup jauh, hanya dua kilo.

Mencari tempat duduknya, bukanlah perkara yang sulit, dia cukup mencari tempat duduknya yang menurutnya paling nyaman. Ia membenci duduk di depan, apalagi tengah depan atau pojok kiri tembok. Jadi, dia akan mengambil bangku tengah ruangan kelas.

******

Pun murid-murid datang mencari tempat mereka duduk. Tidak ada seorang pun yang peduli dengan sekelilingnya, mereka semua sibuk dengan dunia nya masing-masing, beberapa teman dekat semasa SD itu sendiri juga berkumpul membentuk kelompok tempat duduk yang saling berurutan.

"Ah iya, guru sudah datang, kau cepatlah diam! Apakah kau mau kena marah lagi!" kata siswa tersebut yang menyuruhnya mereka diam dan datang ke tempat itu.

Kemudian, guru perempuan itu masuk dan melintasi papan tulis, kemudian duduk di meja guru dan memandangi mata mereka semua dengan tatapan pelototan, mereka semua menjadi takut dan kemudian guru tersebut langsung berbicara.

"Kenalkan dirimu!" jawabannya dengan kacamata yang diturunkan, khas guru-guru yang memakai kacamata di rentang usia 50 tahun.

Semua mengenalkan dirinya, kemudian sampailah pada Arya pada barisan tengah. Dia sangat ketakutan sampai keringat dingin, karena hari-hari hidupnya hanya dihabiskan dengan kesedihan dan tekanan dari segala sisi, jadi ketika ia akan berbicara lagi dia merasa bingung untuk melakukannya.

"S-S-Sa-Saya, A-Ar-ya Ra-k-as-h," kata Arya yang terbata-bata dan mengalirkan keringatnya.

Di ujung pojok kiri belakang tempat yang ada di sana, seorang laki-laki berkacamata dengan ketebalan minus mencapai empat itu sedang menatapnya dan entah kenapa bagi laki-laki kacamata itu, orang yang berbicara terbata-bata sedang menyembunyikan sesuatu.

"Aku harus menyelidikinya diam-diam, agar aku tidak menjadi pembuat masalah."

Kelas berlanjut dan mereka mengakhiri dengan perkenalan dan pembentukan ketua kelas, lalu ditambah dengan sedikit kontrak kelas. Demikian, itu sedikit tentang hal-hal yang mengikat. Sekarang, kelas berakhir dan digantikan dengan pematerian dari guru-guru.

******

Pria berkacamata itu bernama Sefa, dia entah kenapa begitu ingin mendekati Arya. Sepertinya, dia menemukan sebuah keunikan yang bahkan ia cari-cari, walau dia tidak tahu, tapi hatinya berkata bahwa dia akan memberikannya jalan yang indah nantinya.

Dia terus menguntit orang tersebut dengan jarak sekitar empat atau lima meter. Sampai ia memastikan bahwa dia masuk ke dalam rumahnya. Dia penasaran dengan terus mengikutinya dan bodohnya rumah Arya melewati rumah Sefa dan dia malah bertemu dengan kakaknya, Hanes.

"Hahaha, ketemu juga kamu, kuy kontrol," ujar Hanes yang tiba-tiba berdiri di depan jalan, menghalangi Sefa yang berjalan mengikuti jejak orang tersebut.

"Kau lihat apa sih? Sampai matamu dijereng-jerengi seperti itu?" tambah Hanes yang sepertinya tidak akan membiarkan Sefa kabur.

Dengan langkah nekatnya, dia langsung menarik tangan Sefa dengan paksa, menggendongnya dengan melihat dia yang meronta-ronta dan menangis, kemudian dia dipaksa pergi dengan masuk ke dalam mobil layaknya sedang diculik.

"Ah, lu cengeng banget, bajingan!"

******

Mobil yang dikendarai oleh kakaknya, Hanes itu ditumpangi oleh dirinya dengan tangan yang diikat dan mulut yang dilakban agar dia tidak menjerit dan meronta di dalam mobil itu dan juga ibunya yang khawatir melihat kondisi anaknya itu.

Sampailah mereka di lokasi sebuah rumah sakit di Salemba, yang orang tua sebagai rumah sakit berdasar nama pahlawan. Mereka segara membawa dia ke ruangan psikolog dan inilah kesekian kalinya dia merasa tidak tenang.

"Halo dok, lama tidak bertemu lagi kita, apakah bapak sudah menyelesaikan tugasnya?" tanya Hanes, kepada dokter yang sedang mengajaknya dia bicara.

"Kebetulan sudah dan aku juga digantikan saat satu tahun itu, sedang aku juga sangat antusias dengan anak-anak di daerah pegunungan itu, mereka perlahan udah mulai percaya fakta sains dan teknologi."

"Syukurlah kalau begitu, oh iya kemarin cek terakhir tanggal berapa, ya?" tanya Dokter Nindi membuka berkas dari Sefa.

"Saya gak sakit Dok! Saya sehat kok, bisa liat kan dokter saya bisa gerak berdiri dan duduk dengan sempurna?" ujar Sefa yang masih tak bisa tahan dengan situasi ini.

"Penyembuhan Bipolar dan ADHD untuk Sefa sepertinya sudah mulai pulih, kalau menurut Sefa kamu ngerasa apa?" tanya dokter itu yang sekarang bergantian bertanya.

"SAYA BUKAN ORANG SAKIT, SAYA SEHATTT, BUKTINYA SAYA BISA JALAN, SEKOLAH DAN LAINNYA!!" teriak Sefa yang dengan tegas dan marah.

Ketika itu terjadi, beberapa saat kemudian Sefa menjadi down dan menangis lalu menjatuhkan badannya dan menjedotkan kepala dirinya sendiri ke ruangan.

Selain, mengalami bipolar seperti ini, dia kadangkala sulit untuk fokus dalam kelas, bahkan pernah bolos pelajaran saat SD dan tetap berada di toilet sampai pelajaran itu selesai, selain itu dia terkenal tidak bisa diam di kelas, namun itu adalah sedikit masa lalunya.

"Saya jadi keinget anak saya, padahal dia gak salah apapun, tapi tekanan karena kurungan diri yang tidak seharusnya didapatkan oleh anak sekecil dia. Dia sekarang malah lebih tertutup. Beruntungnya, dia cepat pindah ke sekolah."

"Dimana sekarang sekolahnya?" tanya Hanes yang ikut penasaran dengan cerita yang diberikannya.

"Sekarang dia baru kelas tujuh di SMP Kirya, mungkin dia sedang berada dalam penyesuaian, setelah selesai ini saya akan cepat kembali ke rumah, karena dia butuh pengawasan itu."

"SIAPA NAMANYA DOK, SAYA MAU TAHU!!" tiba-tiba raut wajah itu berubah menjadi tawa senyum, ini benar-benar gejala bipolar yang akut dan dokter merasa ini bahwa saatnya untuk membuat dia menumbuhkan rasa percaya dirinya terhadap dunia.

"Namanya Arya Rakash, apa mungkin kau mengenalnya?"

Matanya membulat sempurna, badannya bergidig dan dia membulatkan bibirnya tanda terkejutnya ketika dia tahu bahwa apa yang ia cari ternyata tidak jauh dari tempat asalnya.

"Kalau aku boleh tau, apakah dia punya hobi yang dilakukannya?" tanya Sefa yang sepertinya sangat ingin melihat apa yang dia harapkan selama ini.

"Dulu dan entah sekarang, saat malam hari terutama musim penghujan dia sangat ingin memainkan sepak bolanya, terlihat klise dimata anak-anaknya. Tapi, kalau kupikir dia adalah pemain yang akan tumbuh dengan semangat dan keahliannya," kata Nindi yang mencoba untuk menghibur anaknya sendiri di depan pasiennya itu.

"Kapan aku bisa melihat dia bermain bola itu?" tiba-tiba dengan topik itu Sefa mudah saja menaikkan daya semangat nya dengan sangat ekspresif.

"Biasanya dia main malam hari, dekat dengan rumahmu, bukan? Kau datangi saja dia, asal kau berkata dengan baik, dia akan terbuka denganmu."

Mendapatkan informasi yang sangat berguna itu, membuat Sefa segera meminta untuk pulang, hingga tanpa sadar kontrol cek lanjutannya itu belum dilakukan dan dia harus melaksanakannya, tapi kali ini ia sedikit senang, karena perlahan sudah tau tentang orang yang ia selidiki tadi.

******

Malam harinya, selepas Sefa selesai kontrol dia langsung mendatangi tempat yang ditunjuk oleh sang dokter tersebut. Tentunya melihat kondisi Arya seperti itu, dia berusaha untuk mengamatinya terlebih dahulu.

"Dia cukup lihai bermain sepak bola, aku jadi iri dengannya...."

Arya melakukan tendangan bolanya ke arah tembok dengan jarak yang dekat, alasannya adalah kalau ia terlalu kencang melakukannya, maka nanti akan melewati rumah tetangganya dan menimbulkan masalah.

Gerakan Arya yang termasuk teknik tipuan dari kaki ia lakukan dengan sangat susah payah, karena ia sepertinya sudah lama tidak mencobanya lagi, kemudian menggiring bola dengan kaki depan dan kaki luar ia coba lakukan.

"Bodoh! Seharusnya aku melewatinya dari kaki kanan terlebih dahulu, kenapa harus dari kaki kiri?" gerutu Arya yang terus melakukan kesalahan sehingga bolanya diarahkan ke arah yang salah.

Sefa terus mengamati kesalahan temannya itu, baginya itu tidak akan menjadi masalah, tapi satu yang ia tangkap, dibalik malu-malunya diri dia, tersimpan bakat terpendam yang cukup mengaggumkan.

"Kapan ya gue bisa ngomong terus sama dia, soalnya dia orangnya keren bangett?" ujarnya berbicara sendiri terus menganggumi kemampuan Arya yang sangat berbakat.

Tapi, kebodohan Sefa terjadi, saat ingin mendekatinya dia malah menginjak kaleng dan kucing itu terus kesakitan dan mencakarnya, dia benar-benar shock dan terus menangis, mengeluh rasa sakitnya.

Saat Arya menyadari bahwa ada orang di sekitaran sana, dia langsung melihatnya dan memastikan siapa orangnya, kemudian dengan insting pedulinya, dia menolongnya dan mencoba untuk menyelamatkannya.

"Kau tak apa?" tanya Arya yang sepertinya dengan sigap menolongnya dengan cara yang tak terduga seperti ini.

"Ti-tidak, a-aku baik-baik saja, maaf me-merepotkan mu," ujar Sefa yang masih menangis dengan tersedu, karena merasa disusahkan olehnya.

"Sudah dari tadi, ke sini?" tanya Arya lagi kepadanya yang sepertinya sudah mengamatinya selama sepersekian waktu.

"Iya, aku mengamatimu ketika di kelas, aku Sefa yang duduk di pojok belakang pakai kacamata, kau tentu tidak melihatku, karena kau fokus pada belajarmu dan sepertinya kau nampak kesepian dari aktivitas yang kulihat."

Sefa yang sangat antusias pada dirinya berharap Arya nanti akan menjadi temannya atau mungkin sahabatnya, semoga tidak ada penolakan yang menyakitkan dari mulut dia yang akan membuatnya rasa sakit itu.

"Kau beneran ingin menjadi temanku?" tanya Arya yang sepertinya mengkonfirmasi hal itu.

"Iya, kalau kau tak keberatan melakukannya."

Dia mengeluarkan jari kelinkingnya dan mendekati Sefa, lalu kemudian bertanya. "Aku ingin serius seperti ini, dan kemudian kau melakukannya dengan baik. Terima kasih atas kerja kerasmu yang peduli denganku."

Sefa paham dengan maksud dari Arya dan kemudian dia melakukannya dengan sepenuh hati, dia berjanji untuk memastikan untuk semua hal yang tidak menyakiti itu.

"Dias, terima kasih kau sudah berlaku baik denganku, aku punya teman baru lagi, kuharap kau tidak akan merasa bahwa kau pergi dengan sia-sia."

Malam malam yang penuh dengan kesendiran dan sepi itu langsung terpecah, ketika seorang anak manusia mengucapkan sebuah patah kata yang menjanjikan ikatan pertemanan yang saling terhubung.

"Terima kasih, karena hal itu, aku tahu bahwa kau benar-benar percaya denganku," kata Sefa yang sepertinya merasakan hal yang sama lagi dengan yang sudah-sudah.

Mereka kemudian, melanjutkan permainan bola dengan berdua. Arya yang tadinya sendiri, harus menuruti permintaan Sefa yang mengajarinya bermain bola.

"Kau tidak berkeberatan kah, mengajarkan main bola dengan aku yang berkacamata ini?" tanya Sefa yang sepertinya merasa bahwa Arya akan memandang aneh dia yang berkacamata.

"Banyak atlit yang berkacamata, tapi kataku kacamata yang mereka gunakan itu adalah kacamata yang talinya dari karet. Jadi, mereka leluasa kalau nendang kena bola, tapi sih kalau kau mau cepat lebih lasik. Tapi, kalau kau sangat baik."

"Hmm, sudahlah lebih baik kau jelaskan nanti saja, aku sudah tidak sabar ingin bermain denganmu."

"Baiklah, aku akan menunggumu dengan segera."