webnovel

When Love Knocks The Billionaire's Heart

L'amour est comme le vent, nous ne savons pas d'ou il vient. Cinta datang seperti angin, kita tidak tahu kapan dia datang. -Balzac- ---- Ditinggalkan dua orang wanita yang sangat dicintai dalam hidupnya membuat William James Hunter, 27, kesulitan untuk mempercayai wanita. Di matanya, wanita hanyalah objek pemuas hasratnya. Dengan uang yang ia miliki ia bisa dengan mudah mendekati wanita manapun yang ia mau. Pandangan William pada wanita mulai berubah ketika ia bertemu Esmee Louise, 24, di sebuah restoran kecil di desa Riquewihr, Perancis. Perlahan tapi pasti, sikap hangat dan pribadi Esmee yang pekerja keras kembali mengetuk hati William. Pada awalnya, William berencana ingin menghancurkan restoran milik Esmee karena gadis itu tidak mau menjual restoran tersebut pada perusahaan milik keluarganya. Namun, perasaan yang ia rasakan pada Esmee akhirnya membuat William memikirkan kembali semua rencana yang sudah ia buat untuk menghancurkan restoran tersebut. Akankah William kembali melanjutkan rencananya untuk menghancurkan restoran milik Esmee agar ia bisa menjadi pewaris seluruh kekayaan keluarganya? Atau, ia akan memilih melupakan warisannya dan memilih cintanya pada Esmee? Let's find out by adding this book to your library for an update. Support this book on WSA events through reviews, comments, power stones, gifts, etc. Your support means a lot. Thank you, and happy reading. ^^ Cover source: Pinterest *The cover is temporary until the main cover is ready

pearl_amethys · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
409 Chs

Curious 1

William mendengus kesal ketika mobil yang membawanya ke hotel tempat ayahnya menginap berhenti di pintu masuk hotel. Charles yang duduk di sebelahnya segera turun dari mobil. Ia kemudian berdiri di samping mobil tersebut dan menunggu William untuk segera turun dari mobil.

"Hei, kau mau sampai kapan duduk di situ?" tanya Charles sambil sedikit menundukkan badannya. Ia mengerutkan keningnya ketika melihat William yang nampaknya belum mau beranjak dari kursinya.

William menoleh pada Charles dan menatapnya dengan sinis. "Sekali lagi kau melakukan ini padaku, aku yang akan menghabisimu. Bukan ayahku."

Sambil mendengus kesal, William kemudian segera turun dari mobil. Charles menghela nafas panjang ketika bahu William menabraknya dan dia terus berjalan ke pintu masuk hotel.

"Like father like son. Mereka sama-sama mengerikan. Apa mereka tidak sadar kalau mereka itu sangat mirip?" gumam Charles. Ia kemudian segera menyusul masuk ke dalam hotel sambil menghubungi Naomi.

"William sudah masuk ke hotel," ujar Charles pada Naomi.

"Ya, aku sudah melihatnya. Ingat, kau berhutang padaku," sahut Naomi.

"Kau bisa menagihnya nanti," timpal Charles. Ia kemudian mematikan sambungan telponnya dengan Naomi dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya.

----

Naomi melambaikan tangannya ketika ia melihat tubuh jangkung William menyembul diantara para pengunjung hotel. Ia bisa melihat wajah kesal William yang sedang berjalan ke arahnya. Naomi kemudian menghela nafas panjang.

"Here we go," ujar Naomi ketika William menghampirinya. Ia kemudian memasang senyum termanis yang ia miliki dan tersenyum pada William.

"Di mana pria tua itu?" tanya William tanpa mempedulikan Naomi yang tersenyum padanya.

"Dia sudah menunggumu di restoran. Aku rasa dia juga sudah memesan makanan untuk kalian berdua. Kau pasti belum makan malam, kan?" tanya Naomi. Ia kemudian mengajak William untuk berjalan bersamanya menuju restoran yang ada di dalam hotel tempat Alexander menginap.

William mengikuti Naomi sambil mendengus kesal. Ia baru saja menikmati harinya bersama Esmee dan kini ayahnya datang dan merusak kesenangannya. Tidak ada yang lebih menyebalkan bagi William selain kedatangan ayahnya yang tiba-tiba. William tahu, ayahnya pasti akan bertanya tentang perkembangan usahanya untuk membuat Esmee menjual restorannya.

"Dia di sana," ujar Naomi pada William ketika mereka tiba di pintu masuk restoran. Ia menunjuk ke meja yang sedang di duduki Alexander di tengah restoran.

William menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Naomi. Ia mendengus pelan ketika melihatnya ayahnya sedang duduk bersama gadis muda berambut pirang. Gadis itu mengenakan gaun sequin berwarna merah tanpa lengan.

"Di mana dia mendapatkan pelacur barunya itu?" William bertanya dengan sinis pada Naomi.

"Entahlah. Tadi aku meninggalkannya sendiri. Aku tidak tahu tentang gadis itu. Mungkin mereka baru saja bertemu," jawab Naomi.

William menghela nafas panjang kemudian berjalan ke meja yang ditempati ayahnya. Sementara itu Naomi hanya menatapnya dari pintu masuk restoran. Setelah itu ia kembali pergi meninggalkan restoran.

"Temani aku ke bar," ujar Naomi ketika ia bertemu dengan Charles yang hendak menyusul William. Ia langsung menarik lengan Charles.

"Bagaiamana dengan—"

"Biarkan saja mereka berdua. Kau pasti tidak ingin terlibat di tengah-tengah perang nuklir di antara mereka," sela Naomi.

Charles akhirnya pasrah dan membiarkan Naomi menarik tangannya untuk menuju bar yang ada di dalam hotel.

----

William berdiri di hadapan meja ayahnya sambil menatap ayahnya dengan tatapan yang sangat dingin. Alexander yang menyadari kedatangan William langsung menyambutnya dengan tersenyum lebar.

"Lihat siapa yang datang? Putraku yang tampan akhirnya datang," seru Alexander sambil tertawa riang.

Gadis muda berambut pirang yang duduk di hadapan Alexander sontak menoleh ke belakangnya. Ia terkejut melihat sosok pria muda yang sudah berdiri di belakangnya. Mata gadis itu tidak berkedip ketika melihat William. Ia bahkan tanpa sadar membuka mulutnya.

William menundukkan kepalanya sedikit dan menatap gadis yang sedang berbicara dengan ayahnya. Ia kemudian tersenyum pada gadis itu.

"Maaf mengganggu waktumu, Nona. Tapi aku harus berbicara dengan teman kencanmu," ujar William.

Seolah tersihir oleh pesona William, gadis berambut pirang yang sedang berbicara dengan Alexander seketika berdiri dari tempat duduknya. Ia tersenyum sambil sedikit menyentuh paha William sebelum ia pergi meninggalkan meja tersebut.

"Jangan kunci pintumu. Mungkin aku akan mampir ke kamarmu," ucap William sambil mengerling pada gadis itu.

Gadis berambut pirang itu kembali tersenyum pada William sambil mengigit bibirnya. Ia kemudian berjalan pergi meninggalkan meja Alexander.

Alexander tertawa pelan melihat apa yang baru saja dilakukan oleh William. "Kau tidak sadar kalau kita berdua sangat mirip?"

William berdecak pelan. Ia kemudian duduk di kursi yang ditinggalkan si gadis berambut pirang. "Langsung saja pada intinya. Apa yang mau kau katakan."

Alexander menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin mengatakan apapun. Aku hanya ingin menemuimu dan melihat perkembangan usahamu untuk memaksa pemilik restoran itu menjual tempatnya."

"Aku sedang mengusahakannya," sahut William.

"Kau mau makan? Aku bisa memesankan makanan untukmu," timpal Alexander sambil mencungkil escargot yang ada di piring makannya.

"Tidak perlu," jawab William. Ia mendesis pelan ketika melihat ayahnya menyeruput saus yang ada di dalam cangkang escargot yang sedang ia makan.

"Wah, makanan di sini benar-benar lezat. Mungkin aku akan sering mampir ke sini untuk menikmati makanannya," ujar Alexander. Ia kemudian mengelap mulut dan tangannya. Setelah itu ia kembali mengalihkan perhatiannya ke arah William.

"Sudah dua minggu kau datang ke sini, dan kau belum menunjukkan progress yang menjanjikan. Kau malah memintaku untuk segera mengirim pekerja untuk mulai renovasi bangunan di sekitarnya," ucap Alexander sambil menatap tajam ke arah William.

William tertawa pelan sambil menatap ayahnya. "Sepertinya kemampuanmu sudah mulai menurun Pak Tua. Kau tidak mengerti kenapa aku meminta untuk segera memulai renovasinya?"

"Apa yang kau rencanakan?" tanya Alexander.

William menghela nafas panjang. Ia akhirnya mengambil escargot yang ada di piring ayahnya lalu langsung mencungkilnya menggunakan jari telunjuknya. Setelah itu, ia langsung menyeruput habis isi di dalam escargot tersebut. Begitu selesai mengunyah escargot tersebut, William kembali menatap ayahnya.

"Aku menunggumu lengah sampai aku bisa mengambil makanan dari piringmu. Itu yang sedang aku lakukan pada restoran itu," ujar William sambil tertawa pelan.

Alexander berdecak pelan setelah mendengar apa yang dikatakan William.

"Aku tidak menggunakan pendekatan yang selama ini selalu kau lakukan. Aku melakukannya sealami mungkin sampai mereka benar-benar menyerah dan menjual restoran itu. Lagipula sudah lama aku tidak bersenang-senang dan tempat ini ternyata cukup menyenangkan," lanjut William.

Alexander mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baguslah kalau begitu. Aku pikir kau berubah pikiran karena terpikat dengan pemiliknya yang cantik."

William tertawa pelan menanggapi ucapan ayahnya. Meski begitu Alexander tidak mengetahui bahwa William mengepalkan tangan di bawah mejanya.

"Kau tunggu saja. Aku pasti akan mendapatkan restoran itu," ujar William.

Alexander akhirnya meletakkan serbet yang ia gunakan ke atas meja makan. "Kalau begitu pembicaraan kita selesai. Aku tunggu kabar baik darimu."

William menganggukkan kepalanya. "Tenang saja, aku tidak akan membiarkanmu mengambil hakku."

Alexander berdiri dari tempat duduknya. Ia kemudian mendekat pada William dan menepuk bahunya. Setelah itu ia berjalan pergi meninggalkan William.

William terdiam di tempat duduknya setelah Alexander meninggalkannya. Tangan kirinya masih mengepal di bawah meja makan. William mendengus kesal lalu melepaskan kepalan tangannya dan segera bangkit berdiri. Ia kemudian pergi meninggalkan restoran.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. I was hoping you could share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^

pearl_amethyscreators' thoughts