webnovel

04.

Jean merasa tubuhnya ringan, seperti terapung-apung di lautan luas, begitu nyaman dan tenang. Perlahan tapi pasti, gambaran masa lalu itu muncul. Jelas, sejernih melihat wajahnya sendiri dalam pantulan air telaga.

***

Dia sedang berada di dapur rumahnya siang itu, mempersiapkan menu untuk pesta barbecue yang biasa diadakan, manakala Mike dan tim sedang libur. Jumlah mereka hanya lima orang, sehingga mengundang semuanya. bersama istri dan anak-anak pun, tidak menjadi masalah.

Jean sudah mengaturnya, anak-anak diharuskan bermain di dalam rumah, jauh dari para lelaki yang bercanda sambil mengepulkan asap rokok dan mendentingkan gelas beer.

Sementara Jean membuat saus untuk bumbu bakar, Anindya, istri Tony, sedang memotong daging di sampingnya. Wanita itu tak henti mengeluh, anak-anaknya—yang semua lelaki—membuatnya terpaksa bolak balik dipanggil kepala sekolah.

Jean tersenyum menanggapi itu. Menurutnya, Anindya adalah seorang pengurus rumah tangga yang handal. Hanya saja, sifat suka mengontrol, membuat buah hatinya lebih dekat pada Tony. Anindya juga mengeluhkan sifat Tony yang selalu memperbolehkan anak mereka bertindak sesukanya.

"Tony selalu begitu, kau tahu? Memang sih dia menekankan pada anak-anak, perbuatan apapun yang dilakukan tidak boleh melampaui batas norma sosial dan agama. Tony bilang, ini untuk mengajarkan mereka mengenai tanggung jawab. Tapi, entahlah, aku hanya merasa seperti polisi jahat dan Tony adalah polisi baik."

Jean terkekeh, dia tidak bisa berkomentar, karena belum mengalaminya sendiri. Pernikahannya baru saja menginjak ulang tahun yang pertama minggu lalu, di mana mereka memutuskan untuk membentuk keluarga sempurna. Mike menginginkan anak yang banyak, katanya untuk menemani Jean ketika lelaki itu sedang bertugas, yang mana membuat Jean tertawa dan menyambut dengan suka cita.

"Joe pasti akan suka dengan resep ini. Kujamin!" kata Diana—istri Spike yang bertubuh montok—pada Debby, yang baru saja menikah dengan Joe.

Suara Diana yang nyaring membuyarkan lamunannya. Dia melirik ke belakang dan ikut tergelak ketika melihat Diana menjulurkan lidah dan menjilati seputar bibirnya. Sementara itu, Lucy—istri Bram yang baru saja melahirkan—terlihat mendekat karena penasaran. Tawa cekikikan sesekali terdengar dari ruang tamu. Jean bertanya-tanya, resep apa yang sedang mereka bicarakan.

Kemudian, teriakan para lelaki mengalihkan perhatiannya, membuat dia dan Anindya menoleh keluar jendela dapur. Entah permainan apa yang sedang dimainkan, para lelaki itu sedang lari berkejaran dan saling menjatuhkan.

Sekarang, empat lelaki itu gantian mengejar Devlin. Dengan gesit, Devlin menghindari rekan-rekannya yang satu per satu berjatuhan karena gagal menangkap. Segesitnya Mike yang bertubuh paling ramping pun, tidak dapat menangkap Devlin yang lebih tinggi dengan otot yang berisi. Devlin tertawa paling akhir sambil menatap teman-temannya yang tersungkur.

Terkesima dengan tawa kemenangannya, Jean yang menonton dari dalam ikut tertawa. Boys will be boys, pikirnya geli.

Tiga puluh menit kemudian, merespon pengumuman Debby bahwa bahan barbecue sudah siap, para lelaki berhamburan masuk dan menghampiri istri masing-masing. Jean melihat pada Devlin yang masuk. Senyumnya mengembang saat mereka bertatapan, sejurus kemudian perhatiannya teralihkan pada sosok Mike yang turut masuk dan segera menghampirinya. Pelukan mesra dan suara kecupan dari masing-masing pasangan berkumandang.

"Oh, begini acara barbecue-nya? Sebaiknya kalian pulang dan mengunci kamar masing-masing. Tidak masalah jika aku harus mem-baby sit anak-anak kalian. Atau mungkin lain kali tidak usah repot-repot mengajakku untuk pesta barbecue lagi," keluh Devlin, sambil berkacak pinggang.

Pelukan dan kecupan itu segera berhenti, semua mata menatap pada Devlin yang berwajah merah, tapi tidak untuk waktu yang lama. Semenit kemudian, bunyi kecupan dan erangan kembali memenuhi seluruh ruangan.

"Oh, man!" Devlin berbalik sambil mengambil salah satu nampan berisi bahan dan segera keluar. Riuh tawa berkumandang menyertai kepergiannya.

"Cari pacar dong, Dev! Atau kami akan berpikir kau ... ehem!" teriak Spike dari mulut pintu. Tubuhnya yang kekar, seperti Mike Tyson, kemudian memberi kode pada rekan-rekannya untuk bergerak. Satu per satu para lelaki itu keluar masuk, sambil mengangkat nampan sampai selesai.

Hari menjelang sore ketika pesta barbecue dimulai, mereka semua berkumpul di meja kayu panjang. Di atasnya sudah tersaji buah-buahan dan salad sebagai makanan pembuka. Jean yang tidak melihat Devlin berada di tengah mereka, lalu mencarinya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan lelaki itu sedang membakar daging yang sudah diempukkan dan dibumbui oleh Diana.

Beranjak dari tempat duduknya, Jean berjalan perlahan menghampiri lelaki yang sudah dikenalnya lama. Jean tahu dia sudah menikah dan setia pada Mike, tapi perasaannya terhadap Devlin berbeda. Hanya menatap punggung lebar itu saja sudah membuat perasaannya bahagia. Mungkin benar kalimat : pasien pertama selalu mendapat tempat di hati, karena itulah yang dirasakah Jean.

Pertemuan pertamanya dengan Devlin adalah hari di mana lelaki itu terluka parah. Waktu itu, subuh belum lagi menjelang ketika sebuah brankar pasien di dorong cepat dari pintu depan. Sebagai perawat yang baru lulus akademi keperawatan dan belum genap setahun bekerja di salah satu rumah sakit pemerintah, Jean merasa perutnya mual ketika melihat pasien yang berlumuran darah.

Lelaki yang terbaring itu rupanya seorang anggota intelijen yang terluka saat mencoba menggagalkan perampokan sebuah bank swasta. Peluru bersarang pada tubuhnya di tiga tempat yang menyebabkan lelaki itu mengalami pendarahan hebat dan hampir mati.

Dia masih ingat, tangannya dengan gemetar memotong pakaian yang membelit dan membasuh darah yang bercucuran dari tubuh Devlin. Jean juga diperbantukan saat dokter melakukan operasi. Dia sungguh bersyukur bahwa lelaki itu kuat, selain mampu melewati proses operasi yang panjang, proses penyembuhannya bisa dikatakan cepat.

Jean memantaunya. Pada jam istirahat atau sebelum shift-nya dimulai, dia menyempatkan waktu untuk mampir ke kamar rawat Devlin, hanya sekadar mengecek atau membacakan doa di sampingnya. Suatu hari, ketika dia berkunjung lelaki itu sudah terduduk di tempat tidur, sedang berusaha melepas infus dan peralatan lain yang menempel di tubuhnya.

Dengan panik, Jean menghentikan tindakan yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya. Dia bahkan harus berdebat panjang dengan Devlin karena kondisinya yang belum sembuh benar. Kepala lelaki itu mungkin sekeras batu, tapi pada akhirnya Devlin menyerah dan mengikuti sarannya untuk bertahan beberapa hari lagi hingga kondisinya pulih.

Dasar memang Devlin adalah anggota kesatuan yang paling berani mengambil resiko, dia sering keluar masuk rumah sakit. Kening tersayat, luka tusuk, memar dan lainnya; semuanya dirawat oleh Jean. Seperti kelinci percobaannya, tubuh Devlin sudah mengalami jahitan tangan Jean dari seorang pemula sampai jahitan tangannya yang ahli; dan sepertinya lelaki itu tidak keberatan.

Jean harus mengakui bahwa dia sempat memiliki perasaan khusus pada Devlin, tapi sepertinya itu bertepuk sebelah tangan. Meskipun pertemanan spesial itu terjalin selama dua tahun, akhirnya malah Mike—sahabat Devlin—yang melamarnya. Dan, Jean memutuskan untuk menerima lamaran itu.

Devlin berbalik dan tersenyum, ketika Jean meraih bahunya lembut. "Hei ... bukankah seharusnya kau duduk manis di meja makan, Jean? Kau dan lainnya sudah cukup lelah mempersiapkan semuanya. Biarkan aku melayanimu, Tuan Putri," goda Devlin, tubuhnya sedikit menunduk seakan memberi hormat.

Jean terkekeh. Devlin yang berkeringat membuat penampilan lelaki itu seperti anak kecil, ingin dia mengulurkan tangan untuk menyeka wajahnya. Alih-alih melakukan itu, dia menggeser tubuh ke samping, mengambil beberapa potong daging dan mulai memanggang di sebelah Devlin. Meskipun mereka masih berhubungan baik, sulit bagi Jean untuk menganggap Devlin sahabatnya, seperti anggapan lelaki itu terhadapnya.

"Kenapa tidak membawa pacarmu, Dev?"

Lelaki itu menatapnya, pandangannya menelusuri tampilan Jean dalam balutan kemeja biru muda tanpa lengan dan celana denim setengah lutut. "Hmmm ... pacarku jelek," ujar Devlin sambil menyeringai.

Jari Jean dengan cekatan mengambil tempat di dada Devlin dan mencubitnya gemas. Devlin mengaduh, daging dalam capitan sampai lepas, dan melompat lagi ke atas panggangan. Kemudian, lelaki itu tertawa, memamerkan pada Jean senyum miringnya yang mampu melumpuhkan sepuluh wanita sekaligus. Jean membuang muka agar dia tetap bisa berdiri di atas kedua kakinya.

"Jangan khawatirkan aku, Jean. Aku senang kau bahagia. Dan kalau kalian memiliki anak, aku bersedia menjadi ayah angkat dan mengasuhnya, agar kau dan Mike bisa berkonsentrasi untuk memproduksi lebih banyak lagi."

"Seriuslah, Dev, sudah berapa lama sejak yang dulu itu? Maksudku, umurmu tidak muda lagi, jadi sebaiknya kau mulai mencari istri." Devlin baru akan membuka mulut ketika Jean melanjutkan, "Aku akan mengenalkan teman-temanku, jika koleksimu kurang."

Lagi-lagi, lelaki itu melayangkan senyum miringnya. "Baiklah, kenalkan padaku."

***

Bersamaan dengan memudarnya senyum Devlin, Jean membuka matanya perlahan. Dengan bingung, dia memperhatikan langit-langit di atas yang terang tertimpa cahaya matahari pagi. Pemandangan itu tampak familiar. Jean sekali lagi mencoba mengingat-ingat, apakah dia telah tertidur dan baru saja bermimpi?

Kilasan demi kilasan ingatan perlahan muncul. Dia teringat beberapa orang membawanya dalam mobil, kemudian dia dihadapkan pada serpihan daging tak berbentuk, lalu ….

Mike ....

Nafas Jean memburu, monitor disebelahnya berbunyi keras menanggapi reaksinya. Kenyataan bukan saja telah memukulnya telak di dada, namun juga menyiksanya dengan dentaman-dentaman rasa sakit di kepala.

“Jean, kau siuman. Apakah—“ Mata indahnya menatap nanar pada sosok tua yang mendekat cepat ke tempat tidurnya. Gurat khawatir terpancar di sana, sementara bibir keriput itu terus menerus berbicara dan bertanya mengenai kondisinya.

Bagaimana bibi bisa berada di sini? Siapa yang memberitahunya?

Kemudian, rasa sakit dari bagian lain tubuhnya mendera, perut bawahnya merasakan perih yang menyengat. Jean meringkuk dan menjerit kesakitan. Refleks, bibinya menekan tombol darurat di samping ranjang pasien untuk meminta bantuan medis. Rasa sakitnya membangunkan ingatan saat dia mengejar Devlin dan terjatuh. Dia telah keguguran.

Bayiku ….

Suster langsung berusaha menenangkannya, tapi tidak bisa. Jean tidak tahu, mana yang lebih sakit, fisik atau jiwanya, karena telah kehilangan orang-orang yang dikasihinya dengan tragis. Tangisnya pecah, tak terbendung.

Suntikan penenang yang menembus kulit, membuat dirinya perlahan melayang meninggalkan rasa sakit. Sekarang, dia ingat ... sebelum semua berubah menjadi kegelapan total, Jean mendengar suara akrab seorang berbisik di telinganya—lelaki itu berdoa dan meminta maaf.