webnovel

Pelet Sang Putri (2)

Di padepokan Sirna Raga, Jaka yang sedang berada di kamarnya menghentikan dzikirnya, dia memang terbiasa berdzikir setelah shalat Tahajud, tadi saat berdzikir, sekilas ia seperti mendengar suara Mega Sari memanggil-manggil namanya "Apa itu tadi? Aku seperti mendengar suara Mega Sari memanggilku?" tanyanya pada diri sendiri, ia lalu celingukan melihat sekeliling kamarnya.

Tadi berbarengan dengan suara Mega Sari memanggilnya ia seperti mencium bau kemenyan dan kembang tujuh rupa yang dibakar, bulu kuduknya pun berdiri, ia lalu teringat pada nasihat gurunya, setiap kali ia merasa ketakutan atau merasa ada yang ganjil, ia disarankan untuk membaca surat-surat yang ada didalam Al-Quran serta berdzikir, maka ia pun segera membaca Al-Quran dan berdzikir untuk menenangkan hatinya sampai datangnya waktu untuk Shalat Subuh.

***

Pagi harinya terjadilah kehebohan di padepokan itu, Dharmadipa yang masih lemas dan belum sembuh benar telah menghilang, di banjar balairiung itu hanya ada sepucuk surat, Jaka yang pertama kali menemukan surat tersebut pun memberikan surat tersebut pada gurunya dan Nyai Mantili, isi surat tersebut adalah :

"Maaf saya telah membuat ayah dan Ibu kecewa kecewa, saya tahu apa yang saya lakukan ini pasti sangat mengecewakan hati ayah dan ibu, saya mengaku salah, tapi saya tidak berdaya melawan satu kekuatan yang menarik dan menyeret saya untuk meninggalkan padepokan ini, saya menyerah, karena saya sudah terlanjur kepalang basah…

Saya harus dapat bersanding menjadi teman hidup Mega Sari, dan suatu saat nanti saya akan membawanya menghadap ayah dan ibu, saya harap ayah dan ibu sudi menerimanya sebagai menantu, perkawinan kami juga pasti akan menakan pamor padepokan ini sebab Mega Sari adalah putri seorang Raja, dan siapapun yang menikahinya kelak akan menjadi Raja dari Negeri Mega Mendung tanah air kita ini.

Ayah dan Ibu yang saya cintai, guru yang saya hormati, terimakasih atas segala kebaikan ayah dan ibu selama ini, merawat saya, menuntun saya melihat dunia, saya tidak tahu bagaimana saya bisa membalas kebaikan budi ayah dan ibu, meskipun hubungan kita bukan hubungan darah namun kasih sayang ayah dan ibu senantiasa selalu berlimpah pada saya, dan saya tahu tidak akan pernah bisa membalasnya, sebenarnya saya tidak sampai hati meninggalkan ayah dan ibu serta padepokan Sirna Raga ini, tempat ini sudah sangat melekat di hati saya.

Setelah saya berhasil mempersunting Mega Sari, saya pasti akan segera kembali, dan saya akan berusaha menuruti semua nasihat maupun perintah ayah dan ibu, akhir kata, sekali lagi saya mohon maaf, mudah-mudahan keselamatan selalu diberikan Yang Maha Kuasa untuk kita semua".

Selesai membacakan surat itu Kyai Pamenang terunduk lemas, kesedihan nampak terpancar jelas di wajahnya, Nyai Mantili pun menangis "Kakang… Anak kita…"

Kyai Pamenang membelai bahu istrinya. "Dia telah memilih jalan hidupnya sendiri…"

Nyai Mantili mendekap bahu suaminya. "Kira-kira ke mana perginya dia Kakang?"

Kyai Pamenang menatap jauh ke atas langit. "Gadis itu benar-benar telah menjerat hatinya, kini dia pergi hanya untuk mengejar nafsunya saja, mudah-mudahan perjalanannya diajuhkan dari segala macam bencana".

Kyai Pamenang lalu menoleh pada Jaka yang sedari tadi menundukan kepalanya, ditatapnya sekujur tubuh muridnya itu, entah mengapa saat itu ia merasa selain harus ikhlas melepas Dharmadipa, ia juga harus ikhlas melepas Jaka, muridnya yang paling ia kasihi itu, kesedihannya menyeruak dari lubuk hatinya menyelimuti seluruh pikiran dan perasaan orang tua ini, air matanya menetes saat ia menatap Jaka, Jaka heran melihat gurunya menitikan air matanya ketika menatapnya, tapi ia tidak berani berkata apa-apa, hingga gurunya membuka suaranya "Jaka aku minta kau mencari Dharmadipa untuk memberikan surat yang akan aku tulis untuknya, tunggulah disini sebentar, aku akan menulisnya dulu", Jaka pun mengangguk.

Sekitar sepeminum teh kemudian, Kyai Pamenang keluar dengan membawa dua pucuk surat, yang satu yang baru saja ia tulis, yang satu lagi terlihat sudah menguning dimakan usia.

"Jaka, carilah Dharmadipa dan berikan surat ini untuknya, setelah kau memberikan surat ini padanya katakan ia tidak perlu pulang, semuanya terserah dia, biarkan dia memilih dengan berbagai sebab-akibatnya… Dan surat ini adalah surat yang diberikan orang tuamu pada kami, simpanlah baik-baik!"

Jaka mengangguk sambil memebri hormat pada Gurunya "Baik Guru murid akan segera berangkat."

Kyai Pamenang menepuk bahu Jaka, "Dan kemasi juga barang-barangmu Jaka, setelah memberikan surat ini pada Dharmadipa kau tidak perlu kembali lagi ke padepokan ini".

Bagaikan ada halilintar meledak diatas kepalanya, Jaka terkejut setengah mati mendengar ucapan gurunya itu "Maksud guru? Guru hendak mengusir murid dari sini?"

Kyai Pamenang menoleh pada Nyai Mantili yang menangis menatap mereka, ia lalu menatap Jaka sambil menangis tapi dengan tatapan penuh rasa bangga "Bukan begitu Jaka, aku tidak mengusirmu, tetapi saudah saatnya engkau melihat dan mengenal dunia luar, sudah saatnya kau mencari arti serta tujuan hidupmu… Bekal yang kau dapat disini sudah cukup Jaka, gunakanlah untuk mencari ilmu yang lain dan mengarungi sungai kehidupanmu, kehidupan ini tidak sebatas padepokan ini Jaka".

Amat sedihlah hati Jaka, sampai sepeminum teh yang lalu ia tidak tahu kalau ia akan pergi meninggalkan padepokan ini, air matanya pun mengucur mengingat semua peristiwa yang ia lalui di padepokan ini, terutama saat-saat bersama Kyai Pamenang Gurunya yang sangat ia hormati itu, "Jaka jangan salah kira, kau adalah murid yang paling aku kasihi di padepokan ini, suatu saat kalau kau rindu kau boleh pulang ke padepokan ini".

"Akan tetapi murid masih bingung menentukan tujuan guru, murid tidak tahu ke mana kaki ini akan dibawa untuk melangkah, murid juga masih membutuhkan bimbingan guru" jawab Jaka.

"Jaka saat kakimu meninggalkan padepokan ini, berdoalah pada Gusti Allah, mintalah agar ia menunjukan jalan untuk kau tempuh, niscaya IA akan menunjukan jalanNYA yang terbaik untuk kau tempuh, dan bekalmu juga sudah cukup, Insyaallah dengan bekal itu kau akan sanggup mengarungi jalan hidup ini, akan tetapi jangan lupa untuk selalu mencari ilmu yang lain selama ilmu itu tidak bertentangan dengan agamamu. Satu pesanku, meskipun kau sudah khatam berkali-kali tapi jangan malas untuk selalu memabaca Al Quran, resapi dan renungkan makna-makna yang ada dalam didalamnya, Insyaallah kau akan terhindar dari jalan yang sesat selama kau berpegang teguh pada Al Quran" jelas Kyai Pamenang.

Jaka lalu sungkem pada Kyai Pamenang dan Nyai Mantili, Nyai Mantili lalu mengingatkan sesuatu pada Kyai Pamenang, Sang Kyai pun berucap lagi "Jaka satu hal lagi, bukalah dulu kain batik ikat kepalamu itu!"

Jaka pun membuka kain ikat kepalanya "Jaka kain ini adalah salah satu kain yang menyelimutimu sewaktu kau bayi yang diantarkan oleh almarhum ayahmu, lihatlah, ada tulisan sebuah nama disini".

Jaka menangguk, di bagian dalam kain itu memang tertulis sebuah nama yang dijahit, di sana tertulis "Jaya Laksana" yang artinya tidak diketahui oleh Jaka, "Kami juga tidak ada yang tahu siapa itu Jaya Laksana sebab menurut pengakuannya ayahmu bernama Jayadi sedangkan dalam surat itu namamu adalah Jaka Lelana, Jaka carilah siapa itu Jaya Laksana, mungkin itu ada hubungannya dengan identitasmu yang sebenarnya sebab kain itu ada bersamamu saat kamu bayi".

Jaka pun menangguk, setelah memberi salam untuk terakhir kalinya Jaka pun pergi meninggalkan padepokan menggunakan kudanya, Kyai Pamenang dan Nyai Mantili terus melihat Jaka sampai Jaka menghilang di kejauhan.