Beberapa hari ini aku ikut mamah dan ayah liburan ke banyak tempat, karena ayah juga dapat cuti akhir tahun, jadi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin sebelum ada perintah tugas dari atasan ayah. Ayahku, bertugas di bawah KOREM, dan apapun perintah dari Danrem harus ayah laksanakan.
Untuk tahun baru nanti malam, rencana ayah dan mamah akan pergi ke rumah Bude di Solo, merayakan pergantian tahun disana bersama keluarga besar ayah. Kata Bude, mumpung ayah liburnya agak longgar. Tapi aku tidak ikut karena sudah janjian dengan Bimo dan beruntungnya ayah membolehkan asal tidak pulang pagi. Hehe
Jadilah hanya Irin saja yang ikut, dan aku di rumah dengan Bi Marni. Sore ini, ayah berangkat ke Solo dan akan menginap tiga hari disana. Aku membantu mamah mengepak barang bersama Irin juga.
"Raya jangan macam-macam ya, tau kan ayah kalau marah gimana?" Mamah mewanti-wanti sambil menyusun pakaian ke dalam tas besar.
"Iya mah, Raya langsung pulang kok abis liat kembang api, Bimo juga gak mungkin macem-macemlah," ujarku yakin, bahwa Bimo itu bisa di percaya.
"Yaah, sejauh ini mamah percaya sama dia, tapi kalau sekali aja kalian macem-macem ...." kali ini mamah membuat gestur dengan tangan yang di gesekkan di depan leher, seolah memberitahuku bahwa mamah tak akan segan menggorok kami jika melakukan hal yang iya-iya.
"Astaghfirullaaah ... enggaklah, Mamah ih!"
"Bagus, tetep jadi anak baik Mamah ya Ray."
"Iyaaa Mamah ...."
"Padahal Irin pengen disini aja tahun barunya sama mbak Raya ...." Irin merengut sambil tetap menata barang miliknya.
"Mbak Raya kan pergi sama Mas Bimo Rin, kamu mau bengong aja di rumah? Mendingan ikut mamah," sahut mamah pada rajukan adikku itu.
"Kan bisa ikut pergi sama mbak Rayaa ...."
"Mau naik di mana kamu? Kan gak bisa bonceng tiga," sahut mamah lagi, aku hanya diam mendengarkan keluhan Irin.
"Kan mas Bimo bisa bawa mobil!" sanggah Irin sedikit keras.
"Kapan sampainya kalau bawa mobil Rin, udah pasti jalan macet karena semua orang keluar, pasti mas Bimo pilih pake motor."
Memang benar ucapan mamah, jika pakai mobil yang ada kami pasti tak bisa kemana-mana karena terjebak macet. Irin diam setelah mamah berhasil mematahkan kekesalannya. Kini tinggal wajah cemberut yang tampak padanya. Aku terkekeh kecil.
Tiga orang yang paling ku sayangi itu kini sudah berada di dalam mobil, duduk manis karena akan segera berangkat ke Solo, aku mengantar kepergian mereka dengan lambaian tangan dan tak lupa pesanan oleh-oleh saat nanti pulang. Ah, sepertinya akan seru pergi ke Solo bersama mereka, hal ini mendadak terlintas dalam otakku tatkala menatap kepergian mobil ayah yang nampak semakin menjauh.
Sudahlah! toh nanti aku juga akan pergi dengan Bimo, dan pasti juga akan seru. Aku masuk ke dalam rumah, rasanya aneh karena rumah jadi terasa sepi. Bi Marni sedang sibuk di dapur entah melakukan apa, kuputuskan naik saja ke kamarku.
"Bi, Raya ke kamar ya?"
"Iya mbak Raya, bibi kunci pintu-pintu dulu ya mbak, kalau butuh, teriak aja panggil," balas bi Marni sembari berjalan mendekati tempatku berdiri.
"Iya Bi, nanti Raya panggil kalau butuh apa-apa." senyum ku sunggingkan pada bi Marni, lalu aku melangkah menaiki tangga menuju kamar.
Tadi ayah berpesan untuk segera mengunci semua pintu dan jendela setelah ayah berangkat, agar tidak lupa karena kami hanya berdua di rumah, takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
Aku merebahkan diri di kasur setelah meraih sebuah novel dari rak buku. Ku pilih menghabiskan waktu menjelang maghrib dengan baca novel, berkali ku balik tiap halaman setelah membacanya, masih saja seru untuk dibaca meskipun sudah tiga kali kuulang.
Menjelang maghrib, aku menyambar handuk di belakang pintu dan segera masuk kamar mandi, Bimo bilang akan jemput aku jam 9 nanti setelah selesai membantu mama nya di hotel.
Sebenarnya, setelah main ke pantai ramai-ramai waktu itu, aku dan Bimo belum bertemu lagi, karena esoknya aku pergi liburan dengan keluargaku dan Bimo membantu pekerjaan tante Ratih di hotel. Kata Bimo, mamanya sangat kewalahan mengurus hotel karena sedang musim liburan akhir tahun, jadi hotel mendadak diserbu wisatawan, apalagi hotel tante Ratih adalah hotel bergaya etnik tapi terhitung murah dan juga nyaman, sudah pastilah jadi incaran.
Kami harus puas hanya berkirim kabar lewat telepon atau sms karena tak bisa bertemu. Dan soal kejadian malam itu, yang bikin Bimo tak bisa tidur, kami tidak membahasnya lebih lanjut karena mungkin Bimo tahu aku akan malu. Dia hanya bilang kalau dia senang aku melakukan itu. Hehe
Jam sudah menunjukkan pukul 21.10, dan Bimo belum juga menampakkan batang hidungnya, aku sudah bolak-balik seperti setrikaan menunggu dia datang. Mamah tadi sudah menelponku dan mengabari bahwa mereka telah sampai dengan selamat, membuat aku merasa lega mengetahuinya, yang membuat aku gelisah kini adalah Bimo yang tumben sekali terlambat.
Brrmm ...
Cepat-cepat aku lari ke arah jendela depan rumahku untuk mengintip apakah itu suara motor Bimo atau bukan. Ternyata memang dia, tampak olehku dia turun dari motor lalu berlari kecil menuju kesini. Segera ku buka pintu depan yang tadi sudah di kunci oleh bi Marni.
"Kok lama Bim?" tanyaku ketika dia sudah berdiri di hadapanku, dan sedang nyengir.
"Hehe, maaf ya ... udah mulai macet soalnya jadi lama," jawabnya sembari menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Ooh ... ya udah langsung aja yuk, nanti tambah rame, makin macet."
"Siap Nyonya ...." tangannya menggaet telapakku sambil mulai melangkah.
"Bi, Raya pergi ya, kunci pintunya bi ...," pamitku pada bi Marni.
"Iya mbak Raya, mas Bimo, hati-hati ya ... nanti kalau pulang telpon bibi aja ya mbak, biar dibukain pintu."
"Oke bi! Siap! daah bibi ... Assalamualaikum." ku lambaikan tangan pada bi Marni.
"Waalaikumsalam mbak ...." bi Marni tersenyum sambil membalas lambaianku.
"Bi marni, kalau ada apa-apa di rumah telpon kita aja ya," Bimo kali ini yang memberi pesan sebab bi Marni sendirian dirumah saat ini.
"Iya mas Bimo ...." angguk bi Marni kemudian.
Kami melaju keluar dari kompleks rumahku, karena jalanan sudah sangat padat kendaraan dan ini juga sudah malam, kami putuskan pergi ke tempat yang tidak terlalu jauh, yang penting bisa menghabiskan malam pergantian tahun bersama.
Sampailah kami di Alun-alun kidul, ramai sekali pengunjungnya, banyak pula pedagang makanan atau pernak-pernik di sekitaran Alun-alun, kami bergabung dengan para pengunjung disini setelah susah payah parkir motor di tempat khusus yang jaraknya jauh, harus jalan kaki dari sana.
Untuk sampai disini dari rumahku saja, butuh waktu 1 jam karena jalanan macet, dan kendaraan yang mengular tak bergerak saking padatnya. Salah kami juga sih, tidak pergi dari sore tadi. Eh, bukan! Salah Bimo karena telat.
Bimo menggenggam tanganku sembari jalan, melihat-lihat sekitaran, ada odong-odong yang berlampu warna-warni mengantar pengunjung keliling, ada banyak yang foto-foto di dekat beringin kembar, juga ada banyak pedagang dadakan yang berjualan. Kami lalu menilik ke sebuah lapak penjual pernak-pernik, Bimo membeli 2 buah gelang berwarna coklat dengan bentuk sama, dia pakaikan satu untukku, katanya biar seragam.
Berhubung kami belum makan malam, akhirnya kami putuskan untuk makan di sebuah warung angkringan di sekitar sana, kami banyak ngobrol hal absurd selama makan. Hanya beberapa hari kami tidak bertemu, tapi terasa seperti sudah lama sekali, rasanya sangat rindu bisa ngobrol lama sambil menatap wajahnya seperti ini. Ku tebak, Bimo juga merasakan hal yang sama.
Selesai makan, kami jalan-jalan lagi di tengah padatnya orang-orang yang mulai berkumpul, karena hari sudah menjelang tengah malam dan pesta kembang api akan berlangsung. Aku melihat penjual gulali manis di ujung sana dan menarik lengan Bimo untuk beli gulali itu, yang ukurannya paling besar. Sudah lama tidak pernah makan itu, dulu saat kecil, aku sangat suka. Bimo seperti biasa hanya terkekeh meliat binar mataku saat menatap si gulali manis di genggamanku.
Kami lanjut berjalan lagi sambil makan gulali merah jambu, sesekali kusuapkan pada Bimo, hanya saja dia kurang suka, karena dia memang bukan penyuka makanan manis. Banyak hal kami bicarakan saat itu, juga tertawa atas hal lucu yang tampak oleh mata kami di sekitar. Kami tidak berpegangan tangan saat ini karena aku sedang pegang gulali.
"Bi ... mo?"
Suara seorang perempuan terdengar sedikit ragu menyebut nama Bimo dari arah belakang kami, refleks kami menoleh ke asal suara itu. Disana sedang berdiri seorang perempuan yang aku tak kenal, belum pernah ku lihat wajahnya sebelum ini, tapi dia kenal dengan Bimo?
"Bimo kan? Apa kabaar?"
Aku menatap mereka bergantian, siapa dia?
Enaknyaaa tahun baruan bareng pacar (-:-_-:-)
komen di bawah ❤❤
lempar batu biru nya juga, anggap aja lg lempar jumrah.