webnovel

Garis Kuning

Setelah melalui serangkaian prosedur yang melelahkan, juga perdebatan panjang terkait dugaan adanya mayat korban yang dikubur di bawah lantai laboratorium. Pihak universitas dan petugas terkait akhirnya sepakat untuk melakukan penggalian. Itu adalah perdebatan panjang yang melelahkan. Tidak mungkin Rosaline dan timnya mengatakan kebenaran, bahwa mereka mendapatkan informasi dari roh yang membagi ingatan dengan Roro, kan?

Jika bukan karena Rosaline memiliki orang kepercayaan, yang merupakan detektif senior di lembaga kepolisian, mustahil dia bisa mendapatkan kesepakatan dengan pihak universitas. Karena bantuan temannya itulah, pihak universitas akhirnya sepakat untuk memulai penggalian di ruang laboratorium.

Berbekal hasil penyelidikan bermodalkan sketsa wajah korban yang digambar oleh Tara, kemudian diolah menjadi versi realis oleh dokter Cokro. Setidaknya ada tujuh mahasiswi yang memiliki kecocokan wajah di atas tujuh puluh lima persen. Enam di antaranya diketahui masih hidup, sementara satu sisanya dinyatakan menghilang sejak sepuluh tahun lalu.

Rosaline dan rekannya--termasuk detektif senior dari kepolisian-- sudah tidak terkejut dengan hasil yang didapatkan. Berbeda dengan pihak lain yang tidak mengetahui spesialisasi Rosaline dan timnya, mereka langsung heboh dengan temuan mayat di bawah lantai laboratorium. Tentu saja, kondisinya hanya menyisakan tulang dan untuk identifikasi diperlukan tes DNA.

*****

Setibanya di klinik dokter Cokro, Rosaline langsung menuju tempat Roro dan menjatuhkan dirinya di sebuah kursi. Segala urusan terkait pemasangan garis kuning di laboratorium benar-benar membuatnya lelah.

Klinik dokter Cokro sudah seperti rumah kedua bagi Rosaline dan timnya, saat menyelidiki kasus. Terutama jika ada peristiwa khusus, seperti komunikasi dengan keberadaan astral yang membutuhkan peran Roro sebagai medium perantara.

Kondisi Roro jauh dari kata baik, setiap kali dia berperan sebagai medium. Ingatan orang lain yang menyakitkan dan dipaksakan untuk dia terima jelas memberikan tekanan berat. Hal itu dapat dilihat dari keadaan Roro yang terlihat lelah dan tertekan.

Tidak jarang Roro mengalami mimpi buruk atau kondisi tertekan berkepanjangan, setelah melakukan perannya itu. Sehingga dia butuh tempat yang memiliki fasilitas kesehatan memadai, perawatan dokter, juga orang yang memonitor keadaannya setiap saat.

"Bagaimana perkembangannya?" tanya dokter Cokro kepada Rosaline setelah memeriksa keadaan Roro.

"Semuanya berjalan sesuai rencana, meski ada beberapa kendala. Sisanya kuserahkan kepada Sam, hal-hal membosankan seperti itu lebih cocok untuk petugas kepolisian seperti dia dan orang-orang berwenang lainnya."

"Syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi melakukan pekerjaan menyebalkan, seperti meretas data di sebuah universitas untuk mencocokkan wajah korban demi mengantongi identitasnya," keluh dokter Cokro.

"Seandainya aku bisa melakukan hal itu, Cok. Mau bagaimana lagi, cuma kamu yang bisa diandalkan untuk urusan meretas data."

Roro tertawa kecil, setelah mendengar Rosaline memenggal nama Cokro menjadi Cok. Kebiasaan Rosaline yang semau sendiri adakalanya terkesan lucu, meski sedikit kurang ajar.

"Terserahlah, selagi aku bisa membantu menyelesaikan penyelidikan. Meski kadang aku ngerasa profesi dokter yang kusandang hanya sebuah kedok untuk menyembunyikan kemampuan, sih." Cokro tertawa kecil sambil membetulkan posisi kacamatanya, lalu kembali ke ruangannya.

"Bagaimana kondisimu?" tanya Rosaline.

"Sudah lebih baik, meski beberapa kali ingatan yang mereka bagikan masih hadir lewat mimpi-mimpi yang mengganggu.

"Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajah pelaku dari potongan ingatan tersebut. Ada tiga orang, tapi hanya siluetnya saja yang terlihat.

"Orang pertama memaksa korban untuk mengganti pakaiannya dengan busana tari tradisional. Setelah itu melecehkannya sambil memukuli dan perlahan menanggalkan pakaian korban. Apa yang terjadi selanjutnya, tanpa kuceritakan semuanya sudah jelas, kan?

"Aku sama sekali tidak bisa melihat wajah pelaku karena ruangannya agak gelap. Selesai memuaskan hasrat binatangnya itu, dia menyeret tubuh korban yang mulutnya sudah diikat kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampah berukuran besar di sudut ruangan.

"Kemudian aku merasa tempat sampah tersebut berguncang, derit rodanya terdengar jelas di antara lamat-lamat suara tawa tertahan dari dua orang. Gelap dan sempit, kesedihan, rasa putus asa juga kemarahan korban dengan jelas bisa kurasakan.

"Hal pertama yang kulihat setelah tubuh korban keluar dari tempat sampah adalah lubang galian. Lagi-lagi tempat itu agak gelap, dua orang yang memegang tempat sampah tidak bisa kulihat dengan jelas. Salah satu dari mereka pergi, lalu beberapa saat kemudian kembali sambil membawa seember air dan mengguyur tubuh korban.

"Sebelum korban dilempar ke dalam lubang dan dikubur hidup-hidup menggunakan adukan semen, mereka berdua melecehkan korban dengan sangat parah."

Selama bercerita Roro terus mengepalkan tangannya, sesekali dia menggertakkan gigi dan wajahnya tampak merah. Ada kemarahan yang tergambar jelas dari sorot matanya yang memerah dan terus meneteskan air mata.