webnovel

Berkunjung

"Yang kita tuju, belum tentu itu tersangkanya,"

***

Malam harinya kami semua berkumpul di depan ruang televisi. Viandra yang sibuk dengan ponselnya, Ifandi yang sedang berkutat dengan buku, dan Ibu yang sedang serius menonton sinetron ikan terbang. Sedangkan aku dan Mas Indra pun duduk diam menatap mereka semua.

"Oh, iya, Mas. Memangnya bos sama pemilik perusahaan itu sama, ya?" kataku membuka suara.

Mas Indra terdiam, lalu berkata, "Kenapa bertanya seperti itu?"

"Ya, tadi kata Bu Cece, tetangga baru depan rumah itu pemilik perusahaan Unilapar, tempat kamu bekerja loh, Mas!" kataku mengingat gossip tadi siang.

"Beneran, Sil? Wah, berarti kita punya tetangga kaya raya, dong!" timpal Ibu. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Ibu malah mikir ke sana.

"Pemiliknya memang perempuan ya, Mas?" tanyaku. Padahal pertanyaan sebelumnya belum terjawab. Apa Mas Indra tidak tahu mengenai ini, ya? Mungkin aja sih, mana ada pemilik perusahaan yang mengumumkan kepindahan rumahnya detik itu juga. Biasanya menunggu tiga hari atau seminggu kemudian di rumah barunya, baru diumumkan.

"Oh, iya, kata kamu Bu Lidia ke rumah ya?" Kini Mas Indra balik bertanya. Aku pikir ia ingin menjawab pertanyaan tadi.

Aku mengangguk, "Iya, tadi ngasih bonus. Katanya sih bonus untuk keluarga atas apresiasi karyawan. Memangnya ada bonus kaya gitu, Mas?"

"Ada, kok. Buktinya Bu Lidia ngasih ke kamu, kan?" Aku lagi dan lagi mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Oh, iya, Ndra. Ibu mau beli baju baru. Beliin ya," pinta Ibu. Sepertinya Ibu jadi membeli baju yang diperdebatkan tadi siang.

"Ya, udah, pakai uangnya buat belanja ke mall. Ajak Ibu sama Viandra buat beli baju baru juga. Baju kemarin sudah jadul kayanya,"ujar Mas Indra. Kebiasaannya melupakan Ifandi tidak pernah hilang. Aku kasihan sekali dengan anak laki-laki itu. Dan apa katanya tadi? Beli baju baru? Baru dua minggu lalu beli baju, sudah dibilang jadul? Katarak matanya memang.

"Ifandi gak disebut, Mas?" tanyaku.

"Ya, sekalian itu."

"Ya, udah biarin aja, Bu. Aku gak disebut juga tidak masalah. Aku mau tidur dulu, Bu. Lama-lama di sini seperti tidak dianggap," Ifandi berlalu begitu saja dan masuk ke kamarnya. Aku hanya bisa menghela napas berat. Kenapa hubungan Ayah dan anak ini tidak kunjung baik.

Aku heran dengan Mas Indra yang tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya kepada Ifandi. Padahal Ifandi itu anak laki-laki. Biasanya para suami di luaran sana sangat senang memiliki anak laki-laki. Apa mungkin ini karena temperament Ifandi? Ya, Ifandi memang temperamental. Pernah ia minta sepeda baru karena sepeda lamanya itu rusak. Bahkan rodanya pun sudah lepas. Tapi apa tanggapan Mas Indra? Malah memarahi habis-habisan anak itu, dibilang tidak bisa merawatnya. Padahal sepeda itu sudah lama juga dibelikannya. Ifandi pun tak terima dimarahi saat itu. Ia ngamuk dan bilang bahwa Ayahnya itu pilih kasih. Hingga anak itu memilih tidak banyak bicara dengan Ayahnya.

"Mas! Kamu kenapa sih sama Ifandi? Kok seperti itu sikap kamu?" kesalku dengannya.

"Sikap aku biasa aja, kok. Kamu aja yang melebih-lebihkan," kelitnya. Padahal aku jelas melihat ia meng-anak tirikan Ifandi. Anak kandung, kok jadi anak tiri.

"Ya, sudah, aku mau tidur dulu. Besok harus kerja," Mas Indra ikut masuk ke kamar. Selalu saja lari kalau membicarakan hal ini.

Aku kembali menonton sinetron ikan terbang bersama Ibu. Ceritanya kali ini tentang pelakor yang menguasai harta suami yang direbutnya. Sedangkan si istri sah hanya bisa menangis. Pasti sedih sekali itu istri sahnya. Aku pun kalau mengalaminya, ya sedih sekali. Tidak tahu harus berbuat apa-apa. Karena pada saat itu otak pun buntu.

"Ibu kesal sekali dengan istri sahnya itu! Kenapa kerjaannya hanya menangis-nangis aja?" geram Ibu yang matanya masih serius menatap televisi.

"Ya, lagunya kan seperti itu juga Nenek. Gimana, ya? Oh, iya, gini, ku menangis membayangkan …." Viandra langsung menyanyikan lirik lagu yang kami tonton. Benar juga sih, lagunya saja menangis apalagi sinetronnya.

"Harusnya si istri sah itu pintar dikit. Rumah dan segala asetnya itu diganti dengan nama dia. Biar suaminya yang ed*n itu tidak bisa seenaknya. Nanti si suami langsung nangis darah," kata Ibu seolah dirinya adalah sutradara sinetron tersebut.

"Nenek mirip sutradara aja. Besok nenek aja yang buat sinetronnya, ya," timpal Viandra.

Aku hanya tertawa kecil mendengar pembicaraan mereka. Memang benar sih, apa yang Ibu katakana. Seharusnya istri sahnya itu pintar sedikit. Namun, apa daya, pasti si istri sahnya pun tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini.

Sepertinya aku bisa belajar dari sinetron ini. Kita tidak boleh terlalu percaya dengan pasangan kita. Kita harus mencari tahu hal-hal yang mencurigakan. Jika sudah tercium bau-bau perselingkuhan, kita harus mengamankan asset. Kalau tidak punya anak, setidaknya untuk diri sendiri. Jangan sampai pelakor itu yang menikmatinya.

***

Pagi harinya seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk semua orang. Terlihat Mas Indra sejak tadi sibuk menelepon seseorang. Bahkan selalu celingak-celinguk saat berbicara. Sepertinya pembicaraannya di telepon sangat rahasia sekali. Aku jadi curiga dengannya. Biasanya ia tidak seperti ini.

"Iya, nanti aku ke sana. Tunggu dulu. Istri aku lagi menyiapkan sarapan," kata Mas Indra pada seseorang di seberang sana.

" .... "

"Oke, tunggu aku aja."

"Kamu telepon sama siapa, Mas?" Mas Indra spontan mematikan sambungan teleponnya secara mendadak karena terkejut dengan suaraku.

"Eh? Kamu, kok, tau-tau udah di sini?" Terlihat wajah suamiku itu langsung berkeringat dingin.

"Kamu udah kaya kepergok hantu, sih, Mas. Aku udah manggil-manggil kamu dari tadi. Tapi gak ada jawaban sama sekali. Ya, udah, aku samperin aja ke sini," jelasku panjang lebar.

"Maaf, ya, sayang. Aku tidak dengar tadi,"

"Iya gak masalah. Oh, iya, tadi kamu teleponan sama siapa? Kayanya serius banget. Sampai bisik-bisik aku lihat tadi,"

"Tadi temen sekantor aku nelepon. Katanya ada masalah sama kerjaannya di kantor," ujar Mas Indra. Aku hanya ber'oh' ria mendengar jawabannya. Namun hati ini masih mengganjal, kurang puas dengan jawabannya.

"Ya, udah, yuk kita sarapan. Semua orang udah nunggu kamu di meja makan,"

Aku pun menggandeng tangan Mas Indra menuju ruang makan. Terlihat Ibu sedang menyendokkan nasi untuk Ifandi dan Viandra. Aku menarik kursi, mempersilakan sang suami duduk terlebih dahulu. Lalu beralih mengambil piring serta menyendokkan nasi untuknya.

"Terima kasih, Sayang."

"Oh, iya, nanti aku lembur. Soalnya harus menyerahkan laporan," lanjut Mas Indra. Aku hanya mengangguk paham saja.

"Nanti kalau pulang, jangan lupa bawakan ayam geprek, Yah," pinta Viandra..

"Ya udah, nanti Ayah pesan di gafood aja. Cuman ayam geprek? Atau ada yang lain?" tanya Mas Indra menawarkan menu lainnya.

Ibu berbinar mendengarkan perkataan Mas Indra, "Ya udah, Ibu minta dibeliin pizza yang di tempat biasanya."

"Aku mau sate ayam, Mas. Kalau Ifandi mau apa?" tanyaku kepada si bungsu.

"Samain aja kaya punya Ibu," kata Ifandi singkat.

"Ya udah, nanti tunggu aja pesanan kalian,"

***

Selepas kepergian Mas Indra dan kedua anakku, langsung saja aku menuju ke rumah tetangga baru itu. Aku membawa beberapa buah dan peralatan mencuci seperti sabun cuci dan sikat. Rumah yang biasanya ditumbuhi rumput-rumput liar itu sudah di pangkas habis. Diganti dengan pot-pot bunga warna-warni yang berjejer indah. Sudah hilang kesan seram di rumah itu. Terlihat wanita yang sepertinya seumuran denganku sedang menyapu teras. Sepertinya ia pemilik rumah ini.

"Assalamu'alaikum, Bu. Permisi," Aku mengetuk pagar yang membatasi rumah itu.

"Wa'alaikumussalam. Bentar, Bu, saya buka dulu pagarnya," Wanita itu langsung membuka pagar rumah dan mendorongnya. Sehingga ia pun sudah berada di hadapanku. Ternyata bukan Bu Lidia.

"Eh, begini Bu, saya tetangga depan rumah mau kenalan," kataku memulai percakapan.

Wanita itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan, "Saya Alfi. Boleh panggil Bu Alfi atau Alfi saja."

Aku pun menerima uluran tangannya, "Saya Silvia, Bu. Panggi saja Bu Silvia."

"Mari masuk, Bu. Tidak sopan sekali saya ini membiarkan tamu di depan pagar," gurau Bu Alfi yang langsung mempersilakan aku masuk ke dalam rumahnya.

Ternyata rumahnya lebih besar dari pada rumahku. Mungkin berbeda type atau ditambah lagi dengan membeli tanah. Di samping rumah terdapat kebun yang sangat terawat. Sepertinya baru ditanam. Oh iya, secara Bu Alfi baru pindah kemarin.

Bu Alfi mengajakku duduk di teras samping rumahnya. Di mana teras itu menghadap langsung ke kebunnya. Menurutku ini seperti refreshing terbaik untuk menghilangkan stress. Pintar sekali ia membuat view terbaik di setiap rumahnya.

"Silakan duduk dulu, Bu. Saya mau ke belakang ambil minum,"

Aku mencegahnya, "Eh, tidak perlu repot-repot, Bu. Saya cuma sebentar aja, kok." Aku pun menyerahkan buah-buahan dan peralatan mencuci yang dibawa dari rumah tadi.

"Ini ada sedikit oleh-oleh dari rumah, Bu. Maaf, ya, hanya bisa bawa ini," kataku agak segan.

Bu Alfi menerimanya, "Terima kasih ya, Bu. Kalau begitu saya letak ini dulu ke belakang."

Ia pun berlalu ke belakang untuk meletakkan barang yang aku berikan tadi. Aku pun duduk menunggunya sambil menatap kebun yang belum tumbuh tanamannya. Ternyata Bu Alfi juga suka bercocok tanam, sama sepertiku. Di dinding pagarnya juga dipenuhi pot-pot bunga berbagai macam. Ada bunga mawar pink, putih, dan ungu. Bahkan ada bunga aster, bunga miana, sampai kaktus pun ditanam. Kalau aku sih, kurang suka dengan bunga kaktus.

Bu Alfi pun datang dengan membawa nampan yang berisi dua gelas dan piring makanan. Sepertinya itu jus jeruk yang dibawanya. Ia meletakkan nampan itu di atas meja dan meletakkan satu gelas untukku dan satu gelasnya lagi untuknya.

"Silakan diminum, Bu Sil!" tawarnya. Aku mengangguk tersenyum. Ia duduk kembali di kursinya.

"Sudah berapa lama Bu Silvia tinggal di sini?" tanyanya membuka pembicaraan.

"Saya sejak kecil tinggal di sini, Bu."

"Benarkah? Sudah lama sekali, ya? Apa sudah menikah?" tanyanya kembali.

Rasanya aku seperti dicecar oleh wartawan. Padahal aku yang ingin bertanya banyak hal padanya. Kenapa malah jadi terbalik seperti ini?

"Saya sudah menikah dan punya anak, Bu. Anak pertama kelas satu SMP dan anak kedua kelas satu SD," jelasku padanya.

"Waahh pasti ramai sekali rumahnya ya, Bu," Aku hanya mengangguk tersenyum membalas perkataannya.

"Oh iya, Bu Alfi sendirian saja di rumah sebesar ini?" tanyaku penasaran. Karena sejak tadi aku tidak melihat siapapun di rumah ini kecuali dirinya.

"Iya, Bu, saya sendirian di rumah ini. Rencana besok mau nyewa ART, supaya rumah ini tidak terasa sepi," jawabnya.

"Anak Ibu sekolah?" tanyaku lagi ingin tahu.

Bu Alfi terlihat menghirup napas dalam-dalam. Sepertinya pertanyaan aku salah. Haduh! Harusnya aku jaga ucapan, supaya dia tidak terlihat sedih.

"Hmm maaf, Bu, kalau pertanyaan saya salah," ujarku merasa bersalah.

"Tidak, kok. Saya justru tidak tersinggung. Hanya saja saya harus mengingat kembali masa-masa perih dulu," papar Bu Alfi.

"Saya dulu menikah dengan seseorang. Hidup kami bahagia awalnya. Ia bekerja di perusahaan saya dan saya angkat menjadi CEO. Namun, lama-kelamaan sikap belangnya mulai terlihat. Saya mergoki dia selingkuh dengan salah satu karyawan. Saya pun langsung menceraikannya dan bersyukur kami belum di karunia anak," tuturnya.

Apa? Ternyata jalan cerita pernikahannya harus semiris ini. Laki-laki yang tidak tahu di untung, sudah diangkat derajatnya oleh sang istri, tetapi malah tidak setia! Selingkuhnya pun dengan karyawannya sendiri, tidak level banget! Memang ya, pelakor itu cuma perlu jadi gatel, tidak perlu cantik.

"Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengungkit kenangan pahit itu," kataku tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Bu. Semoga jadi pelajaran, agar kita selalu kuat menghadapi hal-hal yang menyakitkan dan tidak berlarut dalam kesedihan," kata Bu Alfi dengan bijak.

Aku mengangguk setuju dengan ucapannya.

"Oh iya, tadi katanya Ibu itu pemilik perusahaan? Perusahaan mana, ya, Bu?" Aku teringat perkataan Bu Cece yang mengatakan bahwa Bu Alfi ini adalah pemilik perusahaan Unilapar. Dan tadi juga Bu Alfi bilang, ia yang mempekerjakan suaminya dan mengangkatnya menjadi CEO.

"Saya pemilik perusahaan Unilapar," jawabnya.

Ternyata yang dibilang Bu Cece memang benar. Bu Alfi adalah pemilik perusahaan Unilapar. Perusahaan terbesar yang memproduksi barang-barang kebutuhan rumah tangga. Sekaligus suamiku bekerja di sana sebagai manajemen operasional.

"Waahh ternyata Ibu pemilik perusahaan itu. Suami saya juga kerja di sana sebagai manajemen operasional,"

"Iyakah? Manajemen Operasional? Ohh, berarti Bu Silvia istrinya Pak Indra?" katanya memastikan.

Aku mengangguk, "Iya, Bu. Saya istrinya Pak Indra. "

"Oalah! Saya baru tahu. Memang saya ingat kalau Pak Indra tinggal di dekat sini. Ternyata di depan rumah saya sendiri. Dunia memang sempit ya, Bu!" canda Bu Alfi.

Aku tergelak mendengarnya. Ternyata Bu Alfi orangnya humoris. Aku pikir orang yang memegang perusahaan cenderus tegas dan tidak suka bercanda, ternyata berbeda dengan Bu Alfi.

"Oh iya, Bu. Saya mau nanya, nih. Tapi maaf ya, Bu, jangan salah paham dulu,"

"Silakan nanya sepuasnya, Bu. Saya siap mendengarkan dan sebisa mungkin menjawabnya,"ucap Bu Alfi. Kata-katanya sungguh menenangkanku. Seakan aku punya teman baru yang bisa diajak cerita. Aku ingin bertanya masalah Bu Lidia yang tempo hari ke rumah memberikan bonus kepadaku. Katanya sebagai wujud dedikasi karyawan yang rajin. Dan dia juga mengaku sebagai bos.

"Begini, Bu. Beberapa hari yang lalu, ada orang yang mengaku bos suami saya," ujarku memulai cerita.

Bu Alfi mengernyit heran, "Bos?"

"Iya, Bu. Dia seorang perempuan mengaku sebagai bos suami. Dan memberikan bonus. Katanya sebagai tanda bahwa suami saya itu rajin dalam melakukan pekerjaan. Tetapi saya heran, saat itu suami sudah pergi ke kantor, dan kenapa memberikannya ke rumah? Bukan langsung ke suami saya saja. Namun, saat saya mendengar bahwa Bu Alfi adalah pemilik perusahaan tempat suami saya bekerja, saya jadi terkejut dan bingung. Apakah pemilik dan bos adalah orang yang sama? Sungguh saya bingung saat ini. Bahkan Ibu saya bilang kalau dia itu mau merusak rumah tangga saya," tuturku sedih. Ya, aku merasakan sedih sekaligus bingung. Akhir-akhir ini sikap Mas Indra agak aneh. Aku takut sekali jika ia berselingkuh.

"Siapa nama orang yang mengaku sebagai bos suami kamu?" tanya Bu Alfi.

"Namanya Bu Lidia,"

"Lidia? Seperti nama pelak*r dalam serial layangan sambung," Bu Alfi pun mengambil ponsel dan mengotak-atiknya.

"Oh, jadi dia mengaku sebagai bos suami kamu," Bu Lidia bergumam sendiri yang masih menatap layar ponselnya.

Siapa sebenarnya orang yang mengaku sebagai bos suamiku?