webnovel

Alasan Tidak Suka

"Karena penampilan bagus pun belum tentu niatnya bagus, begitu juga sebaliknya. Penampilan buruk pun belum tentu niatnya buruk."

***

POV Bu Halimah

Namaku Halimah. Seorang Ibu dengan dua anak perempuan yang umurnya berdekatan. Menikah di usia dini dengan seorang PNS yang satu kampung, namanya Badri. Dulu, profesi PNS adalah profesi yang paling populer dan dibanggakan semua orang. Bahkan satu kampung bilang aku beruntung menikah dengan Bang Badri. Namun dalam hati, aku menolak pernyataan itu. Aku tidak beruntung! Gaji Bang Badri tidak seberapa. Hanya bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga aku tidak bisa membeli baju atau barang-barang yang aku suka. Apalagi saat melihat teman sepermainan dulu yang nekat bekerja ke kota dan ketika pulang ke kampung selalu pamer barang-barang mewah. Membuat hatiku tambah panas melihatnya.

Aku mempunyai dua anak perempuan. Yang pertama bernama Yuni. Ia sudah menikah dan merantau ke bagian barat Jawa. Saat ini baru dikaruniai seorang anak perempuan. Yuni ini tidak pernah menanyakan kabarku semenjak menikah. Ia tidak peduli dengan Ibunya ini. Apa mungkin ia menganggap Ibunya sudah mati? Parah sekali anak itu memang. Dari kecil pun, ia bertingkah seperti anak laki-laki. Tidak ada lembut-lembutnya sekali.

Anak kedua bernama Silvia. Parasnya teduh dan menenangkan. Bahkan ia disukai banyak orang. Sampai di usianya yang ke dua puluh tahun, banyak pria yang melamarnya. Namun sayang, Silvia malah memilih Indra yang tidak jelas asal-usulnya. Padahal aku berniat menjodohkannya dengan anak kepala desa yang kaya raya itu. Sungguh dongkol hati ini. Aku akui kalau Indra juga kaya. Tetapi tetap saja, ia tidak membawa namaku menjadi naik. Jika Silvia menikah dengan anak kepala desa, otomatis orang-orang akan bilang aku beruntung jadi besan kepala desa. Memang Silvia ini, tidak membuka lebar matanya.

Menikah dengan Bang Badri, kami tinggal di sebuah perumahan. Di antara para tetangga, rumahku lah yang belum terlalu bagus. Belum banyak direnovasi. Di rumah ini lah kedua putriku tinggal. Sampai Bang Badri meninggal karena sakit gulanya, aku harus menghidupi Yuni dan Silvia. Hingga akhirnya Yuni pergi bekerja dan menikah. Aku menawarkannya untuk tinggal di rumah ini, namun ia tidak mau dan memilih ikut bersama suaminya.

Lalu disusul pernikahan Silvia. Dimana Indra hanya mengajak kedua kakaknya sebagai perwakilan. Katanya, Indra yatim piatu sejak kecil. Tapi aku tidak percaya, mungkin itu hanya akal-akalan untuk menipu anakku. Enak saja!

Setelah menikah dengan Indra, aku meminta Silvia untuk tinggal bersamaku. Anakku yang satu ini berbeda dengan si Yuni yang keras kepala. Aku akan memberikan pelajaran kepada si Indra. Akan aku kuras uangnya. Semua barang yang belum pernah dibeli, aku beli menggunakan uangnya Indra. Lalu aku pamer kepada teman-teman.

"Sil, kamu tinggal di sini saja ya bersama Ibu? Jika kamu ikut suami, berarti Ibu sendirian," saranku kepada Silvia.

Silvia terlihat berpikir sambil menatap ke arah suaminya. Pasti ia meminta persetujuan kepada Indra.

"Kamu tidak mau kan, meninggalkan Ibu yang sudah melahirkan kamu ini?" lanjutku. Aku yakin Silvia akan luluh dengan kalimat ini.

"Baiklah, Bu. Aku akan tinggal di sini bersama Mas Indra. Iya, kan, Mas?" Indra pun setuju dengan Silvia. Aku tersenyum senang dalam hati. Ini adalah awal kejayaan. Tidak masalah Silvia tidak menikah dengan anak kepala desa, yang penting aku bisa hidup enak. Si Indra kan bekerja di perusahaan besar, pasti gajinya banyak. Kalau dia tidak mau menuruti keinginanku, silakan saja berpisah dengan Silvia. Otakku memang cerdik!

***

"Ndra! Belikan Ibu sofa, dong. Lihat nih, model sofanya udah ketinggalan zaman," pintaku pada menantu. Terlihat wajahnya seperti sedang berpikir dengan permintaan aku ini. Awas saja kalau dia menolak! Akan aku buat di menjauh dari anakku yang paling cantik sejagat raya.

"Ya, udah, nanti Indra kirim model sofanya. Ibu tinggal pilih aja," katanya. Aku berteriak girang dalam hati. Jadi gini rasanya punya menantu kaya. Apapun yang diminta pasti dituruti.

"Terima kasih, Indra."

Aku pun berlalu ke kamar dan membuat status di FB serta WhatsApp. Ingin tahu reaksi teman-teman seperjuangan saat melihat statusku ini.

[Terima kasih menantu kesayangan. Besok kita beli sofa model terbaru]

Ting!

Postingan dengan gambar sofa yang sedang ngetrend saat ini sudah terkirim. Yes! Pasti mereka akan kepanasan melihat postingan ini. Aku pun bisa bergaya di depan mereka.

Sudah banyak komentar yang bersarang di postinganku itu. Ada yang memberikan selamat, ada yang iri, bahkan ada yang julid.

[Wahh beruntung banget nih, Bu Halimah]

[Sofa mahal gitu bisa kebeli juga? Keren!]

[Alah pasti berkat menantunya juga tuh]

[Baru juga sofa, udah sombong banget]

Aku membaca semua komentarnya. Ternyata masih banyak yang iri denganku. Huh, biarkan saja mereka kepanasan sendiri. Maklum lah, mereka kalah saing denganku ini. Halimah gitu, loh!

***

Suara klakson mobil terdengar dari halaman rumah. Aku bergegas melihat dari jendela untuk mengetahui siapa yang datang. Apa mungkin si Indra? Tadi dia sudah berangkat ke kantor. Mungkin ada barang yang tertinggal. Namun saat melihat warna mobilnya, tidak mungkin itu Indra. Karena mobil Indra berwarna hitam, bukan berwarna merah.

Aku kembali memperhatikannya. Terlihat Silvia sedang berbicara dengan orang yang ada di dalam mobil itu. Tidak lama kemudian orang yang di dalam mobil itu pun turun. Dan … ternyata itu seorang wanita! Aku menelan saliva kuat kuat. Bagaimana tidak? Penampilan wanita itu membuatku menahan napas. Seumur-umur aku hanya melihat penampilan seperti itu di televisi dan baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Siapa wanita itu? Apa mungkin temannya Silvia? Ah, mana mungkin anakku itu punya teman kelas atas. Secara dia kan lahir di kampung. Eh, tapi mungkin aja sih. Dia kan juga besar di kota.

Silvia mempersilakan wanita itu masuk. Aku bergegas mencari tempat persembunyian. Ke dapur? Pasti ketahuan Silvia kalau aku nguping pembicaraan mereka. Kamar mandi? Bisa mati aku di sana karena engap. Ya sudah, tempat paling aman adalah kamar sendiri.

Aku pun kembali ke kamar dan menguncinya. Terdengar Silvia menyuruh wanita itu duduk. Dan ia pergi ke dapur untuk mempersiapkan minuman buat sang tamu. Untung saja aku tidak bersembunyi di dapur. Aku kembali menempelkan telinga di pintu kamar. Sepertinya wanita itu sedang menelepon seseorang. Namun aku tidak dapat mendengar jelas pembicaraan mereka. Ah, seharusnya aku merekam pembicaraan wanita itu. Mencurigakan sekali dia.

"Ini, Bu, minumannya. Silakan diminum!"

Sepertinya Silvia sudah datang memberikan minuman kepada wanita itu. Kalau aku jadi Silvia, mending diberi racun saja minumannya. Sudah pasti itu selingkuhannya si Indra. Aku yakin sekali.

Aku kembali menyimak pembicaraan mereka, tetapi sayangnya suara mereka tidak jelas di telinga ini. Kenapa mereka mengobrolnya pelan sekali. Jadinya tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Apa mungkin wanita itu minta izin untuk jadi istri keduanya Indra?

Apa mungkin wanita itu melabrak Silvia agar menjauh dari Indra?

Atau apa mungkin wanita itu sudah hamil?

Berbagai pertanyaan menumpuk dipikiran. Dilihat dari penampilannya, sepertinya memang pelakor. Dandanan yang terlalu modis dan gayanya yang sok cantik itu sudah mewakili. Eh, tapi kalau pelakor, bukannya cuma ahli kegatelan aja ya? Bisa saja dia gatal dengan Indra diluar sana. Atau jangan-jangan dia teman sekantornya Indra? Atau bisa jadi sekertarisnya? Kepala aku jadi pusing memikirkannya.

Aku memilih bersandar di ranjang kasur. Saat melihat wanita tadi, aku memikirkan sinetron ikan terbang yang kerap ditonton setiap malam. Di mana banyak kejadian sang suami selingkuh dan tau-tau sudah memiliki dua istri. Istri pertama tidak setuju dan marah-marah, pada akhirnya dicampakkan bersama anak-anaknya. Ada juga istri pertama yang setuju di poligami, namun ternyata hidupnya hanya sebagai pembantu di rumah dan tidak diperlakukan adil. Jangan sampai hal itu terjadi pada anakku. Akan aku pengg*l kepalanya Indra kalau sampai hal itu terjadi.

Kenapa suara kedua wanita itu semakin tidak terdengar, ya? Padahal jika Viandra dan Silvia yang mengobrol di ruang tamu, suaranya terdengar sampai kamarku. Sebenarnya kedua wanita itu membicarakan apa, sih? Sepertinya rahasia sekali. Gegas aku turun dari ranjang tempat tidur untuk melihat keadaan.

Ceklek!

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan keadaan ruang tamu yang kosong. Apa wanita tadi sudah pulang? Aku melirik halaman rumah di mana mobil wanita tadi terparkir. Di sana Silvia sedang bersalaman dengan wanita itu. Huh, padahal aku baru ingin melabraknya. Kenapa harus cepat pulang, sih? Ini lagi si Silvia, kenapa dia kelihatannya santai-santai aja? Memang anak itu! Cantik-cantik tapi sayang pikirannya agak lemot.

Aku berdiri tegak menghadang pintu utama. Rasanya mulut ini ingin mencerca banyak pertanyaan. Saat Silvia mau masuk ke dalam rumah, aku langsung mencekalnya.

"Tadi siapa, Sil?" tanyaku langsung.

"Oh, itu tadi bosnya Mas Indra."

"APA??!!!"

Bosnya Indra? Secantik itu? Umurnya juga masih muda. Wah, ada yang tidak beres ini. Masih kecil udah jadi bos? Udah bisa ngurus perusahaan besar?

"Ibu kenapa sih pake teriak-teriak gitu?" kesal Silvia sambil menutup telinganya.

Geram sekali aku sama anak ini. Pakai nanya kenapa aku teriak. Jelaslah aku terkejut dengan pernyataannya tadi. Apa ini anak tidak curiga dengn wanita itu?

Pletak!

Aku menjitak kepalanya. Hingga terdengar suara ringisannya.

"Kamu ini bodoh atau apa sih? Kamu gak curiga sama wanita tadi?" kesalku

"Ibu ini kenapa, sih? Bu Lidia tadi tu cuma bosnya Mas Indra. Bos, Bu. Apa yang harus di curigakan?" katanya.

Rasanya aku ingin membuang anak ini ke laut saja. Benar-benar tidak jalan pikirannya. Apa perlu aku bentur dulu kepalanya di dinding baru nyadar?

"Kamu tuh emang bodoh ya. Bisa jadi si Lidia tadi tuh selingkuhannya Indra. Dia mata-matain kamu. Harusnya pikiran kamu sampai dong ke sana," omelku. Pengen sekali tangan ini mencekiknya.

"Lagian nih ya, Bu, tadi itu bosnya Mas Indra memberikan uang bonus ke aku. Jadi mana mungkin mereka itu ada hubungan!" bantahnya berusaha untuk berpikir positif.

Kenapa dia jadi ngebelain wanita itu sih? Benar-benar geram aku.

"Sudahlah, kamu dibilangin itu memang kepala batu. Awas aja kalau terjadi sesuatu nanti," ancamku.

"Kenapa Ibu malah mendoakan hal-hal yang belum terjadi sih? Harusnya Ibu mendoakan rumah tangga aku baik-baik saja, dong. Bukannya Ibu selalu minta apa-apa ke Mas Indra? Harusnya Ibu jangan menuduh yang tidak-tidak ke dia, nanti kalau suamiku itu tersinggung, apapun yang Ibu minta tidak akan dituruti lagi,"

Silvia langsung masuk ke kamarnya. Padahal aku ingin lebih lanjut menyidangnya. Tapi dia keburu kabur. Memang anak itu kalau diajak ngobrol selalu ngeloyor pergi saja.