webnovel

Wanita Club' Malam

Kasih sayang orang tua yang layaknya di dapatkan oleh anak-anak, bahkan hal ini tidak memiliki batasan namun, sayangnya ia dan sang adik tak seberuntung seperti anak-anak lainnya. Elina masih belum paham akan kehidupannya sekarang dengan sekejap mata hancur bahkan keharomonisan tak lagi ada dalam keluargannya. Ketika ketukan palu di bunyikan, detik itu juga hati seoarang anak hancur melihat orang tua yang selama ini menjadi dambaan dan panutan sudah tak bersama lagi. Apalagi perpisahan mereka hanya di karenakan orang ketiga dalam kehidupan masing-masing. Kebutuhan yang memuncak dan mengharuskan dirinya untuk membiayai adik bungsu yang berada di jenjang pendidikan hingga membuat Elina merasa buntu dan memilih untuk menjadi pelayan di club malam. Bukanlah sebuah pekerjaan yang menyenangkan baginya, namun keadaan yang mendesak dan hanya disana, ia mampu mendapatkan gaji tinggi. Di pertemukan dengan Bryan bukanlah suatu rencana hingga keduanya terikat dalam hubungan yang tak jelas. Kehadiran Bryan begitu penting dalam hidup Elina dimana, wanita itu mampu mendapatkan perhatian dan kasih sayang setelah kehilangan semuanya. Meskipun, terkadang Elina merasa sadar bila Bryan sudah memiliki calon yang lebih baik darinya. Perjodohan Bryan bukanlah suatu hambatan untuknyai berhenti bertemu dengan Elina, “Sampai kapan pun, aku tak akan melepaskamu Elina!” cetus Bryan dengan tatapan tajam. Ucapan singkat namun, selalu tengiang dalam telinga Elina.

Magic_Sun_Sun · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
26 Chs

Ringikan Manja

Tatapan saling beradu satu sama lain, hingga tak meninggalkan sisa ruang lagi untuk di pandangan. Detakan jantung mulai terasa, senyuman mengukir indah raut wajah Elina yang oval serta kulih putih bersinar menambah cahaya pada wajah Elina.

Dan kini ia sadar bila rasa bahagia itu hanya ia miliki ketika bersama lelaki yang ada di depan matanya ini, tak bertemu dengan Brayn pun rasanya ada yang kurang, dan kini taka da lagi kekurangan dalam hatinya.

"Kenapa kamu menatap wajahku sambil tersenyum? Apakah aku tampan?" ujar Bryan, tersenyum lepas sembari membelai rambut Elina.

"Apaaan sih!" sambil melepaskan pelukan itu, namun tak selang beberapa detik Bryan pun langsung mendekapi tubuh Elina yang mungil.

"Jangan pernah kamu lepaskan pelukan ini, saat ini aku ingin menatap wajah cantikmu hingga puas," jelas Bryan, dengan pelukan yang kuat.

Tubuh Elina yang sudah masuk ke dalam lingkaran tangan Bryan, hanya bisa terdiam sembari mengatur nafas agar terlihat normal dan dirinya tampak biasa saja.

"Aku sesak bernafas Bryan, sudahlah lepaskan pelukan ini," dengus Elina.

"Isa, kamu jangan berbohong buktinya kamu terlihat biasa saja?" satu alis terangkat. "Jangan nakal denganku Isa," mencubit hidup pesek Elina.

"Hei!! Kebiasaan banget sih, ini udah pesek jangan di cubitin mulu," dengus Isa, dengan wajah masamnnya.

"Emm, kalau kamu tinggal disini kan terasa aman dan nyaman. Taka da lagi tetangga yang julid,"

"Hah? Julid? Emangnya ada ya?" dengan wajah heran.

"Ya samping kamar kamu itulah. Sudahlah tak penting untuk di bahas, saat ini aku hanya ingin mengatakan jika aku sangat mencintaimu dan menyayangimu Isa," ungkap Bryan, dengan keadaan yang sama mendekapi tubuh Elina yang kecil.

Rupanya ungkapan hati Bryan membuat Elina merasa salah tingkah sendiri, hingga detak jantung yang awalnya normal kini berubah menjadi semakin cepat.

Perlahan-lahan kepala Bryan mulai maju medekati kedua mata yang berbinar dengan cerah, hembusan nafas pun mulai saling beradu hingga terasa hembusan nafas Elinalah yang tak stabil.

"Aku mencintaimu Elina, jangan pernah tinggalkan aku," ungkap Bryan, semakin mendekapi tubuh Elina. Hingga jarak yang tak bisa di hindarkan lagi. Bryan mendaratkan sebuah kecupan pada bibir Elina.

"Bryann," menghentikan ciuman, sambil menatap lelaki yang ada di depannya.

Taka da jawaban yang lelaki itu berikan Bryan hanya menganguk lalu tersenyum sambil mendorong kepala Elina agar semakin dekat dengan wajahnya.

Dengan perlahan-lahan, Isa mulai membalas lumatan yang telah di berikan oleh Bryan, hingga keduanya saling bertukar saliva.

Tak ada lagi orang yang menghalangi kegiatan mereka berdua, saling berbalas-balasan itulah yang sedang terjadi, hingga tanpa rasa ragu lagi Bryan mendorong tubuh Elina ke kasur, dan menindihi wanita tersebut dengan tubuhnya yang kekar. Ciuman semakin memanas hingga keduanya berusaha memberikan rasa kepuasan atas apa yang di lakukan saat ini.

***

Ajeng masih merasa malu atas sikap putrnya yang sudah membuat Amora tersiksa, dan melihat amarah dari calon besan membuat Ajeng bingung bagaimana cara membicarakan hal ini dengan Bryan, karena ia begitu yakin sekali bila anak itu semakin di paksa maka dia akan tak segan-segan berbuat sesuka hatinya.

"Kamu kenapa ma? Kok sepertinya resah banget?" suara lelaki yang datang menghampiri wanita penuh perasaan resah.

"Mama malu pa, mama nggak habis pikir banget sama Bryan. Masa dia sekasar itu sama cewe," jelasnya.

"Maksud mama?" bingung lelaki yang baru saja pulang kerja. Melihat dari wajah istrinya membuat Papa Bryan semakin penasaran.

Tanpa rasa ragu lagi, Ajeng pun langsung menceritakan semua hal yang sudah di lakukan oleh putranya pada sang suami, agar dia dapat membantu untuk membujuk putra tunggalnya mau menerima keberaan Amora dengan senang hati.

"Ma, Papa setuju sekali dengan Vio, lebih baik jangan di paksa deh. Kamu lihat sendiri apa yang sudah di lakukan oleh Bryan dan takutnya akan terjadi hal yang tak di inginkan lagi,"

"Kok papa malah bela Bryan sih!" seketika nada tinggi pun muncul. "Mama ini hanya ingin yang terbaik untuk Bryan," lanjutnya, dengan mata melotot menatap suaminya yang duduk bersandingan.

"Bukan seperti itu ma," sambil mengelus pundak sang istri. "Ya coba saja kita perhatikan saat ini, kalau ada apa-apa lagi dengan Amora keluarga kita juga yang malu. Lagi pula waktu itu Bryan sudah mengatakan jika dia memiliki pacar, ya nggak ada salahnya kita lihat dulu dengan pilihan Bryan, siapa tau wanita itu memang yang terbaik untuk anak kita," tutur Alan, dengan nada lembut.

"Enggak pa!! Sampai kapanpun mama nggak ada setuju dengan pilihan Bryan, mama akan tetap kekeh dengan Amora," dengan komentar yang kekeh Ajeng, akan berusaha membuat putranya paham bila Amora adalah yang terbaik untuk dia.

"Hufttttt,,," nada pasrah pun keluar.

"Ya sudah kalau itu keputusan mama, papa nggak bisa bantu apa-apa lagi. Kalau papa fine aja Bryan mau sama siapa pun selagi anak kita bahagia dan wanita itu tak memberikan pengaruh buruk tak ada masalah," balas Alan, sambil berdiri menatap sang istri yang masih duduk di sofa.

Ketika kalah beradu argumen tak banyak yang di lakukan oleh Alan kecuali mengalah dan membiarkan sang istri kekeh dengan keputusannya, meskipun tak tau bagaimana akhirnya ia harap anak dan ibu itu tak terjalin pertikaian.

"Isaa kamu mau kemana, kenapa kamu cantic sekali?" dengan mata remang-remang, Bryan melihat bidadarinya tampak begitu cantic sekali.

Elina langsung duduk di kasur sambil tersenyum lalu mengatakan, "Aku akan berangkat kerja, kamu baik-baik ya. Kalau mau pergi janga lupa di kunci,"

"Enggak!!!" menahan tangan Elina, dengan nada manja.

"Aku ingin di temani malam ini," ringik Bryan, layaknya seoarang bayi yang sedang meringik pada ibunya.

"Aku harus kerja, apa kamu tak akan pulang ke rumah?" sambil mengusap kepala Bryan yang berada di pangkuannya.

"Jangan pergi Isa, kenapa kamu nakal sekali sih! Aku hanya ingin bersamamu malam. Dan aku tak akan pulang!!"

"Heii!! Kepala batu, sejak tadi mama sudah nelvon apa kamu tidak memiliki rasa kasihan dengan mama yang khawatir dengan keadaan kamu," tutur Elina.

"Mama menghubungiku bukan karena khawatir denganku, melainkan mama ingin marah karena, aku telah mendorong Amora kita jatuh ke lantai dan terluka," jelasnya, terus menggenggam erat tangan wanita yang paling dirinya cintai.

"Sejak kapan kamu jadi lelaki yang jahat seperti ini?" sontak Elina, akan perlakukan Bryan yang kasar pada wanita.

"Sudahlah itu tak penting untuk di bahas, saat ini yang aku inginkan hanyalah kamu. Jangan berangkat kerja yaaa," dengan keadaan yang masih sama pada pangkuan paha Elina.

Karena, ia tak ingin membiarkan mala mini terlewati dengan sia-sia.